Lukisan Gizelia

By Astri Soeparyono, Sabtu, 9 Februari 2013 | 16:00 WIB
Lukisan Gizelia (Astri Soeparyono)

Danau Ranau di Pekon Lumbok, Lampung Barat, pagi ini tidak terlalu ramai seperti biasanya. Hanya nampak beberapa pasang remaja yang menghabiskan waktunya di tempat ini. Lalu, di depanku melintas sepasang remaja yang berjalan beriringan sembari bercengkrama satu sama lain di tepian danau yang berlatar belakang Gunung Seminung itu.

 

Aku memilih duduk di bawah naungan sebuah pohon meranti, tempat aku menemukan titik sudut terindah dari Danau Ranau untuk kulukis. Aku duduk seraya menekuk lutut di atas hamparan rerumputan hijau. Kusandarkan punggungku pada batang pohon meranti yang menjulang.

Cuaca hari ini tidak cerah. Kabut tipis menyaput Danau Ranau dan beberapa orang di sekitarnya. Semuanya nampak temaram. Pun begitu, aku masih bisa melihat jelas permukaan air danau yang tenang dan cemerlang.

Kubentangkan selembar kertas kanvas A2 yang sedari tadi tergulung. Lalu kualasi dengan sebuah papan lukis tipis yang kusandarkan di atas kedua pahaku. Kukeluarkan kuas nomor 2, serta satu set cat air, dan sebuah pallete. Sejenak aku merekam keadaan Danau Ranau saat ini. Setelah itu kuambil dua tube cat air berwarna hitam dan putih.

Kucampur cat yang masih berbentuk pasta itu ke atas pallete. Hitam dan putih. Dengan perbandingan 1:5. Kutambahkan sedikit air hingga kedua pasta itu berbaur menjadi satu warna keabuan yang aku inginkan.

Warna abu-abu pucat itu kusaputkan di atas kanvas polos dengan sebuah kuas. Kunikmati setiap goresan kuas yang kubuat. Kuasku menari-nari riang memvisualisasikan pemandangan yang kulihat ke dalam bentuk dua dimensi.

Mendadak goresanku terhenti. Tiba-tiba aku teringat pada sesuatu. Goresan itu. Segala lukisan dua dimensi selalu mengingatkan aku padanya. Dua dimensi yang kontradiksi. Dua dimensi yang mempertemukan kami pada satu kenyataan.

Aku tersadar, ia sangat menyukai suasana berkabut seperti ini. Ia pernah berujar padaku, bahwa kabut adalah temannya, cahaya temaram adalah jiwanya, dan lukisan Gizelia adalah kehidupannya.

Ia dan Gizelia adalah satu kesatuan. Ia selalu membubuhkan nama 'Gizelia' di setiap lukisan yang telah selesai dia buat. Itulah ciri khas karyanya. Hingga menyebabkan aku menggilai setiap lukisannya yang luar biasa indah itu. Dan hanya akulah yang bisa melihat setiap lukisan absurd-nya. Menikmati secara langsung bagaimana dia menggoreskan kuasnya sehingga tercipta rupa yang estetis.

Tapi kali ini, aku melukis sendirian tanpanya. Belakangan ini dia tak pernah nampak melukis lagi di Danau Ranau bersamaku.

Aku mencoba untuk melanjutkan lukisanku. Tapi entah kenapa aku kehilangan kenikmatan dari setiap goresan kuasku. Pikiranku terganggu akan kenangan saat pertama kali kami bertemu di sini, setahun lalu.

~*~

"Lukisanmu begitu hidup," suara itu membuatku tersentak.

Aku menoleh ke arahmu. Betapa kagetnya aku saat melihatmu. Ternyata kau....

Lantas kau melontarkan seulas senyum, yang membuat ketakutanku menguap entah ke mana.

Dengan mulut yang masih ternganga, aku mencermati dirimu. Kau memegang selembar kanvas dan beberapa peralatan melukis. Kau pun duduk tak jauh dariku. Duduk di atas rerumputan seraya memandangi Danau Ranau yang berkabut. Sejenak kau menoleh ke arahku. Tersenyum. Lalu kuasmu mulai menari-nari di atas kanvas putih itu.

Aku masih terdiam. Tak percaya dengan apa yang baru saja kusaksikan. Aku memilih untuk melupakan lukisanku yang hampir sepenuhnya jadi itu, demi melihat dirimu.

Sekali lagi aku mencermati wajahmu. Rambutmu hitam berjambul. Hidungmu bangir. Tapi kulitmu begitu putih. Lebih putih dari kulitku meskipun kau adalah laki-laki. Putih pucat, lebih tepatnya. Meski sinar matahari nampak samar-samar saja, namun kau terlihat bercahaya.

