Bumbu Ajaib

By Astri Soeparyono, Jumat, 10 Agustus 2012 | 16:00 WIB
Bumbu Ajaib (Astri Soeparyono)

"Di penjara itu, akhirnya Nenek mengerti, Neng, bahwa anak-anak perlu mendapat perhatian orangtuanya. Dan memberi makan anak dengan rezeki yang halal, itu satu bentuk perhatian yang luar biasa penting. Sejak itu, Nenek berhenti mencopet dan di sinilah hidup Nenek sekarang." 

"Hidup ini penuh tantangan, Nen. Siapa yang kuat akan bertahan. Kalau sekarang orangtua Neng cuek-cuek aja, buktikan kalau diri Neng berharga, raih prestasi setinggi mungkin. Jangan tergoda oleh hal-hal buruk di luar sana, nggak ada gunanya neng. Lebih baik dekatkan diri sama Tuhan, sudah pasti selamat!"

Nena manggut-manggut, dalam hati ia menyimpan ucapan si nenek, sementara pikirannya memutar sebuah memori yang mustahil ia lupa seumur hidup. Ketika dirinya begitu putus asa dan merasa sia-sia hidup tanpa kasih sayang orangtua, hampir saja sebilah pisau tajam merobek nadinya dan memutus tali kehidupan dalam tubuhnya. Namun, malaikat maut pun merasa lega ketika orang itu datang menyelamatkan hidup Nena dari keterpurukan. Orang itu, Tulus. Seorang tetangga baru yang sejak kejadian itu menjadi sahabatnya, tempat berkeluh dan berkesah, juga tempat segala tawa dan ceria kemudian bermunculan dari hubungan sederhana itu. 

Perlahan-lahan, perih di dada Nena terobati dengan bayangan itu. Bahwa ternyata selain kedua orang tuanya, ada banyak teman yang sanggup menggantikan perhatian mereka, ada banyak cara untuk mengalihkan putus asa dan kesendirian. Benar kata si nenek, lebih baik sibuk mengembangkan diri, meraih prestasi setinggi mungkin, itu jauh lebih berharga daripada terus mengasihani diri dan mengutuk takdir. 

Di depan sebuah gang yang disampingnya berdiri sebuah minimarket, taksi biru itu menepi. Seorang gadis muda berambut kusut masai turun dengan seulas senyum mengembang di wajahnya. Sebelum meluncur kembali membelah ramainya kota, si pengemudi taksi berujar dengan senyumnya yang tetap bersahaja, 

"Neng, selamat ulang tahun ya. Semoga baikan lagi sama pacarnya." Belum sempat terputus kekagetan Nena, taksi itu sudah melaju kencang dan menghilang di balik tikungan. Nena hanya bisa bertanya dalam hati, mungkinkah nenek itu pernah jadi peramal juga? 

"Nena! Ke mana aja? Gue cariin tau!"

Tulus tiba-tiba muncul di balik punggung Nena, membawa satu buket bunga Lily pink kesukaan cewek itu. Di bawah sinaran oranye lampu pinggir jalan, suasana berubah menjadi romantis. 

"Sori yaaa, tadi gue lupa ininya," kata Tulus sambil mengulurkan buket bunga itu ke arah Nena. 

"Ini hadiah istimewanya?" Nena belum mau mengulurkan tangannya, entah masih jengkel atau hanya pura-pura saja. 

"Ada lagi. Tapi elo tutup mata dulu." 

"Norak, deh, pake tutup mata segala." 

"Mau, nggak, nih?" Tanpa dikomando lagi, Nena gegas menutup matanya. Hatinya menunggu, hadiah spesial apa yang akan diberikan Tulus. 

"Oke, buka sekarang." 

Hening. Waktu serasa terhenti. Bahkan seluruh jagad raya seolah menanti-nanti reaksi Nena. Angin tak lagi berhembus, bintang-bintang berhenti berkedip dan rembulan semakin membelalakkan sinarnya. 

Papan pengumuman harga di depan minimarket bukan diisi oleh daftar harga barang-barang yang dijual, namun bertuliskan: HAPPY BIRTHDAY, NENA. I LOVE YOU. Masih ada lagi, sebuah reklame besar tepat di samping Nena dan Tulus berdiri sekarang memuat ungkapan hati yang terlalu manis untuk diucapkan: NENA, AKU MAU JADI BUMBU HIDUPMU. BUMBU YANG PALING ISTIMEWA. 

Jika bukan karena aksi walk out Nena di tempat peramal pinggir jalan tadi, kejutannya mungkin akan berjalan lebih sempurna dengan bantuan peramal gadungan yang ia mintai tolong itu. Namun tidak mengapa, begini saja sudah cukup untuk membuat Nena bungkam dan terhipnotis. 

Nena menutup matanya lagi, sekedar meyakinkan apakah ini nyata atau tidak. Dan detak jantungnya yang semakin tak jelas iramanya jelas merupakan suatu pertanda. Semua masih menunggu-nunggu apa yang akan diucapkan Nena. 

"Tulus...." 

"Hmmm...." 

"Kalau elo jadi bumbunya, gue mau banget, deh, jadi masakannya," lirih bisikan itu di telinga Tulus, namun sudah cukup membuat gempar hati cowok itu. Nena sudah ngeloyor dari tadi sambil senyum-senyum sendiri. Sementara rembulan dan bintang-bintang menjadi saksi, tak ada malam seindah malam ini bagi keduanya.

***

Oleh : Reni Lestari