Sepucuk Amplop Cokelat

By Astri Soeparyono, Minggu, 16 Juni 2013 | 16:00 WIB
Sepucuk Amplop Cokelat (Astri Soeparyono)

Aku melangkah dengan berat hati. Mataku yang sembap ini tak dapat dipungkiri lagi. Ternyata, menangis semalaman memang sukses membuat mataku yang sipit ini semakin kelihatan kecil, ditambah wajahku yang bengkak dan merah. Namun itu belum apa-apa dibandingkan dadaku yang terasa sakit sekarang. Orang bilang, itu tandanya aku sakit hati. Hmm, aku tak tahu, dan tak mengerti. Apakah letak hati benar-benar di dada?

Suasana rumah duka itu terlihat ramai. Di ujung sana terlihat sosok yang kukenal. Tante Risa dan keluarganya, sedang menyambut tamu. Duka terpampang jelas di wajah Tante Risa. Senyum yang biasa kukenal lenyap begitu saja, digantikan dengan senyum lemah di bibirnya. Aku menarik nafas, dan berusaha tersenyum - menghampiri Tante Risa dan keluarganya.

Aku menundukkan kepala, memberi hormat kepada Tante Risa dan keluarganya, seraya berjabat tangan. Tante Risa mencoba tersenyum kepadaku, dan kemudian memelukku. Aku hanya bisa membalas senyum beliau sekedarnya. Kita semua tahu hati yang sedang terluka tak akan pernah bisa tersenyum tulus.

Acara di rumah duka itu dimulai dengan misa secara Katolik, karena keluarga Tante Risa memang penganut agama Katolik, kemudian kesan dari keluarga dan berbagai ritual lainnya. Aku hanya mengikuti itu layaknya seorang robot. Ketika acara selesai, aku menghampiri Tante Risa untuk berpamitan.

"Tante, Alit balik dulu, ya," ujarku seraya menyalim tangan Tante Risa.

"Sudah mau pulang?" Tante Risa kelihatan kaget. "Tunggu sebentar, ya, Lit, Tante ada sesuatu untuk kamu."

Aku mengangguk saja. Bukan isi pembicaraannya yang membuatku tertarik, namun justru suara Tante Risa yang terdengar lemah dan serak. Kalau melihat Tante Risa, aku selalu teringat sosok seseorang. Seseorang yang menjadi sahabatku, yang diam-diam pergi meninggalkanku sendiri. Air mataku mulai menetes pelan - yang selalu dengan cepat kuusap. Aku bahkan tak berani menyebut namanya.

"Lit," suara Tante Risa membuyarkan lamunanku, "Ini ada barang dari Rico."

Itu dia. Nama yang selalu membuat jantungku berdegup kencang. Dan sekarang, terasa sakit.

"Iya?" Aku mencoba untuk bersikap normal. "Barang apa?"

Tante Risa menyerahkan sebuah kantong berwarna cokelat di tanganku dan meremas tanganku lembut. "Tante juga tak tahu. Rico bilang, ini titipan untuk kamu."

Aku memandang kantong cokelat tebal itu dengan bingung. Rico menitipkan sesuatu untukku? Apa? Aku hanya terdiam - tersenyum. "Oh...ya sudah, makasih, ya, Tante. Alit mesti balik sekarang, nanti enggak ada yang jagain nenek. Titip salam buat Om sama Bobby, ya."

Tante Risa pun berlalu. Tinggal aku dan sekantong amplop tebal itu. Rasanya...aneh.

***

Aku cepat-cepat membuka amplop tebal itu. Bruk. Isinya surat-surat, dan jumlahnya banyak sekali. Terang saja amplop ini kelihatan tebal. Surat? Rico tak pernah memberiku surat, selama kita berteman belasan tahun. Bahkan, kurasa menulis surat pun adalah hal mustahil yang dilakukannya. Benarkah...ini surat dari Rico?

