The Transporter

By Astri Soeparyono, Senin, 16 Januari 2012 | 16:00 WIB
The Transporter (Astri Soeparyono)

          Aku berlari mengejar ombak namun aku unrungkan karena aku tak mau membasahkan baju seragamku. Aku hanya duduk dan merasakan air pantai yang menyentuh jari-jari kakiku.

          Andai Stacie ada di sini, ia yang biasanya menemaniku duduk di tepi pantai ini. Begitu menyenangkan melihatnya menari dengan pom-pomnya di tepi pantai ini. Begitu hangat saat ia menyandarkan kepalanya di bahuku. Ia bahkan memujiku bahwa aku mempunyai bahu bidang dan pantas untuk disandari gadis secantik dirinya. Saat itu aku bisa merasakan rambut hitam lurusnya lurus tergerai menyentuh bahu hingga lenganku.

          Anadai aku dapat mencegahnya berjalan keluar sendirian dari North Shore malam homecoming yang ramai itu. Aku ingat saat mata cokelat besarnya tampak kosong, rona pipinya memudar dan memanggilku, "Nate, Nate,..." Memanggilku hingga sinar cokelat matanya benar-benar meredup. Pegangan tangannya  yang kuat terasa agak merenggang dan dingin, sampai akhirnya terlepas.

          Waktu menunjukkan aku masih punya sisa 15 menit lagi sebelum bel berbunyi. Aku melangkah meninggalkan North Shore. Aku pasang lagi sepatuku.

          Saat aku memasang sepatuku, aku melihat sesosok gadis berambut hitam lurus panjang dan mengenakan jaket hitam. Ia duduk di batang kayu yang dulu sering aku duduki berdua bersama Stacie. Batangan kayu tempat kami duduk berdua dan menikmati Taco, makanan kesukaan Stacie, atau menikmati secangkir macchiato panas. Aku memerhatikan gadis itu. Aku mengendap-endap berusaha mendekatinya. Stacie kah? Atau mungkin... gadis yang duduk di sebelahku di sekolah baruku? Rasanya tak mungkin.

          Ia tidak sendirian, ia duduk bersama seorang pria berambut pirang dan berkulit putih. Cowok itu terlihat sebaya denganku. Mereka tampak begitu mesra, duduk bersebelahan dan merapat. Mereka tampak serasi. Sang gadis menyandarkan kepalanya k bahu si pria. Yah. Hal yang dulu sering aku lakukan bersama Stacie. Namun, entah mengapa melihatnya kali ini membuat jantungku berdegup cepat dan pipiku terasa panas.

          Beberapa saat kemudian, sang pria berjalan meninggalkan gadis itu sendirian. Aku sempat mendengar beberapa ucapan pria itu. Ia hanya mengucapan selamat malam dan berlalu.

          Ah, saatnya aku kembali. Lima belas menit terakhir nyaris aku habiskan untuk melihat orang berpacaran!

          Saat aku memutar badan, aku rasakan pasir-pasir bergerak, sebagian tertiup ke udara mengikuti angin malam. Bumi pun terasa sedikit berguncang. Pohon-pohon palem di depanku pun bergoyang kecil.

          "Gotcha!" teriak suara dari belakangku.

          Aku membalikkan badan dan melihat gadis yang duduk di sebelahku tadi. Pertama kali aku melihat ia tersenyum, mirip sekali dengan senyum Stacie. Aku hanya tersipu malu.

          "Was it so great seeing other people romancing?" sindirnya.