The Transporter

By Astri Soeparyono, Senin, 16 Januari 2012 | 16:00 WIB
The Transporter (Astri Soeparyono)

          Akhirnya, aku masuk juga di kelas baruku. Dan akhirnya juga, keramahtamahan remaja Indonesia mulai membuatku jenuh. Mereka berulang-ulang menanyakan namaku, (Jonathan Ward panggil saja Nathan), di mana tempat tinggalku dulu (North Shore, oke?!). Mereka bahkan menanyakan berapa lama aku tinggal di Indonesia, padahal aku baru menginjakkan kaki di Indonesia jam tiga pagi tadi.

          Parahnya, mereka terus-menerus memanggil Jonathan. Rasanya aku menjadi dua puluh tahun lebih tua bila mereka terus memanggilku Jonathan. Rasanya aku menjadi dua puluh tahun lebih tua bila mereka terus memanggil Jonathan.

          Hal-hal yang membosankan juga terjadi, aku harus memperkenalkan diri di depan kelas sampai beberapa kali.

          Setelah beberapa lama, akhirnya aku dapat duduk dan bernapas lega juga di bangkuku. Aku ditempatkan di barisan ujung kanan nomor dua, di deretan paling belakang.

          Dan, akhirnya aku dan anak-anak lain belajar fisika dengan bahasa yang berbeda. Aneh. Tapi, untung aku bisa mengikuti perlahan-lahan.

          Great! Di hari pertama sekolah aku lupa membawa kotak pensil. Terpaksa aku meminjam ke salah satu dari 30 teman baruku ini. Aku menoleh ke samping kananku. Kulihat sesosok gadis dengan rambut hitam lurus yang tergerai di punggungnya. Jaket hitam bermotif tengkorak yang ia pakai cukup menyita perhatianku. Aku bertanya-tanya di mana ia membelinya. Ia terlihat santai mendengarkan lagu yang sedang diputar di iPod nano hitamnya. Cukup lama bagiku untuk mendapatkan perhatiannya dan berusaha meminjam pena karena ia tampak larut dalam lagu yang ia dengar. Tapi, dari penampilannya yang terkesan cuek mungkin saja ia tidak punya pena untuk di pinjamkan.

          "Excuse me," berkali-kali aku memanggilnya. Ia baru menengadah saat aku aku memanggilnya untuk ketiga kalinya. "Um, miss..." lanjutku. Aneh, baru kali ini aku memanggil seseorang yang sebaya dengan panggilan formal dan sopan. Hei, sepertinya dia adalah  gadis yang tak sengaja kutabrak di tangga tadi.

          Ia menyipitkan matanya.

          Namun, ia tidak bisa menutupi bahwa ia mempunyai mata cokelat besar yang amat indah. Ia terlihat mengantuk namun rona merah pipinya masih membuatnya terlihat segar dan manis. Begitu pula dengan bibirnya yang merah tipis.

          Aku tertegun sejenak.

          "may I borrow your pen?" tanyaku dengan bahasa Inggris yang amat dasar. Yah, siapa tahu kecantikan gadis ini tidak tercerminkan dalam bahasa Inggris yang baik dan benar. Ia mengangguk  dan merogoh kotak pensilnya lalu mengulurkan satu pena Hi-Tech biru padaku.

          "Thanks," ujarku. Lagi, ia tak mengatakan satu patah kata pun untukku. Aku penasaran ingin mendengarkan suaranya. Tapi ia kembali menggelamkan wajah sambil mendengarkan lagu dari iPod-nya. Sesekali ia menyentuh touch-pad untuk mengganti lagu yang sedang diputar. Sesekali aku mendengar ia bernyanyi kecil, setidaknya aku bisa mendengar suaranya walau sangat jlas ia tidak bisa beryanyi.