Satu Pertanyaan Untuk Tuhan

By Astri Soeparyono, Kamis, 22 November 2012 | 16:00 WIB
Satu Pertanyaan Untuk Tuhan (Astri Soeparyono)

***

 

Malam hari sebelum kejadian

            "Ibu kan sudah bilang. Kamu masuk jurusan akuntansi saja. Kok ya kamu pakai ngotot segala mau jadi pramugari? Mau jadi apa? Nyari kerjaan kok yang aneh-aneh." Ibu mengomel sambil tetap mencuci piring yang bertumpuk. Aku hanya bisa diam sambil menekuk muka. Ayah dan Ibu sama saja jalan pikirannya, kokamut! Kenapa sih, jadi pramugari mesti dikonotasikan negatif?

            "Ibu tuh enggak ngerti. Jadi pramugari tuh enak...Keren." Aku menaikkan sedikit nada bicaraku. Capek berkali-kali berdebat tentang topik ini. Kenapa ibu tidak mau mengerti keinginan aku, sih?

            "Keren? Kamu mau kerennya saja? Cita-cita kamu enggak bisa lebih wajar lagi apa?" Ibu balas menjawab kata-kataku dengan nada yang lebih tinggi. Aku benar-benar bosan bertengkar karena masalah ini. Dengan kasar aku berbalik meninggalkan Ibu.

            "Ibu belum selesai bicara, Bilqis!"

            "Sudahlah, Bu. Bilqis capek. Terserah Ibu lah aku jadi apa. Bilqis enggak peduli." Aku berteriak kesal.

            "PRAAAAANNNNGG..." Rasa-rasanya piring yang ibu cuci jatuh. Tapi aku tidak peduli. Bersamaan dengan suara yang memekakan telinga itu, aku berlari keluar rumah.

***

            Aku baru ingat kejadian itu. Dengan getir aku tertawa pelan, tentu saja aku Cuma manusia biasa. Sangat hafal dengan semua kelakuan baikku, tapi gampang lupa dengan dosa yang sangat besar. Tapi aku tidak pernah menyangka kalau kesalahan itu harus dibayar dengan cara seperti ini. Aku bahkan belum minta maaf pada ibu. Aku bahkan belum sempat melihat wajahnya lagi.

            "BILQIISSS! Sebuah suara terdengar nyaring. Dengan lesu aku menoleh pada suara yang mengusikku. Di sana terlihat Kana berlari menghampiriku. Sepertinya dia tidak menderita sepertiku. Bukti kalau Tuhan tidak adil.