Satu Pertanyaan Untuk Tuhan

By Astri Soeparyono, Kamis, 22 November 2012 | 16:00 WIB
Satu Pertanyaan Untuk Tuhan (Astri Soeparyono)

            Aku kehilangan semuanya.

            Tuhan tidak adil.

            Tuhan tidak ada.

            "Gimana bisa bersyukur kalau rumah aku hancur?"

            "Gimana bisa beryukur kalau aku sekarang kesakitan dan hampir mati. Dan gimana aku bisa bersyukur kalau Ibu aku meninggal? Kamu enggak tahu rasanya hampir mati kayak aku! Kamu enggak tahu rasanya ada di tempat ini! Dan jangan seekali-kali bilang kamu tahu rasanya." Aku berteriak kasar pada Kana. Benci sekali dengan air mata yang dari tadi tidak bisa berhenti keluar.

            Di sana, orang masih saja ramai. Mayat bergelimpangan dan rumah sudah rata dengan tanah. Ada yang menangis sendirian, ada yang mencoba tabah. Air bekas jebolan tanggul masih setinggi lutut. Warnanya keruh dan memuakkan. Orang-orang berbondong-bondong mengungsi ke tempat aman. Sejujurnya aku tidak peduli lagi dengan keselamatanku.

            "Masih banyak yang bisa kamu syukurin, Qis. Percaya sama aku. Kamu saja yang belum sadar." Akhirnya Kana menjawab lirih. Samar-samar aku melihat mata Kana memrah. Air matanya jatuh melihatku menangis sesegukan.

            Apa salahku?

            Kalau Tuhan memang ada, kesalahan apa yang aku lakukan sampai harus mengalami ini.

***

 

Dua bulan sebelumnya