Bumbu Ajaib

By Astri Soeparyono, Jumat, 10 Agustus 2012 | 16:00 WIB
Bumbu Ajaib (Astri Soeparyono)

"Hidupmu kurang satu bumbu, bumbu yang paling ajaib." 

Cukup! Tirai pun ditutup. Suara dua pasang kaki beradu dengan aspal terdengar menembus keluar tenda kecil peramal pinggir jalan itu. Nena mendengus kesal, diikuti Tulus yang tergopoh-gopoh di belakangnya. Sementara itu, beberapa orang tua yang kebetulan lewat lekat mengamati sepasang muda-mudi dengan seragam putih abu-abu yang saling berkejaran itu. Anak muda, pikir mereka sambil menyungging senyum mengingat masa-masa yang sama dulu. 

"Harusnya kita nggak usah mampir ke tenda reyot itu, buang-buang waktu saja! Memangnya hidup gue masakan apa, pake bumbu segala!" Nena mengumpat sambil meludah, masih dengan langkah cepat-cepatnya. 

"Nena, stop! Tunggu!" 

"Apa?!" 

"Gue capek, pelan-pelan dong jalannya." Melihat wajah Tulus yang pias dan dengusan napasnya yang terengah-engah, Nena luluh. Cowok itu menunduk, menyembunyikan wajahnya, juga kekecewaannya. 

"Sori deh. Abisnya, rese banget tuh peramal, ngerusak ultah gue aja!"

"Kenapa? Kalo tersinggung, berarti bener dong apa yang dia bilang tadi?" 

"Tuh kan, Tulus...." Manyun bibir Nena jadinya.

"Gue, kan, cuma minta elo buat dengerin kata-kata seseorang, sebagai syarat hadiah yang gue janjiin kemarin. Nggak susah kan?" 

"Tapi loe nggak bilang kalo orang itu adalah peramal!"   

"Terus kenapa kalo peramal?" 

Hening. Suara deruman kendaraan bermotor menyela kesunyian yang tercipta. Angin bertiup perlahan, menggoyangkan ranting-ranting akasia dan rambut Nena yang terurai indah. 

"Nena, gue mau kasih loe satu kado istimewa, yang gue harap bisa berkesan seumur hidup loe. Tapi hadiah ini nggak akan gue kasih gitu aja, karena setiap hal yang luar biasa butuh pengorbanan, Nena. Sudah berapa kali gue bilang, jangan liat siapa yang bicara...." 

"Tapi dengar apa yang dikatakannya!" Nena memotong bagian dari kalimat Tulus yang sudah ia hafal luar kepala. 

"Oke, jadi nggak kasih hadiahnya?" Nena tampak enggan dan sudah malas berargumen. Hari ulang tahunnya hancur sudah oleh sahabatnya sendiri! Tidak ada kue ulang tahun kejutan di pagi hari atau ucapan selamat ulang tahun di meja makan dari mami papinya. Boro-boro, mereka terlalu sibuk untuk mengingat tanggal kelahiran anak tunggalnya itu. Di sekolah tadi siang pun, ucapan selamat basa-basi dari beberapa temannya ditanggapi setengah enggan oleh Nena. 

Tulus bukannya tidak sadar bahwa hanya dirinyalah yang sanggup memberi sentuhan istimewa pada hari paling istimewa bagi sahabatnya itu, tapi apa boleh buat, ketika tak didengarnya suara apa pun dari mulut cowok  sahabatnya itu, Nena bergegas meninggalkan tempat itu. Air matanya meloncat-loncat tanpa bisa dibendung, hatinya benar-benar dirundung ngilu. 

"Taksi!" jeritnya parau ketika sebuah taksi berwarna biru telur melintas. Di jok belakang taksi itulah Nena menumpahkan tangisnya, persetan dengan supir taksi yang terheran-heran dan terus memperhatikannya lewat kaca. 

"Putus dengan pacar, Neng?" Nena segera menyusut airmata yang melelehi pipinya. Sekarang perhatiannya tertuju pada pengemudi taksi di depannya itu. Bukan, bukan karena pertanyaan yang ia lontarkan, tapi suara itu, bukan seperti suara pengemudi taksi pada umumnya. Suara serak-serak basah itu adalah suara seorang perempuan, seorang nenek-nenek tepatnya. Wow! Nena hampir membelalak melihat kaca spion yang memantulkan bayangan wajah si nenek. Wajahnya yang telah dihujani keriput itu tampak bersahaja dan apa adanya, tanpa gurat kesedihan atau penyesalan. 

