Sepucuk Amplop Cokelat

By Astri Soeparyono, Minggu, 16 Juni 2013 | 16:00 WIB
Sepucuk Amplop Cokelat (Astri Soeparyono)

Aku kontan duduk di kasur. "Putus? Sama Sasha? Ke Singapura? Buat?"

May mengangkat bahu dan berbaring di kasurku. "Entahlah. Gue aja bingung lo bisa enggak tahu. Lo kan...sahabatnya."

Aku berbaring di sebelah May. "I was."

***

Aku ingat. Kenangan itu terpatri jelas di ingatanku. Sore hari, langit kelihatan gelap sekali. Namun, langit yang mendung itu tak juga mengeluarkan hujan. Yang ada justru petir dan geledek yang menyesakkan telinga. Dadaku sakit sekali hari itu, entah mengapa. Seperti ada sesuatu yang diambil dariku.

Aku memandangi hapeku. Sudah seminggu lebih Rico menghilang, entah ke mana. Hapenya pun tidak aktif. Aku sendiri sudah mengambil inisiatif menelpon rumahnya. Namun, pembantu rumah tangganya mengatakan bahwa mereka sekeluarga sedang bepergian ke Singapura.

Aku sendiri tak berani bertanya macam-macam. Mungkin sedang liburan? Entahlah, perasaanku tidak enak saat itu. Dan saat itulah, aku menerima telepon dari Tante Risa. Dan seketika itu, semuanya menjadi gelap. Gelap dan gelap.

***

 

Lit. Aku kebanyakan ngomong, ya? Kamu pasti juga capek bacanya, ha-ha. Apalagi, tulisanku kan cakar ayam gini. Tenang, bentar lagi udahan kok suratnya, he-he-he. Ini bagian yang paling aku suka. Hmm, pernyataan.

 

Makasih ya Lit, buat jadi temen pertama aku (serius, lho, sebelumnya enggak ada anak yang mau temenan sama cowok cengeng dan bawel kayak aku), sahabat terlama aku, yang mau dengerin semua curhatan aku, kebawelan, keanehan-keanehan aku. Kalau kamu baca ini, mungkin aku udah enggak ada lagi sama kamu, dan maaf kita enggak sempet bareng buat yang terakhir kalinya. Maaf aku mesti pergi dalam kondisi begini.

 

Dan maafin aku, karena aku udah bikin kesalahan terbesar, aku cinta kamu, Lit. Aku enggak ngerti apa itu cinta. Tapi aku yakin sama apa yang aku rasain. Inget, enggak, cewek yang aku bilang aku suka dan bertepuk segala tangan itu? Itu kamu, Lit. Maafin aku, aku tahu ini salah. Aku tahu ini ngerusak kemurnian persahabatan kita. But I can't  help it. Maafin aku juga, buat pergi duluan ninggalin kamu.

***

Dan begitulah. Itulah cara membuat air mataku semuanya menghambur keluar. Itulah cara tercepat untuk membuat mataku bengkak. Itulah cara untuk membuat hatiku hancur, dan semua surat-surat ini luntur karena air mata. Aku meremas lembar terakhir surat itu sambil menahan tangis dan rasa sedih yang berlebihan ini.

Aku mengambil foto Rico untuk terakhir kalinya, menyesalkan mengapa foto kami sangat sedikit sekali, dan kemudian mengucap namanya dalam hati sambil terisak. Dan seketika itu juga, aku mendengar ketukan dari luar pintu.

***

Sore hari. Gerimis. Angin bertiup kencang. Pantai.

"Kamu kenapa nangis?" Gadis kecil berambut pendek itu menepuk bahu anak kecil yang sedang menangis di pantai sambil berjongkok.

"Apa?" Bocah cilik itu menghentikan tangisannya. Malu, kepergok nangis dengan seorang perempuan.

"Kesepian, ya?" Gadis kecil itu tersenyum manis. "Aku...juga."

Hening.

"Nama kamu siapa?" ujar gadis kecil itu bersahabat.

"Rico, kamu?"

"Alit."

"Mau jadi temanku?"

"Kenapa enggak?"

"Janji ya?"

"Janji." Dan kedua kelingking kecil itu pun dikaitkan.

Di dalam semua kenangan, di dalam semua kesalahpahaman, ketertutupan, ingatlah. Percayalah, aku menyayangimu.

***

(Oleh: Monica Amelia, foto: tumblr.com)