Pandanganku beralih pada lukisanmu. Dengan lembut kau menggoreskan kuasmu. Kau melukis seorang wanita yang duduk menyamping dengan latar Danau Ranau berkabut. Tapi kau memberikan sentuhan kubisme dalam lukisan itu sehingga terkesan seperti lukisan abstrak. Aku tahu aliran lukisanmu karena aku pun penganut aliran kubisme.

Hanya dalam satu jam, kau telah menyelesaikan lukisan itu. Lalu kau membubuhkan tanda tangan bertuliskan 'Gizelia' di sudut kanan bawah lukisanmu. Satu jam waktuku tersita hanya untuk melihatmu melukis di sampingku.

Kau kembali menoleh ke arahku seraya tersenyum. "Terima kasih kau mengizinkanku duduk di sini. Karena di sinilah aku menemukan sudut pandang terbaik dari Danau Ranau," ucapmu.

Kau bergegas berdiri. Dan kau pun melangkah lebar menembus kabut hingga menelan dirimu.

***

Hari ini aku sengaja tidak membawa peralatan lukisku. Aku kembali ke Danau Ranau untuk menunggumu. Sama seperti kemarin, aku bergegas menuju ke tempat yang ditumbuhi sebuah pohon meranti di pinggir danau, tempat favoritku melukis.

Tak kuduga, kau lebih dulu hadir di tempat itu. Kedua kakimu yang jenjang saling bersilang. Punggungmu yang kokoh itu kau sandarkan pada batang meranti yang menjulang. Masih seperti kemarin, tubuhmu berbalut kaus putih lengan panjang dan celana jeans biru.

Sejenak kau menghentikan goresanmu, lalu menatapku. Seulas senyum berbinar kau tunjukkan pada bibirmu. Tatapan dari matamu yang luar biasa indah itu membuatku geragapan. Sepertinya aku bisa merasakan pipiku merona karenamu.

"Hai," tiba-tiba satu kata itu terlontar begitu saja dari bibirku. Entah kenapa.

"Hai juga. Senang bisa bertemu denganmu lagi di sini. Kau juga mau melukis?" tak kuduga tiga huruf yang keluar dari bibirku, kau jawab dengan sederetan sapaan hangat.

"Ehh, tidak. Aku hanya ingin...memandangi...Danau Ranau," sahutku tergeragap.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kau bantu aku melukis?" pintamu. "Oh, ya. Siapa namamu?"

"Anindita," sahutku pendek.

"Aku Mahardika. Senang berkenalan denganmu. Kau mau melukis bersamaku?"

Aku menurut. Bisa-bisanya aku duduk di samping mahluk tampan sepertimu.

"Apa aliran lukisanmu?" tanyamu kepadaku dengan ramah.

"Kubisme," sahutku kikuk. Sungguh aku merasa canggung di hadapanmu.

"Kubisme? Berarti kita penganut aliran yang sama. Aku termasuk penggemar karya Pablo Picasso," sahutmu. "Kalau kau?"

"Aku lebih menyukai karya Paul Cezanne," jawabku.

"Kedua pelukis itu adalah seniman yang luar biasa. Seandainya kelak lukisanku bisa selegendaris karya mereka."

Aku memandangi lukisan yang kau pegang. Masih dengan figur seorang wanita yang duduk menyamping di Danau Ranau, tapi beberapa bagian masih belum kau selesaikan.

"Lukisanmu begitu indah. Kau mampu menampilkan ruang luas dari pelbagai gaya yang mencengangkan," pujiku.

"Terima kasih jika kau menyukainya," sahutmu riang.

"Kau cukup lihai mengomposisikan warna. Goresanmu yang repetitif dan sensitif itu mengesankan karakterisasi yang kuat. Mengingatkanku pada lukisan Georges Braque yang berjudul 'Woman with a Guitar'," tambahku.

"Iya. Aku tak hanya terinspirasi dari Picasso saja. Tapi gaya kubisme-ku juga terinspirasi oleh Braque."

Aku tersenyum kagum padamu. Perpaduan Braque dan Picasso nampak tergambar kuat pada lukisanmu. Beruntung sekali aku bertemu dengan seseorang yang memiliki hobi melukis dan beraliran kubisme. Suatu kebetulan yang menyenangkan nan indah.

"Tapi kenapa kau selalu melukis objek serupa dari kemarin?" tanyaku heran.

"Karena aku menyukainya. Aku mencintai Gizelia," tuturmu lembut.