"Enggak usah sedih, Neng. Nanti bisa dicari yang lain, yang lebih cocok. Hidup, kan, memang begitu, Neng." 

"Bu...bukan kok, Nek. Yang tadi itu bukan pacar saya." Si nenek kemudian terkekeh, memperlihatkan barisan giginya yang mulai bolong di sana-sini. 

"Nenek sudah lama jadi supir taksi?" tiba-tiba Nena tertarik menanyakan hal ini. 

"Sepuluh tahun. Sampai taksi ini jadi rumah kedua buat nenek. Kalo keong bawa cangkangnya ke mana-mana, nenek bawa taksi ini ke mana-mana." Tawa bersahaja itu kembali terdengar, menyenangkan mendengarnya. 

Taksi berhenti sejenak oleh lampu merah di perempatan jalan. Seorang anak pedagang asongan mengetuk-ngetuk kaca menawarkan minuman hangat di malam yang dingin itu. Si nenek membuka kaca, lalu menyelipkan selembar sepuluh ribu rupiah di kantong anak pedagang tadi tanpa mengambil barang yang ia tawarkan. Wanita itu hanya tersenyum dan mengelus pelan rambut si anak. Sebentar kemudian, lampu lalu lintas berubah hijau, taksi kembali melaju. Dari kaca spion nenek memperhatikan si anak melambaikan tangan sampai jauh dengan tersenyum dan diikuti tawa renyah. Sementara Nena menyaksikan adegan itu sambil menahan haru. 

"Anak-anak, Neng. Harusnya bukan di jalan tempat mereka," gumam si nenek.

"Nenek punya anak?" 

"Tiga, sudah berkeluarga semua." 

"Dan mereka enggak ingin merawat Nenek?" 

"Sudah capek mereka melarang Nenek bekerja. Ingin mereka, Nenek istirahat dan tinggal dengan salah satu anak. Tapi apa boleh buat, naluri Nenek memang bekerja, menghirup udara kota dan menyapa semua orang." 

"Kenapa? Kok bengong? Teringat sama Nenekmu di rumah ya?" Nena tersenyum getir, sampai dadanya terasa nyeri oleh kata-kata yang belum ia ucapkan. 

"Di rumah nggak ada siapa-siapa, Nek." Ketika melihat wajah tertunduk Nena, Nenek segera membaca apa yang memenuhi hati gadis muda penumpangnya itu. 

"Ya ya ya, masalah anak-anak zaman sekarang memang rata-rata begitu, Nenek sudah sangat paham. Anak-anak di balik penjara, bisa terjerumus karena kurang perhatian dan kasih sayang orangtua mereka." 

"Nenek pernah bekerja di penjara?" Nena melupakan kepedihan hatinya sejenak, nenek di depannya ini memang berbeda, bikin penasaran. 

"Nenek pernah jadi penghuninya." 

"Hah? Serius, Nek?"  

"Ya. Tapi Nenek berharap kamu nggak buru-buru kabur gara-gara tahu supir taksi tua ini dulunya mantan pencopet pasar yang sudah tobat, ha-ha-ha!" si nenek tertawa lebih lebar daripada sebelumnya. Nena nyengir, tidak tahu harus bersikap seperti apa. Nenek ini memang penuh kejutan! 

"Di penjara itu, akhirnya Nenek mengerti, Neng, bahwa anak-anak perlu mendapat perhatian orangtuanya. Dan memberi makan anak dengan rezeki yang halal, itu satu bentuk perhatian yang luar biasa penting. Sejak itu, Nenek berhenti mencopet dan di sinilah hidup Nenek sekarang." 

"Hidup ini penuh tantangan, Nen. Siapa yang kuat akan bertahan. Kalau sekarang orangtua Neng cuek-cuek aja, buktikan kalau diri Neng berharga, raih prestasi setinggi mungkin. Jangan tergoda oleh hal-hal buruk di luar sana, nggak ada gunanya neng. Lebih baik dekatkan diri sama Tuhan, sudah pasti selamat!"

