"Hidupmu kurang satu bumbu, bumbu yang paling ajaib."
Cukup! Tirai pun ditutup. Suara dua pasang kaki beradu dengan aspal terdengar menembus keluar tenda kecil peramal pinggir jalan itu. Nena mendengus kesal, diikuti Tulus yang tergopoh-gopoh di belakangnya. Sementara itu, beberapa orang tua yang kebetulan lewat lekat mengamati sepasang muda-mudi dengan seragam putih abu-abu yang saling berkejaran itu. Anak muda, pikir mereka sambil menyungging senyum mengingat masa-masa yang sama dulu.
"Harusnya kita nggak usah mampir ke tenda reyot itu, buang-buang waktu saja! Memangnya hidup gue masakan apa, pake bumbu segala!" Nena mengumpat sambil meludah, masih dengan langkah cepat-cepatnya.
"Nena, stop! Tunggu!"
"Apa?!"
"Gue capek, pelan-pelan dong jalannya." Melihat wajah Tulus yang pias dan dengusan napasnya yang terengah-engah, Nena luluh. Cowok itu menunduk, menyembunyikan wajahnya, juga kekecewaannya.
"Sori deh. Abisnya, rese banget tuh peramal, ngerusak ultah gue aja!"
"Kenapa? Kalo tersinggung, berarti bener dong apa yang dia bilang tadi?"
"Tuh kan, Tulus...." Manyun bibir Nena jadinya.
"Gue, kan, cuma minta elo buat dengerin kata-kata seseorang, sebagai syarat hadiah yang gue janjiin kemarin. Nggak susah kan?"
"Tapi loe nggak bilang kalo orang itu adalah peramal!"
"Terus kenapa kalo peramal?"