"Gizelia? Siapakah dia? Kekasihmu?" selidikku. Tiba-tiba aku merasakan gelembung-gelembung kecemburuan di dadaku.

"Bukan. Dia adalah...teman imajinerku," katamu.

"Teman imajiner?" tanyaku tidak mengerti sehingga aku harus menautkan kedua alisku.

"Ya, Gizelia adalah teman imajiner. Aku telah mengenalnya selama belasan tahun ini. Sejak aku kecil hingga usia remajaku ini, aku masih berteman baik padanya. Ia yang menemukan bakat melukisku. Ia juga yang membimbingku bagaimana cara membuat lukisan yang cantik, yang apik, dan proporsional. Tak jarang aku memintanya untuk menjadi objek lukisanku," terangmu.

Aku tercekat mendengar penjelasan darimu. Tak kusangka.

"Kau lihat di depan kita?" tunjukmu ke arah pucuk-pucuk gelagah yang tumbuh tinggi di pinggiran Danau Ranau. "Gizelia ada di sana. Duduk menyamping di pinggiran danau dengan gaun putih selutut. Rambutnya yang panjang terurai tersapu bayu. Cantik sekali dia, ya?"

Aku mengikuti ke arah telunjukmu menuju. Ke arah gelagah yang bergoyang. Tak ada siapa-siapa.

"Aku tak melihat apa pun. Gizelia hanya khayalanmu, Dika," aku berusaha menyadarkanmu dari imajimu.

"Maaf, Dita. Aku memang seperti ini. Aku memang autis," ungkapmu.

"Apa kau jatuh cinta pada Gizelia?" celetukku.

Kau mengangguk mantap sambil berujar, "Ya."

"Kau ingin selamanya seperti ini terus? Mencintai seseorang yang tak pernah ada? Yang kau ciptakan sendiri? Lalu kau acuhkan orang-orang di sekitarmu?"

Kau hanya terdiam. Tanganmu berhenti menggoreskan kuas yang berlumuran cat itu.

"Gizelia adalah kehidupanku. Aku mengenal bakat melukisku darinya. Inspirasi lukisanku berasal dari Gizelia. Tak mudah bagiku untuk melupakan imaji tentangnya," tukasmu dengan nada yang masih cukup terdengar lembut di telingaku.

"Aku yakin tanpa Gizelia, kau masih bisa melukis dengan apik. Sebagai permulaan, bagaimana jika aku yang menjadi sosok nyata di lukisanmu selanjutnya," ucapku seraya merenggut selembar lukisan Gizelia yang ada di pangkuanmu. Segera kusobek lukisan itu menjadi perca-perca kecil dan kuhamburkan ke udara.

Sejenak aku mencermati kedua matamu yang begitu teduh. Mata seorang Mahardika sang pelukis ulung. Kita saling bertautan pandang. Berharap kau menemukan suatu keyakinan.

Bergegas aku menuju ke pinggiran Danau Ranau. Duduk menyamping dengan jarak lima meter di hadapanmu. Rambut yang sedari tadi berkuncir, kubuat tergerai. Aku mencoba semirip mungkin dengan gadis imaji di lukisan tadi. Gizelia.

Dengan sigap kau mengambil kertas kanvas baru. Kau lukis diriku. Tentunya aku tidaklah mirip dengan Gizelia di lukisan tadi.

Kau seakan menikmati setiap goresan kuasmu yang membentuk rupaku. Rupa dari seorang gadis yang benar-benar nyata, bukan gadis khayalan seperti Gizelia yang selalu membelenggu pikiranmu.

Menit-menit berlalu, aku masih bertahan dengan posisiku. Kau pun masih sibuk memberikan sentuhan akhir dalam lukisanmu.

"Dita, aku sudah selesai melukis dirimu," serumu.

Aku tersenyum seraya memandang takjub pada hasil lukisanmu. "Sosok di lukisanmu kali ini terlihat lebih hidup, ya?"

"Bukankah sesuatu yang nyata akan terlihat hidup meskipun hanya sebuah lukisan?" sahutmu. "Terima kasih kau mau menemaniku melukis hari ini."

"Sama-sama, Dika. Kau adalah pelukis ulung," pujiku standar.

Kau mengambil tanganku. Meremasnya dan kau letakkan di atas pangkuanmu. Dengan senyuman termanismu, kau lalu memudar. Kemudian sekujur tubuhmu bercahaya. Perlahan-lahan dirimu luruh. Meninggalkan butir-butir cahaya yang melayang ke langit. Lenyap.

Mahardika. Teman imajinerku. Karena aku sendiri seorang gadis autis.

(oleh: Antonius Pramono, foto: imgfave.com)