Sepucuk Amplop Cokelat

By Astri Soeparyono, Minggu, 16 Juni 2013 | 16:00 WIB
Sepucuk Amplop Cokelat (Astri Soeparyono)

Rico mengangguk pelan. "Sepertinya, perasaanku bertepuk sebelah tangan. Naah, sudah sampai."

Aku turun dari motor dan Rico pun berlalu. Rico? Patah hati?

***

Aku memandang foto sahabatku itu. Foto kami, lebih tepatnya. Foto di bingkai itu memperlihatkan kami ketika baru masuk SMA, pertama kali MOS. Betapa indahnya saat-saat itu. Betapa menyenangkannya, betapa merindukannya berada di dekat Rico. Bahkan, di saat-saat terakhir hidupnya, aku seperti tidak diijinkan berdekatan dengan sahabatku ini.

Aku meremas surat pada lembar pertama itu, dan mengusap air mataku. Perlahan, aku mengumpulkan tetes-tetes keberanianku untuk membaca lembar kedua, surat Rico.

***

 

Alit! Maaf ya, kalau aku jadi mengingatkanmu macam-macam. Lit, kamu inget, enggak, masa-masa kita diem-dieman? Konyol ya, kalau dipikir-pikir. Aku juga enggak inget kenapa kita mulai menjauh. Aku enggak bisa menyalahkankan kamu, karena aku rasa aku juga ikut salah dalam hal ini. Heh Lit, aku enggak pinter ngerangkai kata-kat,a nih. Jadi nulis surat kayak gini, butuh effort yang gede banget buat aku.

 

Maaf ya, bikin kamu jadi enggak enak waktu itu - waktu kita diem-dieman maksudnya. Kamu tahu apa aja yang aku lakuin selama itu? Jadi aku-

***

"Lit, kok lo jadi jarang keliatan bareng Rico, sih? Biasanya lo bedua nempel terus kayak siput sama kerang," ujar May sambil melahap baksonya.