Geng Remedial

By Astri Soeparyono, Sabtu, 30 November 2013 | 16:00 WIB
Geng Remedial (Astri Soeparyono)

"Ha-ha-ha, remedial lagi," tawa mereka membahana seantero kelas setelah Pak Rudi, guru Fisika kami, keluar dari kelas.

"Ih, apaan, sih? Berisik!" gerutu Mia, teman sebangkuku, dengan wajah cemberut, "Remedial aja bangga. Heran!"

Aku menoleh tanpa kata meski hati ini juga jengkel mendengar tawa mereka yang cukup keras. Suara tawa itu berasal dari segerombol anak-anak yang terkenal dengan julukan geng remedial. Alin, Hani, Ega, dan Dea. Empat siswi yang rajin masuk babak remedial nyaris di semua ulangan. Duduk selalu di pojok kelas. Mereka kaum minoritas di kelasku.

Jika ada kaum minoritas, pasti ada kaum mayoritas. Yap, kaum mayoritas itu salah satunya ada aku di dalamnya. Geng anak-anak yang selalu menyabet peringkat sepuluh besar. Kumpulan anak-anak yang berlimpah pujian dari kalangan guru dan siswa. Penyumbang terbanyak piala dan piagam baik tingkat sekolah, kota, provinsi, bahkan nasional. Nama-nama yang dikenal oleh senior dan junior. Kami eksklusif. Popularitas sangat kami nikmati di masa muda yang indah.

Entah kenapa, setiap kali aku mendengar tawa Alin dan kawan-kawan, rasanya berbeda. Sebuah tawa lepas, tanpa beban. Aku tidak tahu apa yang ada di benak empat anggota geng remedial ini. Tidak ada raut sedih atau pun kecewa ketika guru mengumumkan mereka harus mengikuti remedial. Malah tawa cekikikan mereka yang menggema seolah mereka baru saja memenangkan sebuah kompetisi.

Ada yang mengganjal di hatiku. Ada ketidaktentraman. Bahagia ketika kepala sekolah menyematkan gelar juara kelas atau juara umum padaku di akhir semester atau akhir tahun. Bangga ketika aku bisa mempersembahkan piala atau piagam untuk sekolah setelah bertarung otak di kancah kompetisi matematika, fisika, kimia, atau biologi. Namun, sejujurnya aku tidak pernah tertawa lepas layaknya geng remedial itu.

"Fik, nanti jadi, yah, belajar bareng di rumah aku. Kita tunggu," ujar Mia sambil melambaikan tangannya, "Aku duluan!"

Aku hanya mengangguk sembari memberi mengulas senyum dan lambaian. Aku dan gengku seperti biasa setiap kali menjelang ujian semester mengadakan belajar kelompok di salah satu rumah kami. Aku yang dinobatkan sebagai guru untuk mengajar mereka setiap mata pelajaran.

Derai tawa itu kembali terdengar di antara riuh ramai jam pulang sekolah. Aku menoleh. Geng remedial tengah tertawa riang sembari menikmati snack cemilan mereka. Langkah mereka ringan. Tawa mereka lepas. Rasanya jarang aku begitu.

Tawaku di tengah kawan-kawan eksklusifku seolah hanya sebagai formalitas semata menghargai kawan yang berkelakar. Kelakar untuk melepas penat di mana otak ini selalu dijejali rumus-rumus dan hafalan semata. Bukan sebuah candaan untuk menikmati hidup, tapi hanya sebuah penghibur di kala bosan dengan setumpuk rutinitas.

Langkah kakiku pun rasanya tidak pernah seringan mereka. Langkah ini berat dengan segudang titel, julukan, kebanggaan, dan harapan. Jika aku menorehkan sebuah kesalahan sedikit saja maka rentetan tanggung jawab itu akan rusak.

"Hai!" aku menyapa geng remedial saat mereka melintas di hadapanku. Seketika langkah mereka terhenti. Bukannya menyahut sapaanku, mereka malah saling pandang dengan tatapan heran.

Akan tetapi, tidak berapa lama, Alin menyahut ramah, tapi canggung, "Hai!"

"Mau pulang?" Mereka mengangguk tanpa kata dan mulut menganga, "Hmm, nanti sore aku sama temen-temen mau ngadain belajar bareng di rumah Mia, mau ikut?"

Wajah mereka makin melongo. Mungkin karena ini, aku, si kaum mayoritas mengajak kaum minoritas bergabung bersama.

"Gimana? Mau ikut?"

Mereka lagi-lagi saling pandang. Lirikan mereka satu sama lain layaknya kode yang hanya mereka yang mengerti.

"Hmm, enggak usah," ujar Ega ragu, "Makasih. Kita belajar sendiri aja."

"Kita duluan, yah? Bye!" Dea seraya menarik tangan kawan-kawannya untuk segera angkat kaki dari hadapanku.

