Aku melangkah dengan berat hati. Mataku yang sembap ini tak dapat dipungkiri lagi. Ternyata, menangis semalaman memang sukses membuat mataku yang sipit ini semakin kelihatan kecil, ditambah wajahku yang bengkak dan merah. Namun itu belum apa-apa dibandingkan dadaku yang terasa sakit sekarang. Orang bilang, itu tandanya aku sakit hati. Hmm, aku tak tahu, dan tak mengerti. Apakah letak hati benar-benar di dada?
Suasana rumah duka itu terlihat ramai. Di ujung sana terlihat sosok yang kukenal. Tante Risa dan keluarganya, sedang menyambut tamu. Duka terpampang jelas di wajah Tante Risa. Senyum yang biasa kukenal lenyap begitu saja, digantikan dengan senyum lemah di bibirnya. Aku menarik nafas, dan berusaha tersenyum - menghampiri Tante Risa dan keluarganya.
Aku menundukkan kepala, memberi hormat kepada Tante Risa dan keluarganya, seraya berjabat tangan. Tante Risa mencoba tersenyum kepadaku, dan kemudian memelukku. Aku hanya bisa membalas senyum beliau sekedarnya. Kita semua tahu hati yang sedang terluka tak akan pernah bisa tersenyum tulus.
Acara di rumah duka itu dimulai dengan misa secara Katolik, karena keluarga Tante Risa memang penganut agama Katolik, kemudian kesan dari keluarga dan berbagai ritual lainnya. Aku hanya mengikuti itu layaknya seorang robot. Ketika acara selesai, aku menghampiri Tante Risa untuk berpamitan.
"Tante, Alit balik dulu, ya," ujarku seraya menyalim tangan Tante Risa.
"Sudah mau pulang?" Tante Risa kelihatan kaget. "Tunggu sebentar, ya, Lit, Tante ada sesuatu untuk kamu."
Aku mengangguk saja. Bukan isi pembicaraannya yang membuatku tertarik, namun justru suara Tante Risa yang terdengar lemah dan serak. Kalau melihat Tante Risa, aku selalu teringat sosok seseorang. Seseorang yang menjadi sahabatku, yang diam-diam pergi meninggalkanku sendiri. Air mataku mulai menetes pelan - yang selalu dengan cepat kuusap. Aku bahkan tak berani menyebut namanya.
"Lit," suara Tante Risa membuyarkan lamunanku, "Ini ada barang dari Rico."
Itu dia. Nama yang selalu membuat jantungku berdegup kencang. Dan sekarang, terasa sakit.
"Iya?" Aku mencoba untuk bersikap normal. "Barang apa?"
Tante Risa menyerahkan sebuah kantong berwarna cokelat di tanganku dan meremas tanganku lembut. "Tante juga tak tahu. Rico bilang, ini titipan untuk kamu."
Aku memandang kantong cokelat tebal itu dengan bingung. Rico menitipkan sesuatu untukku? Apa? Aku hanya terdiam - tersenyum. "Oh...ya sudah, makasih, ya, Tante. Alit mesti balik sekarang, nanti enggak ada yang jagain nenek. Titip salam buat Om sama Bobby, ya."