WARUNG BAKSO BU IJAH

By Astri Soeparyono, Rabu, 25 Januari 2012 | 16:00 WIB
WARUNG BAKSO BU IJAH (Astri Soeparyono)

"Jadi tugas kalian untuk minggu depan adalah bikin laporan penelitian tentang suatu masalah. Tema nya bebas. tapi kalian harus selidiki dulu masalah itu, baru susun laporannya. Ngerti, Anak-anak?" Tanya Bu Rita, guru Bahasa Indonesia Luna pada akhir jam pelajaran.

"Iya, Bu!" sahut murid-murid serentak.

Bu Rita segera mengumpulkan buku-bukunya yang bertebaran di atas meja, memasukannya kedalam tas dan melangkah keluar kelas sambil menenteng tasnya. Luna menoleh kepada teman sebangkunya, Lita, yang bukannya bersemangat malah menguap dengan tampang bosan.

"Ta, nanti lo mau bikin laporan tentang apa?" Tanya Luna antusias.

Lita menguap lagi sebelum menjawab.

"Apa aja deh! Pokoknya yang nggak ribet. Mungkin gue bakal selidikin kenapa murid-murid di sekolah kita sering bolos. Kalo lo gimana?"

"Gue jelas bakal nyelidikin murid-murid yang katanya hilang di sekolah kita itu!" seru Luna tanpa harus berpikir lama-lama.

Sekolah mereka memang dilanda teror menghebohkan. Belakangan ini lima orang anak berturut-turut dilaporkan hilang tanpa jejak. Orang tua mereka sangat panik dan sudah mengadukan tragedi itu ke kantor polisi. Tapi meskipun seluruh bagian sekolah mulai dari perpustakaan, kantin, laboratorium sampai kamar mandi telah di geledah, kelima murid tersebut masih belum bisa di temukan, tentu saja misteri itu menarik perhatian Luna yang sudah lama berambisi menjadi detektif.

"Ya ampun, Na! Harapan lo tinggi banget sih! Polisi aja nggak berhasil. Kenapa lo bisa berpikir lo akan tahu ke mana perginya kelima anak itu?"

"Lebih baik gagal dari pada nggak mencoba sama sekali" kata Luna yakin. Lita memutar bola matanya.

"Yah...kalo gitu hati-hati aja-jangan sampai lo jadi anak hilang yang ke enam. Kalo lo nggak ada, terus gue nyonteknya sama siapa dong?" cengirnya.

Luna mengacuhkan ledekan sahabatnya dan mulai mengadakan penelitian hari itu juga. Setelah semua murid pulang ke rumah masing-masing, dia malah memutar langkah ke belakang sekolah menuju kantin.

"Saksi utama," gumamnya sambil berjalan, memegang notebook dan menuliskan daftar orang-orang yang harus dia wawancarai. "Bu Ijah penjaga kantin".

Ketika Luna tiba di kantin, Bu Ijah tengah sibuk melayani pesanan para pelanggan. Semua murid yang menyempatkan diri makan di tempat itu sebelum pulang, tengah asyik melahap bakso Bu Ijah yang sudah tersohor kelezatannya. Warung bakso Bu Ijah memang sudah lama jadi tempat makan favorit, karena meskipun makanannya enak, harga semangkuk bakso di warung itu dijual sesuai dengan kocek anak-anak sekolah yang serba sekak.

"Maaf, Bu Ijah ?" katanya, begitu dia sudah duduk di salah satu meja. "Luna boleh ngomong sebentar, nggak?"

"Sebentar ya, Neng," ujarnya ramah, menyodorkan semangkuk bakso kepada pelanggan terakhir, melepas celemek dan menghampiri meja Luna, "Ada apa, Neng?"

"Duduk dulu, Bu," dia mempersilakan. Buku dan pulpen siap di tangan dan begitu Bu Ijah duduk, Luna segera memulai proses interogasi. "Bu Ijah, Luna kan dikasih tugas bikin laporan penelitian, terus Luna berniat meneliti penyebab hilangnya kelima orang murid di sekolah ini. Nah, Ibu kan tinggal di belakang sekolah, ibu tahu nggak kemana perginya murid-murid itu?"

