The Transporter

By Astri Soeparyono, Senin, 16 Januari 2012 | 16:00 WIB
The Transporter (Astri Soeparyono)

          Ide bagus Jonathan Ward! Kenalkan dirimu di depan kelas sambil berkata "Hi, I'm Jonathan1 I'm a transporter! I can transport myself anywhere, anytime." Kalau mereka akan berpikir aku adalah penggemar lunatik film fiksi ilmiah dan tertawa terbahak bahak. But by the way, memang sebegitu pentingkah memberi tahu mereka bahwa aku adalah seorang transporter?

          Sampai di balkon sudah berjejer makhluk-makhluk setinggi lima kaki. Ah, aku tidak boleh menyebut mereka begitu. Mereka akan menjadi guruku, mereka bukan hobbit, Nathan!

          Mereka tampak terkesima melihatku. Oh come on, cewek-cewek saja belum pernah melihatku setakjub itu. Anyway, aku bukan badut di pusat perbelanjaan atau taman bermain. Wajar saja kalau mereka membelalak takjub, mereka pasti sangat jarang melihat orang yang memiliki tinggi enam kaki dan dua inci.

          Satu persatu para guru menyalamiku dengan senyum hangat. Sesaat aku merasa seperti berada di North Shore High, sekolah lamaku. Salah satu guru menghampiriku. Sangat jelas ia sudah berumur, rambutnya terlihat beruban dan tipis, giginya nyaris tanggal semua. Namun ia berjalan tegap walau nyaris satu kaki lebih pendek dariku. "Welcome to Kusuma Bangsa High School. Jonathan," sapanya ramah.

          Seraya menjabat tangannya, aku menggumamkan nama sekolah ini secara baik. And I think I get that!

          Jonathan? Sebaiknya mereka mulai memanggil aku Nathan. Nathan terdengar lebih singkat daripada Jonathan. Atau mereka bias panggil aku Nate, like she did.

          Aku menyusuri langkah menuju kelasku yang katanya berada di lantai empat itu. Aku tahu ini bakal melelahkan kecuali saat aku memandangi cewek-cewek di sekolah ini. Mereka tampak cantik dengan kulit mereka yang kuning dan ada yang yang lebih cantik lagi dengan kulit mereka yang kecoklatan sempurna.

          Orang-orang mulai memperhatikanku dengan aneh. Nah, ini yang membuatku bingung dan muak. Aku mempercepat derap langkahku. Namun, tiba-tiba aku menabrak sesuatu, atau mungkin seseorang.

          BRUKKK! Ya, aku menabrak seorang gadis tepatnya.

          "I'm terribly sorry, "ujarku sembari merapikan lembar-lembar kertas dari mapnya.

          Ia tidak membalas. Menengadah pun tidak. Ia hanya berlalu setelah mengambil lembaran kertsa yang terjatuh. Yang bisa aku lihat hanya rambut hitam lurusnya yang berkibar-kibar dan kakinya yang jenjang berlari menelusuri sepanjang anak tangga.

          Ah, rasanya seperti cerita klasik saja!