Dan kini perasaanku campur aduk. Kaget dan bingung, entah apa yang ditulis bocah itu padaku. Sedih, karena aku yakin aku bakal teringat Rico bila membaca surat ini. Penasaran, aku tak tahu Rico yang pecicilan itu bisa menulis surat begini banyak, apalagi untukku? Takut...aku pun sebenarnya tak tahu darimana rasa takut ini muncul.  

Perlahan-perlahan, dengan semua perasaan itu, aku membuka surat yang terluar. Dan begitu membacanya, air mataku langsung menghambur keluar.

***

 

Hai Alitku tersayang! Hehehe, kamu pasti kaget aku menulis surat gini. Ini aku Rico, sahabatmu yang membosankan. Alit, kamu enggak bosan-bosan kan temenan sama aku? Mungkin, kalau kamu baca surat ini, aku udah enggak ada, aku udah pergi duluan. Maaf ya, terpaksa nulis surat. Aku memang pengecut, enggak berani ngomong langsung ke kamu. Jadi Lit, baca pelan-pelan ya surat ini.

 

Lit, inget, enggak, waktu kamu pertama kali jadian? Ketika itu, aku - aku sedih banget, kamu tahu...

***

"Liiit! Lagi ngapain kamu? Masa liburan kerjaannya cuma di kamar?" suara itu jelas mengagetkanku. Di sebelahku, tiba-tiba datang sesosok wajah yang sangat kukenal, yang diam-diam ku-

"Hehhh, kok kamu malah bengong sih?" Rico tertawa sambil menguncangkan bahuku pelan. "Eh Lit, gambar apa kali ini?"

"Hmm?" Aku menoleh pelan. "Ah ini - kamu enggak boleh tahu." Wajahku bersemu merah.

"Aku enggak boleh tahu?" Rico membulatkan matanya lucu. "Hmm, ini gambar pantai, kan?"

Aku cepat-cepat menurunkan gambar itu dari tempat canvas dan menyimpannya di bawah meja. Gambar itu...adalah gambar pantai tempat pertama kali aku bertemu dengan Rico. Ya, sudah sekian lama aku memendam perasaan-hmm, apa bisa kusebut suka-pada sahabatku ini. Pertama kali kami bertemu, ketika aku berumur 7 tahun. Ketika itu, orangtuaku baru meninggal dunia, aku sering menangis dan menyendiri di pantai. Dan Rico, yang orangtuanya bercerai - juga sedang menyendiri di sana. Bedanya, tangisanku lebih keras daripadanya.  

"Liiiiit! Kamu kenapa, sih? Kok dari tadi bengong terus? Keluar yuk, jangan di kamar terus," Rico tersenyum membujuk. "Ayolah, sepertinya kamu lagi pengen ke pantai, kan?"

"Hmm?"

***

Pantai itu terlihat indah - seperti biasanya, setidaknya dalam ingatanku. Rico segera membukakan pintu mobil dan menarik tanganku.

"Huaaaaaah, enak ya selalu di pantai," kata Rico sambil tersenyum lebar ke arahku, kemudian memandang ke arah pantai di hadapan kami yang terbentang indah. Kami, Rico dan aku, selalu mencintai suara, bau, segalanya tentang pantai - yang menurut kami sangat menenangkan. Aku sendiri juga menyukai pasir pantai. Lembut, hangat, sekaligus kasar. Penuh dengan kombinasi yang menarik.

"Lit, kamu pernah jatuh cinta?" Rico mendadak membuka matanya dan melihat tajam ke arahku. Aku kontan tersipu malu, wajahku terasa panas.

Rico tertawa renyah. "Ih, jangan-jangan kamu lagi jatuh cinta, ya? Ha-ha-ha, sama siapa hayo?"

Aku menggeleng cepat. "Enggak kok, jangan sok tahu. Memang kamu iya?"

Rico memutar bola matanya lucu. "Hmmm...kasih tahu enggak, ya? Aku, memang lagi naksir cewek, sih."