Bu Ijah terkikik geli.

"Eneng itu nanyanya udah kayak polisi aja" kikiknya, menampakkan gigi-giginya yang sudah tidak lengkap lagi. "Nggak kok, Neng. Ibu nggak pernah tahu kemana anak-anak itu pergi. Lagian Neng kalo mau bikin laporan, mbok neliti yang mudah-mudah aja toh, contohnya : kenapa harga daging sekarang ini bisa jadi mahal banget? Ibu hampir nggak bisa ngambil untung lagi nih. Coba kamu dengar di tv-tv apa dampaknya. Ada orang yang jualan bakso pakai daging tikus.

Ih jijik, ya? Lagian tikus kan dagingnya Cuma sedikit. Jadi lebih baik Neng Luna bikin laporan tentang dampak kenaikan BBM aja buat pemerintah, siapa tahu harga daging bisa turun lagi."

Luna langsung bengong mendengar Bu Ijah malah berkoar tanpa henti tentang kenaikan harga daging. Benar-benar narasumber yang tidak bisa di harapkan, keluhnya dalam hati, menatap notebooknya yang masih kosong.

"Ya udah, kalo gitu Luna pesan bakso aja deh," ujarnya kecewa, memasukkan buku dan bolpoinnya ke dalam tas, bertekad untuk melanjutkan penyelidikan itu besok.

"Iya, Neng" sahut Bu Ijah sigap, bergegas kebalik konter, memakai celemeknya lagi dan mulai membuatkan pesanan Luna.

Belum sempat Luna berpikir siapa yang harus diwawancarai besok, Bu Ijah sudah datang dan menyuguhkan semangkuk bakso mengepul bersama segelas air.

"Pak satpam!" gumamnya, lalu mencaplok sesendok bakso. Luna tiba-tiba tersedak. Bihun dan serpihan bakso keluar lagi dari mulutnya ketika dia terbatuk-batuk. Untung Luna buru-buru menyambar segelas air dan meminumnya.

"Ada apaan sih?" keluhnya pada diri sendiri, menatap sisa-sisa muntahannya.

Ternyata ada segumpal rambut di antara potongan bakso-bakso itu. Benar-benar jorok! Terlalu lapar untuk peduli, Luna akhirnya mengabaikan rambut itu dan kembali melahap Baksonya,

***

Tiga hari setelah Bu Rita menugaskan pembuatan laporan penelitian, Luna mulai hilang harapan. Dia sudah menginterogasi Guru-guru, Satpam, Penjaga perpustakaan bahkan Kepala sekolah untuk mencari tahu sebab musabab hilangnya kelima murid itu. Namun hasilnya tetap nihil. Keputusasaannya semakin bertambah begitu Lita dengan bangga memamerkan laporannya tentang penyebab bolos siswa kepada Luna pagi tadi.

Seperti biasanya, sepulang sekolah Luna nongkrong di kantin sambil melahap semangkuk bakso. Dia mulai panik tugasnya tidak bisa selesai selewat batas waktu yang telah ditentukan. Memangnya kemana sih anak-anak itu? Masak mereka bisa tiba-tiba lenyap ditelan bumi. Mencucuk baksonya dengan garpu, dia menatap Bu Ijah yang sedang mencuci piring. Mungkin dia benar. Luna sebaiknya memilih topik lain yang lebih mudah diselidiki, Kenaikan harga BBM juga lumayan menarik.

Kantin sudah sepi ketika Luna menghabiskan baksonya, bangkit dari kursi

menghampiri Bu Ijah dan menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan kepadanya.

"Makasih, Neng." Ujarnya lembut, mengulurkan uang kembalian.

"Sama-sama, Bu," balas Luna. "Belum tutup, Bu?"

"Iya. Ini baru aja mau tutup," katanya. "hati-hati dijalan ya, Neng!"

Luna pun melangkah dengan gontai menuju gerbang sekolah sambil memasukan uang kembalian kedalam saku kemejanya. Kening Pak Badrun, Satpam sekolah, langsung berkerut-kerut melihatnya.

