"Bukan. Dia adalah...teman imajinerku," katamu.
"Teman imajiner?" tanyaku tidak mengerti sehingga aku harus menautkan kedua alisku.
"Ya, Gizelia adalah teman imajiner. Aku telah mengenalnya selama belasan tahun ini. Sejak aku kecil hingga usia remajaku ini, aku masih berteman baik padanya. Ia yang menemukan bakat melukisku. Ia juga yang membimbingku bagaimana cara membuat lukisan yang cantik, yang apik, dan proporsional. Tak jarang aku memintanya untuk menjadi objek lukisanku," terangmu.
Aku tercekat mendengar penjelasan darimu. Tak kusangka.
"Kau lihat di depan kita?" tunjukmu ke arah pucuk-pucuk gelagah yang tumbuh tinggi di pinggiran Danau Ranau. "Gizelia ada di sana. Duduk menyamping di pinggiran danau dengan gaun putih selutut. Rambutnya yang panjang terurai tersapu bayu. Cantik sekali dia, ya?"
Aku mengikuti ke arah telunjukmu menuju. Ke arah gelagah yang bergoyang. Tak ada siapa-siapa.
"Aku tak melihat apa pun. Gizelia hanya khayalanmu, Dika," aku berusaha menyadarkanmu dari imajimu.
"Maaf, Dita. Aku memang seperti ini. Aku memang autis," ungkapmu.
"Apa kau jatuh cinta pada Gizelia?" celetukku.
Kau mengangguk mantap sambil berujar, "Ya."
"Kau ingin selamanya seperti ini terus? Mencintai seseorang yang tak pernah ada? Yang kau ciptakan sendiri? Lalu kau acuhkan orang-orang di sekitarmu?"
Kau hanya terdiam. Tanganmu berhenti menggoreskan kuas yang berlumuran cat itu.
"Gizelia adalah kehidupanku. Aku mengenal bakat melukisku darinya. Inspirasi lukisanku berasal dari Gizelia. Tak mudah bagiku untuk melupakan imaji tentangnya," tukasmu dengan nada yang masih cukup terdengar lembut di telingaku.
"Aku yakin tanpa Gizelia, kau masih bisa melukis dengan apik. Sebagai permulaan, bagaimana jika aku yang menjadi sosok nyata di lukisanmu selanjutnya," ucapku seraya merenggut selembar lukisan Gizelia yang ada di pangkuanmu. Segera kusobek lukisan itu menjadi perca-perca kecil dan kuhamburkan ke udara.
Sejenak aku mencermati kedua matamu yang begitu teduh. Mata seorang Mahardika sang pelukis ulung. Kita saling bertautan pandang. Berharap kau menemukan suatu keyakinan.
Bergegas aku menuju ke pinggiran Danau Ranau. Duduk menyamping dengan jarak lima meter di hadapanmu. Rambut yang sedari tadi berkuncir, kubuat tergerai. Aku mencoba semirip mungkin dengan gadis imaji di lukisan tadi. Gizelia.
Dengan sigap kau mengambil kertas kanvas baru. Kau lukis diriku. Tentunya aku tidaklah mirip dengan Gizelia di lukisan tadi.
Kau seakan menikmati setiap goresan kuasmu yang membentuk rupaku. Rupa dari seorang gadis yang benar-benar nyata, bukan gadis khayalan seperti Gizelia yang selalu membelenggu pikiranmu.
Menit-menit berlalu, aku masih bertahan dengan posisiku. Kau pun masih sibuk memberikan sentuhan akhir dalam lukisanmu.
"Dita, aku sudah selesai melukis dirimu," serumu.
Aku tersenyum seraya memandang takjub pada hasil lukisanmu. "Sosok di lukisanmu kali ini terlihat lebih hidup, ya?"
"Bukankah sesuatu yang nyata akan terlihat hidup meskipun hanya sebuah lukisan?" sahutmu. "Terima kasih kau mau menemaniku melukis hari ini."
"Sama-sama, Dika. Kau adalah pelukis ulung," pujiku standar.
Kau mengambil tanganku. Meremasnya dan kau letakkan di atas pangkuanmu. Dengan senyuman termanismu, kau lalu memudar. Kemudian sekujur tubuhmu bercahaya. Perlahan-lahan dirimu luruh. Meninggalkan butir-butir cahaya yang melayang ke langit. Lenyap.
Mahardika. Teman imajinerku. Karena aku sendiri seorang gadis autis.
(oleh: Antonius Pramono, foto: imgfave.com)