Nena manggut-manggut, dalam hati ia menyimpan ucapan si nenek, sementara pikirannya memutar sebuah memori yang mustahil ia lupa seumur hidup. Ketika dirinya begitu putus asa dan merasa sia-sia hidup tanpa kasih sayang orangtua, hampir saja sebilah pisau tajam merobek nadinya dan memutus tali kehidupan dalam tubuhnya. Namun, malaikat maut pun merasa lega ketika orang itu datang menyelamatkan hidup Nena dari keterpurukan. Orang itu, Tulus. Seorang tetangga baru yang sejak kejadian itu menjadi sahabatnya, tempat berkeluh dan berkesah, juga tempat segala tawa dan ceria kemudian bermunculan dari hubungan sederhana itu. 

Perlahan-lahan, perih di dada Nena terobati dengan bayangan itu. Bahwa ternyata selain kedua orang tuanya, ada banyak teman yang sanggup menggantikan perhatian mereka, ada banyak cara untuk mengalihkan putus asa dan kesendirian. Benar kata si nenek, lebih baik sibuk mengembangkan diri, meraih prestasi setinggi mungkin, itu jauh lebih berharga daripada terus mengasihani diri dan mengutuk takdir. 

Di depan sebuah gang yang disampingnya berdiri sebuah minimarket, taksi biru itu menepi. Seorang gadis muda berambut kusut masai turun dengan seulas senyum mengembang di wajahnya. Sebelum meluncur kembali membelah ramainya kota, si pengemudi taksi berujar dengan senyumnya yang tetap bersahaja, 

"Neng, selamat ulang tahun ya. Semoga baikan lagi sama pacarnya." Belum sempat terputus kekagetan Nena, taksi itu sudah melaju kencang dan menghilang di balik tikungan. Nena hanya bisa bertanya dalam hati, mungkinkah nenek itu pernah jadi peramal juga? 

"Nena! Ke mana aja? Gue cariin tau!"

Tulus tiba-tiba muncul di balik punggung Nena, membawa satu buket bunga Lily pink kesukaan cewek itu. Di bawah sinaran oranye lampu pinggir jalan, suasana berubah menjadi romantis. 

"Sori yaaa, tadi gue lupa ininya," kata Tulus sambil mengulurkan buket bunga itu ke arah Nena. 

"Ini hadiah istimewanya?" Nena belum mau mengulurkan tangannya, entah masih jengkel atau hanya pura-pura saja. 

"Ada lagi. Tapi elo tutup mata dulu." 

"Norak, deh, pake tutup mata segala." 

"Mau, nggak, nih?" Tanpa dikomando lagi, Nena gegas menutup matanya. Hatinya menunggu, hadiah spesial apa yang akan diberikan Tulus. 

"Oke, buka sekarang." 

Hening. Waktu serasa terhenti. Bahkan seluruh jagad raya seolah menanti-nanti reaksi Nena. Angin tak lagi berhembus, bintang-bintang berhenti berkedip dan rembulan semakin membelalakkan sinarnya. 

Papan pengumuman harga di depan minimarket bukan diisi oleh daftar harga barang-barang yang dijual, namun bertuliskan: HAPPY BIRTHDAY, NENA. I LOVE YOU. Masih ada lagi, sebuah reklame besar tepat di samping Nena dan Tulus berdiri sekarang memuat ungkapan hati yang terlalu manis untuk diucapkan: NENA, AKU MAU JADI BUMBU HIDUPMU. BUMBU YANG PALING ISTIMEWA. 

Jika bukan karena aksi walk out Nena di tempat peramal pinggir jalan tadi, kejutannya mungkin akan berjalan lebih sempurna dengan bantuan peramal gadungan yang ia mintai tolong itu. Namun tidak mengapa, begini saja sudah cukup untuk membuat Nena bungkam dan terhipnotis. 

Nena menutup matanya lagi, sekedar meyakinkan apakah ini nyata atau tidak. Dan detak jantungnya yang semakin tak jelas iramanya jelas merupakan suatu pertanda. Semua masih menunggu-nunggu apa yang akan diucapkan Nena. 

"Tulus...." 

"Hmmm...." 

"Kalau elo jadi bumbunya, gue mau banget, deh, jadi masakannya," lirih bisikan itu di telinga Tulus, namun sudah cukup membuat gempar hati cowok itu. Nena sudah ngeloyor dari tadi sambil senyum-senyum sendiri. Sementara rembulan dan bintang-bintang menjadi saksi, tak ada malam seindah malam ini bagi keduanya.

***

Oleh : Reni Lestari