Dan seketika itu juga, pandanganku kabur. Air mataku mulai menetes keluar, disusul dengan terpaan dari Rico yang kebingungan. Hatiku, terasa sakit. Perih. Hampa.

***

"Wahhh Lit, akhirnya jadian juga! Perjuangan si Jason ngejar kamu enggak sia-sia dong, ya?" May, sahabat dekatku merangkulku dengan senang. Sejak awal Jason mendekatiku 3 tahun yang lalu, ia memang sudah mendukung Jason secara full, penuh, seratus persen.

Aku tersenyum lirih. Sebenarnya, kalau mau jujur, perasaanku pada Jason datar saja. Alasanku menerima-nya mungkin karena...orang yang kusukai ternyata menyukai orang lain? Aku tak tahu. Aku hanya merasa sedih. Kau tahu, kan, siapa.

Sepulang sekolah, seperti biasa, aku diantar pulang dengan Rico. Walaupun Jason sekarang resmi menjadi pacarku-aku bahkan tak mengerti apa itu tugas seorang pacar-Rico dan Jason bersahabat dekat dan Jason tidak masalah Rico mengantarku. Apalagi, semua orang tahu bahwa hubunganku dengan Rico hanyalah sebatas teman biasa. Ralat, sahabat biasa. 

"Gimana kabar pangeranmu?" Suara Rico beradu dengan suara deru motor dan angin yang bertiup kencang. Entah mengapa, angin siang itu terasa menusuk sekali di tulangku.

"Apa?" Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. "Pangeranku?"

Rico tertawa. "Jason maksudku."

Aku menjawab dengan ceria. "Baik."

Rico kembali tertawa. "Aku sedang patah hati."

Aku mengerenyit bingung. "Dengan...cewek yang kamu suka waktu itu?"

Rico mengangguk pelan. "Sepertinya, perasaanku bertepuk sebelah tangan. Naah, sudah sampai."

Aku turun dari motor dan Rico pun berlalu. Rico? Patah hati?

***

Aku memandang foto sahabatku itu. Foto kami, lebih tepatnya. Foto di bingkai itu memperlihatkan kami ketika baru masuk SMA, pertama kali MOS. Betapa indahnya saat-saat itu. Betapa menyenangkannya, betapa merindukannya berada di dekat Rico. Bahkan, di saat-saat terakhir hidupnya, aku seperti tidak diijinkan berdekatan dengan sahabatku ini.

Aku meremas surat pada lembar pertama itu, dan mengusap air mataku. Perlahan, aku mengumpulkan tetes-tetes keberanianku untuk membaca lembar kedua, surat Rico.

***

 

Alit! Maaf ya, kalau aku jadi mengingatkanmu macam-macam. Lit, kamu inget, enggak, masa-masa kita diem-dieman? Konyol ya, kalau dipikir-pikir. Aku juga enggak inget kenapa kita mulai menjauh. Aku enggak bisa menyalahkankan kamu, karena aku rasa aku juga ikut salah dalam hal ini. Heh Lit, aku enggak pinter ngerangkai kata-kat,a nih. Jadi nulis surat kayak gini, butuh effort yang gede banget buat aku.

 

Maaf ya, bikin kamu jadi enggak enak waktu itu - waktu kita diem-dieman maksudnya. Kamu tahu apa aja yang aku lakuin selama itu? Jadi aku-

***

"Lit, kok lo jadi jarang keliatan bareng Rico, sih? Biasanya lo bedua nempel terus kayak siput sama kerang," ujar May sambil melahap baksonya.

Aku menoleh, kemudian tersenyum lebar. "Diabisin dulu bakso lo. Lagian, apa coba hubungannya siput sama kerang? Satu kan di darat satu di laut, Maychan." 

May tertawa terbahak. "Hahaha, bener juga ya lo. Haduh, uhuk! Keselek gue. Air...air dong."

Aku segera memberikan air pada May. "Jadi gimana proyek film pendek lo? Udah kelar?"

