Danau Ranau di Pekon Lumbok, Lampung Barat, pagi ini tidak terlalu ramai seperti biasanya. Hanya nampak beberapa pasang remaja yang menghabiskan waktunya di tempat ini. Lalu, di depanku melintas sepasang remaja yang berjalan beriringan sembari bercengkrama satu sama lain di tepian danau yang berlatar belakang Gunung Seminung itu.
Aku memilih duduk di bawah naungan sebuah pohon meranti, tempat aku menemukan titik sudut terindah dari Danau Ranau untuk kulukis. Aku duduk seraya menekuk lutut di atas hamparan rerumputan hijau. Kusandarkan punggungku pada batang pohon meranti yang menjulang.
Cuaca hari ini tidak cerah. Kabut tipis menyaput Danau Ranau dan beberapa orang di sekitarnya. Semuanya nampak temaram. Pun begitu, aku masih bisa melihat jelas permukaan air danau yang tenang dan cemerlang.
Kubentangkan selembar kertas kanvas A2 yang sedari tadi tergulung. Lalu kualasi dengan sebuah papan lukis tipis yang kusandarkan di atas kedua pahaku. Kukeluarkan kuas nomor 2, serta satu set cat air, dan sebuah pallete. Sejenak aku merekam keadaan Danau Ranau saat ini. Setelah itu kuambil dua tube cat air berwarna hitam dan putih.
Kucampur cat yang masih berbentuk pasta itu ke atas pallete. Hitam dan putih. Dengan perbandingan 1:5. Kutambahkan sedikit air hingga kedua pasta itu berbaur menjadi satu warna keabuan yang aku inginkan.
Warna abu-abu pucat itu kusaputkan di atas kanvas polos dengan sebuah kuas. Kunikmati setiap goresan kuas yang kubuat. Kuasku menari-nari riang memvisualisasikan pemandangan yang kulihat ke dalam bentuk dua dimensi.
Mendadak goresanku terhenti. Tiba-tiba aku teringat pada sesuatu. Goresan itu. Segala lukisan dua dimensi selalu mengingatkan aku padanya. Dua dimensi yang kontradiksi. Dua dimensi yang mempertemukan kami pada satu kenyataan.
Aku tersadar, ia sangat menyukai suasana berkabut seperti ini. Ia pernah berujar padaku, bahwa kabut adalah temannya, cahaya temaram adalah jiwanya, dan lukisan Gizelia adalah kehidupannya.
Ia dan Gizelia adalah satu kesatuan. Ia selalu membubuhkan nama 'Gizelia' di setiap lukisan yang telah selesai dia buat. Itulah ciri khas karyanya. Hingga menyebabkan aku menggilai setiap lukisannya yang luar biasa indah itu. Dan hanya akulah yang bisa melihat setiap lukisan absurd-nya. Menikmati secara langsung bagaimana dia menggoreskan kuasnya sehingga tercipta rupa yang estetis.
Tapi kali ini, aku melukis sendirian tanpanya. Belakangan ini dia tak pernah nampak melukis lagi di Danau Ranau bersamaku.
Aku mencoba untuk melanjutkan lukisanku. Tapi entah kenapa aku kehilangan kenikmatan dari setiap goresan kuasku. Pikiranku terganggu akan kenangan saat pertama kali kami bertemu di sini, setahun lalu.