Geng Remedial

By Astri Soeparyono, Sabtu, 30 November 2013 | 16:00 WIB
Geng Remedial (Astri Soeparyono)

"Kenapa enggak ikutan yang lain belajar bareng?"

"Belajar bareng?" seru Alin. Aku manggut-manggut. "Sama kamu dan geng eksklusif kamu itu?"

"Kenapa enggak?"

"Kita gabung kalian kayak pemulung makan malem bareng gubernur di restoran mewah," tambah Dea, "Awkward. Aneh. Mustahil."

"Yah, udahlah. Kita terima aja. Yang penting kita tetep bisa naik kelas dan kita tetep sama-sama," seru Alin dengan suara cemprengnya sambil merangkul teman-temannya. Aku lihat itu adalah sebuah rangkulan yang tulus. Aku iri.

"Yang penting kita enjoy sama hidup kita," Hani kembali buka suara. "Enggak usah dibuat ribet.  Prinsip kita, sih, simple. Usaha maksimalin. Doa banyakin. Jujur. Lihat hasil. Kalau memang hasil kita segini, yo wis!"

"Kita masih kecil," Dea spontan merangkulku. Aku terperangah, "Jangan terlalu banyak mikir. Nanti stres. Keburu tua."

Aku meringis mendengarnya. Sebuah sindiran halus untukku yang sepanjang tahun stres memikirkan bagaimana aku bisa mempertahankan peringkat di sekolah dan dalam kompetisi di luar sekolah. Belakangan aku sadar, bukan salah para 'pengikut'-ku yang kini berpaling dariku. Ini salahku.

Aku lupa cara berteman. Aku lupa cara menikmati hidup sebagai remaja kebanyakan. Aku lupa bahwa apa yang terjadi dalam hidupku bukan salah orang lain, tapi salahku. Apa hakku untuk menguji loyalitas para 'pengikut'-ku? Bukan salah mereka jika mereka mencari seseorang yang terbaik yang bisa membantu mereka untuk berprestasi. Bukan salah mereka kalau nyaman mereka denganku hanya kebutuhan sekolah, bukan nyaman sebagai teman.

"Eh, pulang, yuk!" ujar Hani sembari melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya, "Udah sore banget. Nanti keburu hujan."

"Yuk!" sahut yang lain.

Mereka lantas berkemas dan beranjak pergi.

"Hmm, hei!" panggilku. Mereka menoleh bersamaan, "Apa kalian mau belajar bareng sama aku?"

"Serius?" tanya Hani.

Aku manggut-manggut, "Tapi, kalian mau, yah, bertemen sama aku?"

Hening. Lagi-lagi mereka saling pandang. Kembali mereka bermain mata yang penuh arti. Ega tersenyum lantas menghampiriku dan merangkulku. Sebuah rangkulan yang tulus. Aku bisa merasakan itu.

"Fik, bertemen itu enggak ada bayarannya. Kamu bisa, kok, bertemen sama kita walaupun kamu enggak ngajarin kita. Bener, enggak?' Ega bertanya pada yang lain. Mereka kemudian manggut-manggut.

Kembali aku salah. Mungkin aku pintar dalam matematika, cerdas dalam fisika, lihai dalam kimia, dan jago dalam biologi, tapi aku mesti belajar banyak cara berteman pada geng remedial ini.

(oleh Revika Rachmaniar, foto: favim.com)