Bumbu Ajaib

By Astri Soeparyono, Jumat, 10 Agustus 2012 | 16:00 WIB
Bumbu Ajaib (Astri Soeparyono)

Hening. Suara deruman kendaraan bermotor menyela kesunyian yang tercipta. Angin bertiup perlahan, menggoyangkan ranting-ranting akasia dan rambut Nena yang terurai indah. 

"Nena, gue mau kasih loe satu kado istimewa, yang gue harap bisa berkesan seumur hidup loe. Tapi hadiah ini nggak akan gue kasih gitu aja, karena setiap hal yang luar biasa butuh pengorbanan, Nena. Sudah berapa kali gue bilang, jangan liat siapa yang bicara...." 

"Tapi dengar apa yang dikatakannya!" Nena memotong bagian dari kalimat Tulus yang sudah ia hafal luar kepala. 

"Oke, jadi nggak kasih hadiahnya?" Nena tampak enggan dan sudah malas berargumen. Hari ulang tahunnya hancur sudah oleh sahabatnya sendiri! Tidak ada kue ulang tahun kejutan di pagi hari atau ucapan selamat ulang tahun di meja makan dari mami papinya. Boro-boro, mereka terlalu sibuk untuk mengingat tanggal kelahiran anak tunggalnya itu. Di sekolah tadi siang pun, ucapan selamat basa-basi dari beberapa temannya ditanggapi setengah enggan oleh Nena. 

Tulus bukannya tidak sadar bahwa hanya dirinyalah yang sanggup memberi sentuhan istimewa pada hari paling istimewa bagi sahabatnya itu, tapi apa boleh buat, ketika tak didengarnya suara apa pun dari mulut cowok  sahabatnya itu, Nena bergegas meninggalkan tempat itu. Air matanya meloncat-loncat tanpa bisa dibendung, hatinya benar-benar dirundung ngilu. 

"Taksi!" jeritnya parau ketika sebuah taksi berwarna biru telur melintas. Di jok belakang taksi itulah Nena menumpahkan tangisnya, persetan dengan supir taksi yang terheran-heran dan terus memperhatikannya lewat kaca. 

"Putus dengan pacar, Neng?" Nena segera menyusut airmata yang melelehi pipinya. Sekarang perhatiannya tertuju pada pengemudi taksi di depannya itu. Bukan, bukan karena pertanyaan yang ia lontarkan, tapi suara itu, bukan seperti suara pengemudi taksi pada umumnya. Suara serak-serak basah itu adalah suara seorang perempuan, seorang nenek-nenek tepatnya. Wow! Nena hampir membelalak melihat kaca spion yang memantulkan bayangan wajah si nenek. Wajahnya yang telah dihujani keriput itu tampak bersahaja dan apa adanya, tanpa gurat kesedihan atau penyesalan. 

"Enggak usah sedih, Neng. Nanti bisa dicari yang lain, yang lebih cocok. Hidup, kan, memang begitu, Neng." 

"Bu...bukan kok, Nek. Yang tadi itu bukan pacar saya." Si nenek kemudian terkekeh, memperlihatkan barisan giginya yang mulai bolong di sana-sini. 

"Nenek sudah lama jadi supir taksi?" tiba-tiba Nena tertarik menanyakan hal ini. 

"Sepuluh tahun. Sampai taksi ini jadi rumah kedua buat nenek. Kalo keong bawa cangkangnya ke mana-mana, nenek bawa taksi ini ke mana-mana." Tawa bersahaja itu kembali terdengar, menyenangkan mendengarnya. 

Taksi berhenti sejenak oleh lampu merah di perempatan jalan. Seorang anak pedagang asongan mengetuk-ngetuk kaca menawarkan minuman hangat di malam yang dingin itu. Si nenek membuka kaca, lalu menyelipkan selembar sepuluh ribu rupiah di kantong anak pedagang tadi tanpa mengambil barang yang ia tawarkan. Wanita itu hanya tersenyum dan mengelus pelan rambut si anak. Sebentar kemudian, lampu lalu lintas berubah hijau, taksi kembali melaju. Dari kaca spion nenek memperhatikan si anak melambaikan tangan sampai jauh dengan tersenyum dan diikuti tawa renyah. Sementara Nena menyaksikan adegan itu sambil menahan haru.