Satu Pertanyaan Untuk Tuhan

By Astri Soeparyono, Kamis, 22 November 2012 | 16:00 WIB
Satu Pertanyaan Untuk Tuhan (Astri Soeparyono)

            "Akhirnya aku nemuin teman yang aku kenal." Kana berbicara dengan nada bagahia bercampur lega. Aku melengos tak acuh mendengar kata-katanya.

            "Ngapain nyariin teman yang kamu kenal di sini? Paling sudah mati semua," aku menjawab sinis.

            Qis...Teman-teman di sekolah khawatir sama semua teman yang rumahnya ada di sekitar tanggul ini. "Kana menatapku sedih. Ia mencoba untuk berempati dengan kejadian yang menimpaku. Dan bagiku usahanya itu gagal. Tidak aka nada seorang pun yang mengerti perasaanku. Tidak aka nada yang tahu rasanya.

            "Rasa khawatir kalian enggak bakal bikin luka-luka aku sembuh. Kata-kata, 'aku ikut sedih' dari kalian enggak bakal bikin Ibu aku balik lagi!" Aku memekik kesal. Tiba-tiba air mataku merebak. Perutku lapar sekali. Aku haus, dan luka baret sekaligus memarku terasa berdenyut-denyut.

            "Semuanya memang enggak bisa balik lagi. Tapi setidaknya kamu masih hidup sekarang." Kana berusaha mendekatiku. Yang benar saj. Aku bau dan lengket sekarang.

            "Aku tetap hidup, Kan." Aku menyela kata-katanya dengan kasar.

            "Aku tetap hidup karena aku enggak mati di musibah sialan itu!" lanjutku geram. Anehnya air mataku tetap turun meskipun kemarahan tidak bisa lagi dikendalikan. Aku lupa yang mana rasanya sedih, dan yang mana rasanya marah.

            "Ini kenyataan yang mesti kamu terima, Qis..." suara Kana terdengar rendah. Memberikan penekanan pada tiap kalimatnya.

            "Kenyataan apa yang kamu maksud, hah? Kenyataan apa? Kalau rumah aku sekarang rata sama tanah, buku-buku aku, seragam aku, HP aku, ORANGTUA AKU, hilang semua! Dan sekarang kamu datang dengan baju bersih dan baik-baik saja."

            "Apa yang kamu tahu dari kenyataan ini? Yang mana kenyataan yang kamu maksud, hah?"

            "Bilqis! Jangan bicara kayak gitu. Harusnya kamu bersyukur bisa selamat dari musibah ini. Mungkin saja Ibu kamu selamat. Kan belum dicari..." kini Kana berhasil menggapai tanganku. Aku meringis pelan saat Kana tak sengaja menyentuh lukaku. Kana yang begitu wangi dan bersih ini tidak kehilangan apa pun.

            Aku?