Entah apa yang aku pikirkan untuk mengajak mereka bergabung dengan gengku tanpa seizin mereka. Jelas ini akan menyebabkan kekakuan yang mencekam di antara mereka. Aku hanya ingin merasakan bagaimana rasanya berada di antara anak-anak itu. Anak-anak yang sepertinya tidak ada beban dalam hidupnya. Hanya ada canda tawa dan menikmati hidup seutuhnya.

"Nah, ini dia bu guru kita dataaangg!" sambut salah satu kawanku yang menungguku di rumah Mia.

Mereka bergegas siap-siap untuk belajar bersama. Mereka serius sekali menghadapi ulangan kimia dan matematika kali ini. Setiap yang aku katakan atau aku tulis di papan tulis kecil pasti mereka salin di atas buku mereka. Aku suruh mereka mengerjakan soal di buku latihan atau aku berikan mereka soal, langsung mereka kerjakan. Apa yang kukatakan langsung mereka laksanakan. Mereka akan selalu mengikuti titahku.

***

"Fikra," panggil Bu Ina. Aku bangkit dari kursiku dan menghampirinya di meja guru di sudut ruang kelas. Kami bicara serius. Kawan-kawanku memperhatikan kami dengan seksama. Mereka mengernyit dalam melihat kami. Aku kembali ke mejaku dengan selembar kertas ulangan kimia di tangan.

"Kenapa? Kok, serius banget ngobrolnya sama Bu Ina?"

Aku menunjukkan kertas ulanganku pada Mia. Teman-teman yang lain ikut melongok kertas ulanganku.

"TIGA?!!!" serempak mereka berteriak.

"Fik, seriusan ini nilai ulangan kimia kamu?" Mia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Aku hanya mengangguk, "Kenapa? Kok, bisa dapet nilai segini?" Mia begitu khawatir. Teman-teman yang lain riuh rendah berbisik membicarakan nilai fantastikku kali ini.

Beberapa minggu ke depan, aku mendapatkan nilai buruk kembali dalam beberapa nilai ulangan. Aku masuk dalam jajaran geng remedial. Semua orang terkejut dengan nilaiku yang mendadak terjun bebas. Aku menjadi bahan pembicaraan untuk waktu yang lama.

Guru BP memanggilku dan menginterogasiku kalau-kalau aku memiliki masalah berat sehingga nilaiku anjlok bukan main. Wali kelasku sampai memanggil kedua orang tuaku. Guru-guru menawarkan aku tambahan jam pelajaran. Orangtuaku menyarankan aku pindah tempat les. Kawan-kawanku? Ini yang aku tunggu reaksinya.

Titel guru langsung beralih tangan. Mereka tidak lagi mempercayaiku untuk berbagi ilmu. Mereka tidak bisa mengikuti seseorang yang cacat jika ingin mendapatkan hasil sempurna dalam raport mereka. Titel itu kini disematkan pada Mia, teman sebangkuku sekaligus runner up-ku di kelas. Kiblat contekan dan tempat bertanya pindah tangan padanya.

'Pengikut'-ku berkhianat dariku dan alih kepercayaan pada Mia. Mereka mengacuhkanku. Mereka berempati dengan kondisiku, tapi tidak bisa banyak membantuku. Yah, apa yang bisa aku harapkan, mereka tetap mengikutiku? Tidak! Mereka bukanlah sahabatku. Sahabatku tidak berjalan di belakangku mengikutiku, tapi berjalan di sampingku, bersamaku. Jelas mereka bukan.

Aku duduk tenang di meja paling depan. Sensasi remedial akhirnya aku rasakan. Aku merasakan tatapan aneh tengah mengincarku. Kanan, kiri, dan belakangku sedang menatapku. Bukan tatapan sedang mengincar jawaban dari kertas ulanganku, tapi tatapan heran dan aneh. Tatapan heran dari kaum minoritas. Sebuah tatapan yang mempertanyakan bagaimana ada utusan kaum mayoritas di ruang kelas sore hari ikut remedial.

"Kamu enggak sakit, kan?" tanya Hani seusai ulangan kimia remedial. Ega, Dea, dan Alin menghampiriku di meja. Dengan tenang aku menggelengkan kepala sembari memasukkan alat tulisku.

"Jangan-jangan ada yang nuker kertas ulangan kamu," selidik Dea.

Aku kembali menggelengkan kepala.

"Terus, kenapa kamu bisa remedial?" Ega heran.

"Aku sengaja," lagi-lagi keempat orang ini memperlihatkan wajah bodoh melongo mereka, "Aku sengaja asal isi jawaban ulangan-ulangan kemaren biar aku remedial."

"Kamu sakit jiwa," cetus Alin meringis.

Aku hanya tersenyum tipis, "Cuma mau ngetes temen-temen aja."

"Dengan mempertaruhkan nilai ulangan kamu?!" seru Dea, "Itu namanya sakit jiwa!"