"Jangan mencoba mengalihkan pembicaraan," sahut May galak. "Napa lo sama Rico? Ribut? Bukannya biasanya lo beedua adem ayem aja?"

Aku menghembuskan nafas dan menggeleng pelan. "Enggak tahu May. Mungkin karena gue kali ya? Gue  dan Jason?"

***

Siang itu, aku berpapasan dengan Rico. Seperti biasa, aku hanya menyunggingkan senyum datar biasa, sama halnya dengan Rico. Berbeda sekali dengan Rico yang kukenal, yang selalu tersenyum lebar atau bahkan berheboh ria apabila menyapa orang.

Aku dan Jason. Rico dan...Sasha. Sashakah gadis yang dibicarakan Rico itu? Tak lama aku jadian dengan Jason, Rico pun kemudian bersama Sasha. Sejak bersama Sasha, Rico yang biasanya menjemputku sepulang sekolah, tidak lagi menjemputku. Rico yang biasanya muncul setiap malam Minggu atau sore hari untuk minta makan di rumahku, tidak lagi muncul. Sekarang Rico punya dunianya yang baru, dunianya bersama Sasha, yang tak bisa aku tembus. Segalanya begitu berbeda.

Aku merindukan sahabatku. Aku tak tahu apakah rasa ini sungguh cinta. Aku tak berani mengasumsikan begini, ia sahabatku dan salah besar apabila aku sampai menyukai, mencintainya lebih dari sahabat-ataukah rasa ini hanya rasa kehilangan biasa?

***

 

Aku sering mandangin kamu dari jauh. Ngeliatin kamu sama Jason. Kadang, aku ngerasa kehilangan kamu banget. Sori aku enggak bisa ungkapin ini dulu, aku enggak ngerti cara ngungkapinnya gimana. Aku pikir, dengan nyibukin waktu bareng Sasha, perlahan-lahan aku bisa ngelupain kamu, temen dan sahabat aku dari kecil. Tapi, kayaknya aku salah.

 

Dan di saat itu, aku mulai tahu kalau aku terjangkit penyakit sialan ini. Aku berasa lemah banget. Apalagi, kamu waktu itu lagi pergi - enggak sama aku. Aku ke pantai sendirian, walaupun nyokap udah ngelarang aku pergi kesitu. Aku ngelakuin hal-hal bego banget, sampe kesannya, aku nguntit sahabat aku sendiri, yang sebenernya begitu dekat.

 

Maaf ya Lit, aku enggak ngasih tahu kamu kalau aku sakit. Aku enggak mau bikin kamu kepikiran. Aku enggak mau bikin kamu sedih, atau apa pun juga. Aku pengen selalu ada buat ngelindungin kamu. Tapi nyatanya, aku yang kayaknya perlu perlindungan.

***

"Lit, lo putus sama Jason?" May menghampiriku pagi itu. "Dia terpukul banget, lho."

Aku memendamkan wajahku kembali ke balik bantal. "Gue tahu. Terus gue mesti gimana?"

May membelalakkan mata. "Gimana apanya? Lo berdua kenapa? Bukannya Jason sweet-nya tingkat tinggi ke lo? Apa yang lo mau pasti dia turutin? Kenapa lo-"

"Gue, enggak cinta sama dia May," aku menjawab dengan nada frustasi. "Lo ngerti?"

"Tapi kan-"

"Nih, kalo gue paksa lo cinta sama Bobby misalnya. Lo tahan, enggak?" sahutku sambil kembali memendamkan kepala ke bantal.

May menarik bantalku. "It makes sense. Eh, lo tahu Rico putus? Dan dia sekarang ke Singapura?"

Aku kontan duduk di kasur. "Putus? Sama Sasha? Ke Singapura? Buat?"

May mengangkat bahu dan berbaring di kasurku. "Entahlah. Gue aja bingung lo bisa enggak tahu. Lo kan...sahabatnya."

