WARUNG BAKSO BU IJAH

By Astri Soeparyono, Rabu, 25 Januari 2012 | 16:00 WIB
WARUNG BAKSO BU IJAH (Astri Soeparyono)

"Kenapa kamu masih disini?" tanyanya cemas. "kan kepala sekolah udah bikin peraturan baru. Murid-murid nggak boleh masih ada disekolah selewat jam 4 sore ! Emangnya kamu nggak takut ikut hilang kayak murid-murid yang dulu?"

"Ah, Bapak khawatir banget sih!" Luna memutar bola matanya.

"Terus kenapa kamu nggak bawa tas?"

Luna terlonjak kaget. Dia baru menyadari bahwa tas gemblok tak lagi menempel di punggungnya.

"Aduh! ketinggalan dikantin!" Dia menepuk dahi. Buru-buru berbalik dan

berseru. "Gerbangnya jangan di lutup dulu ya, pak'"

Pak Badrun mengawasinya berlari dengan wajah cemberut, Luna mengabaikan kecemasan si Penjaga sekolah dan terus berlari menyeberangi lapangan upacara, kelas-kelas kosong dan tiba di halaman sekolah. Tapi sayangnya, warung bakso itu sudah di kunci begitu dia sampai.

"Bu Ijah!" Serunya, mengedor-gedor pintu. "Bu Ijah, tas Luna ketinggalan didalam! buka dulu dong!"

Namun tak ada yang membukakan. Luna mulai berpikir untuk mengambilnya besok pagi saja. Tapi begitu menoleh kesamping, dia langsung mengurungkan niatnya. Rumah Bu Ijah bersebelahan dengan kantin, kenapa tidak mampir saja untuk memintanya mengambilkan tas. Luna pun beralih menggedor-gedor pintu rumah.

Pintu rumah itu tidak terkunci dan langsung membuka sendiri begitu Luna mendorongnya.

"Bu Ijah, Luna masuk ya?" serunya keras-keras, tapi tetap tak terdengar jawaban.

Luna pun melangkah ke dalam. Rumah itu kecil dan penuh sesak dengan barang-barang. Ada oven tua berkarat, televisi yang layarnya sudah retak dan sekumpulan alat masak kuno. Lantai papannya dilapisi karpet berdebu. Luna terus berjalan masuk sampai...

"Ouch!" Dia tersandung tepi karpet yang sedikit menggulung. Memaki pelan, dia bangkit berdiri. Matanya menangkap sebentuk pintu tingkap yang terlihat dibalik karpet yang tersingkap akibat disandung Luna tadi. Didera rasa penasaran, Luna akhirnya menarik tepi papan dan menemukan tangga menuju ruang bawah tanah.

Jantungnya langsung berdebar kencang. Ruang apa itu? Tak ada seorang pun di sekolah Luna yang tahu bahwa Bu Ijah memiliki ruang bawah tanah di rumahnya. Menoleh kanan kiri dan tidak melihat siapa-siapa, Luna akhirnya memberanikan diri menuruni tangga itu.

Bau busuk yang menyengat menyerang hidung begitu dia tiba di ruang bawah tanah berpenerangan lilin itu. Di sudut ada mesin giling tua dan baskom berukuran besar yang penuh berisi daging kemerahan. Luna melintasi ruangan, memandang ingin tahu gundukan-gundukan gelap di samping mesin giling.

Dan jantungnya terasa mau copot begitu melihat sosok-sosok yang sudah tak berbentuk itu. Seragam SMA mereka yang koyak penuh darah telah dilemparkan kesamping. Tulang-tulang rusuk yang tak bias dikenali lagi. Luna menatap mesin giling lagi dan tiba-tiba saja dia mengerti.

Harga daging yang mahal... Penjual bakso lain menggunakan daging tikus... rambut yang pernah dia temukan dalam baksonya...

Dia mendekap mulut menahan muntah. Tubuhnya dibanjiri keringat dingin.

"Kamu akan jadi bakso yang sangat lezat, Luna!" kata suara dibelakangnya.

Luna berbalik. Hal terakhir yang dilihatnya adalah Bu Ijah menyabetkan penggilas adonan ke arahnya.

***

 

Oleh: Nadia Helena