Aku tertawa, "Kalian beruntung punya sobat yang sebener-benernya sobat."

Wajah mereka lantas memberengut, "Maksud kamu?"

"Enggak lihat sekarang aku kehilangan temen? Eh, maksud aku 'pengikut'?" Mereka saling melempar pandang satu sama lain kemudian menggelengkan kepala. "Selama ini aku enggak punya temen ternyata. Mereka selama ini cuma bertemen sama aku karena kebutuhan mereka. Intinya aku enggak punya teman, apalagi sobat kayak kalian. Kalian walaupun rajin remedial, tapi kalian masih punya satu sama lain." Ega agak mendelik padaku ketika aku katakan mereka rajin remedial. Dea tersenyum mesem-mesem. Alin garuk-garuk kepala yang aku yakin tidak gatal. Hani menyahutku.

"Hmm, jadi, kamu sengaja ngejatuhin nilai kamu sendiri demi tahu siapa temen kamu sebenernya?" Aku mengangguk. "Enak bener yah jadi kamu, Fik. Mau dapet nilai yang gede, gampang. Mau nilai yang jelek, apalagi. Kita? Mau dapet nilai jelek, jagonya. Mau dapet nilai gede? Nunggu kiamat dulu, kali."

Sejurus tawa mereka berderai mendengar kata-kata Hani yang konyol. Aku pun tidak ayal ikut tertawa LEPAS untuk kali pertama.

"Kalian enggak sedih apa selalu remedial tiap ulangan?"

Ega menjawab, "Sedih, sih, sedih, Fik. Tapi, mau diapain lagi? Udah nasib kita. Kita udah berusaha semaksimal mungkin buat belajar, tapi mentok."

"Kenapa enggak ikutan yang lain belajar bareng?"

"Belajar bareng?" seru Alin. Aku manggut-manggut. "Sama kamu dan geng eksklusif kamu itu?"

"Kenapa enggak?"

"Kita gabung kalian kayak pemulung makan malem bareng gubernur di restoran mewah," tambah Dea, "Awkward. Aneh. Mustahil."

"Yah, udahlah. Kita terima aja. Yang penting kita tetep bisa naik kelas dan kita tetep sama-sama," seru Alin dengan suara cemprengnya sambil merangkul teman-temannya. Aku lihat itu adalah sebuah rangkulan yang tulus. Aku iri.

"Yang penting kita enjoy sama hidup kita," Hani kembali buka suara. "Enggak usah dibuat ribet.  Prinsip kita, sih, simple. Usaha maksimalin. Doa banyakin. Jujur. Lihat hasil. Kalau memang hasil kita segini, yo wis!"

"Kita masih kecil," Dea spontan merangkulku. Aku terperangah, "Jangan terlalu banyak mikir. Nanti stres. Keburu tua."

Aku meringis mendengarnya. Sebuah sindiran halus untukku yang sepanjang tahun stres memikirkan bagaimana aku bisa mempertahankan peringkat di sekolah dan dalam kompetisi di luar sekolah. Belakangan aku sadar, bukan salah para 'pengikut'-ku yang kini berpaling dariku. Ini salahku.

Aku lupa cara berteman. Aku lupa cara menikmati hidup sebagai remaja kebanyakan. Aku lupa bahwa apa yang terjadi dalam hidupku bukan salah orang lain, tapi salahku. Apa hakku untuk menguji loyalitas para 'pengikut'-ku? Bukan salah mereka jika mereka mencari seseorang yang terbaik yang bisa membantu mereka untuk berprestasi. Bukan salah mereka kalau nyaman mereka denganku hanya kebutuhan sekolah, bukan nyaman sebagai teman.

"Eh, pulang, yuk!" ujar Hani sembari melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya, "Udah sore banget. Nanti keburu hujan."

"Yuk!" sahut yang lain.

Mereka lantas berkemas dan beranjak pergi.

"Hmm, hei!" panggilku. Mereka menoleh bersamaan, "Apa kalian mau belajar bareng sama aku?"

"Serius?" tanya Hani.

Aku manggut-manggut, "Tapi, kalian mau, yah, bertemen sama aku?"

Hening. Lagi-lagi mereka saling pandang. Kembali mereka bermain mata yang penuh arti. Ega tersenyum lantas menghampiriku dan merangkulku. Sebuah rangkulan yang tulus. Aku bisa merasakan itu.

"Fik, bertemen itu enggak ada bayarannya. Kamu bisa, kok, bertemen sama kita walaupun kamu enggak ngajarin kita. Bener, enggak?' Ega bertanya pada yang lain. Mereka kemudian manggut-manggut.

Kembali aku salah. Mungkin aku pintar dalam matematika, cerdas dalam fisika, lihai dalam kimia, dan jago dalam biologi, tapi aku mesti belajar banyak cara berteman pada geng remedial ini.

(oleh Revika Rachmaniar, foto: favim.com)