Aku berbaring di sebelah May. "I was."

***

Aku ingat. Kenangan itu terpatri jelas di ingatanku. Sore hari, langit kelihatan gelap sekali. Namun, langit yang mendung itu tak juga mengeluarkan hujan. Yang ada justru petir dan geledek yang menyesakkan telinga. Dadaku sakit sekali hari itu, entah mengapa. Seperti ada sesuatu yang diambil dariku.

Aku memandangi hapeku. Sudah seminggu lebih Rico menghilang, entah ke mana. Hapenya pun tidak aktif. Aku sendiri sudah mengambil inisiatif menelpon rumahnya. Namun, pembantu rumah tangganya mengatakan bahwa mereka sekeluarga sedang bepergian ke Singapura.

Aku sendiri tak berani bertanya macam-macam. Mungkin sedang liburan? Entahlah, perasaanku tidak enak saat itu. Dan saat itulah, aku menerima telepon dari Tante Risa. Dan seketika itu, semuanya menjadi gelap. Gelap dan gelap.

***

 

Lit. Aku kebanyakan ngomong, ya? Kamu pasti juga capek bacanya, ha-ha. Apalagi, tulisanku kan cakar ayam gini. Tenang, bentar lagi udahan kok suratnya, he-he-he. Ini bagian yang paling aku suka. Hmm, pernyataan.

 

Makasih ya Lit, buat jadi temen pertama aku (serius, lho, sebelumnya enggak ada anak yang mau temenan sama cowok cengeng dan bawel kayak aku), sahabat terlama aku, yang mau dengerin semua curhatan aku, kebawelan, keanehan-keanehan aku. Kalau kamu baca ini, mungkin aku udah enggak ada lagi sama kamu, dan maaf kita enggak sempet bareng buat yang terakhir kalinya. Maaf aku mesti pergi dalam kondisi begini.

 

Dan maafin aku, karena aku udah bikin kesalahan terbesar, aku cinta kamu, Lit. Aku enggak ngerti apa itu cinta. Tapi aku yakin sama apa yang aku rasain. Inget, enggak, cewek yang aku bilang aku suka dan bertepuk segala tangan itu? Itu kamu, Lit. Maafin aku, aku tahu ini salah. Aku tahu ini ngerusak kemurnian persahabatan kita. But I can't  help it. Maafin aku juga, buat pergi duluan ninggalin kamu.

***

Dan begitulah. Itulah cara membuat air mataku semuanya menghambur keluar. Itulah cara tercepat untuk membuat mataku bengkak. Itulah cara untuk membuat hatiku hancur, dan semua surat-surat ini luntur karena air mata. Aku meremas lembar terakhir surat itu sambil menahan tangis dan rasa sedih yang berlebihan ini.

Aku mengambil foto Rico untuk terakhir kalinya, menyesalkan mengapa foto kami sangat sedikit sekali, dan kemudian mengucap namanya dalam hati sambil terisak. Dan seketika itu juga, aku mendengar ketukan dari luar pintu.

***

Sore hari. Gerimis. Angin bertiup kencang. Pantai.

"Kamu kenapa nangis?" Gadis kecil berambut pendek itu menepuk bahu anak kecil yang sedang menangis di pantai sambil berjongkok.

"Apa?" Bocah cilik itu menghentikan tangisannya. Malu, kepergok nangis dengan seorang perempuan.

"Kesepian, ya?" Gadis kecil itu tersenyum manis. "Aku...juga."

Hening.

"Nama kamu siapa?" ujar gadis kecil itu bersahabat.

"Rico, kamu?"

"Alit."

"Mau jadi temanku?"

"Kenapa enggak?"

"Janji ya?"

"Janji." Dan kedua kelingking kecil itu pun dikaitkan.

Di dalam semua kenangan, di dalam semua kesalahpahaman, ketertutupan, ingatlah. Percayalah, aku menyayangimu.

***

(Oleh: Monica Amelia, foto: tumblr.com)