"Kenapa kamu masih disini?" tanyanya cemas. "kan kepala sekolah udah bikin peraturan baru. Murid-murid nggak boleh masih ada disekolah selewat jam 4 sore ! Emangnya kamu nggak takut ikut hilang kayak murid-murid yang dulu?"

"Ah, Bapak khawatir banget sih!" Luna memutar bola matanya.

"Terus kenapa kamu nggak bawa tas?"

Luna terlonjak kaget. Dia baru menyadari bahwa tas gemblok tak lagi menempel di punggungnya.

"Aduh! ketinggalan dikantin!" Dia menepuk dahi. Buru-buru berbalik dan

berseru. "Gerbangnya jangan di lutup dulu ya, pak'"

Pak Badrun mengawasinya berlari dengan wajah cemberut, Luna mengabaikan kecemasan si Penjaga sekolah dan terus berlari menyeberangi lapangan upacara, kelas-kelas kosong dan tiba di halaman sekolah. Tapi sayangnya, warung bakso itu sudah di kunci begitu dia sampai.

"Bu Ijah!" Serunya, mengedor-gedor pintu. "Bu Ijah, tas Luna ketinggalan didalam! buka dulu dong!"

Namun tak ada yang membukakan. Luna mulai berpikir untuk mengambilnya besok pagi saja. Tapi begitu menoleh kesamping, dia langsung mengurungkan niatnya. Rumah Bu Ijah bersebelahan dengan kantin, kenapa tidak mampir saja untuk memintanya mengambilkan tas. Luna pun beralih menggedor-gedor pintu rumah.

Pintu rumah itu tidak terkunci dan langsung membuka sendiri begitu Luna mendorongnya.

"Bu Ijah, Luna masuk ya?" serunya keras-keras, tapi tetap tak terdengar jawaban.

Luna pun melangkah ke dalam. Rumah itu kecil dan penuh sesak dengan barang-barang. Ada oven tua berkarat, televisi yang layarnya sudah retak dan sekumpulan alat masak kuno. Lantai papannya dilapisi karpet berdebu. Luna terus berjalan masuk sampai...

"Ouch!" Dia tersandung tepi karpet yang sedikit menggulung. Memaki pelan, dia bangkit berdiri. Matanya menangkap sebentuk pintu tingkap yang terlihat dibalik karpet yang tersingkap akibat disandung Luna tadi. Didera rasa penasaran, Luna akhirnya menarik tepi papan dan menemukan tangga menuju ruang bawah tanah.

Jantungnya langsung berdebar kencang. Ruang apa itu? Tak ada seorang pun di sekolah Luna yang tahu bahwa Bu Ijah memiliki ruang bawah tanah di rumahnya. Menoleh kanan kiri dan tidak melihat siapa-siapa, Luna akhirnya memberanikan diri menuruni tangga itu.

Bau busuk yang menyengat menyerang hidung begitu dia tiba di ruang bawah tanah berpenerangan lilin itu. Di sudut ada mesin giling tua dan baskom berukuran besar yang penuh berisi daging kemerahan. Luna melintasi ruangan, memandang ingin tahu gundukan-gundukan gelap di samping mesin giling.

Dan jantungnya terasa mau copot begitu melihat sosok-sosok yang sudah tak berbentuk itu. Seragam SMA mereka yang koyak penuh darah telah dilemparkan kesamping. Tulang-tulang rusuk yang tak bias dikenali lagi. Luna menatap mesin giling lagi dan tiba-tiba saja dia mengerti.

Harga daging yang mahal... Penjual bakso lain menggunakan daging tikus... rambut yang pernah dia temukan dalam baksonya...

Dia mendekap mulut menahan muntah. Tubuhnya dibanjiri keringat dingin.

"Kamu akan jadi bakso yang sangat lezat, Luna!" kata suara dibelakangnya.

Luna berbalik. Hal terakhir yang dilihatnya adalah Bu Ijah menyabetkan penggilas adonan ke arahnya.

***

 

Oleh: Nadia Helena