Suatu hari, seperti biasa aku hanya mampu mengintip dari celah pintu yang tak tertutup rapat dari kamar Andra, dari sini aku melihat air mata yang jatuh berguguran dari orang-orang yang begitu mengagumi dan merasa kehilangan sang pangeran gitar yang kini telah terbujur kaku tak bernyawa. Aku tak mengerti! Lelucon macam apa ini, Andra?! Semua berlalu begitu cepat dan sangat tak bisa kuterima! Benarkah Andraku telah pergi? Tapi mengapa ia pergi? Setega itukah ia meninggalkan orang-orang yang begitu menyayanginya? Tapi kenapa? Apa yang salah? Apa yang telah terjadi pada Andraku ini?
Dalam gelapnya hati, kucoba telaah lebih dalam dan melihat sekeliling kamar hampa yang banyak menyimpan kenangan antara aku dan Andra. Aku tak percaya atas apa yang baru saja kutemukan di atas meja komputernya yang letaknya berdampingan dengan foto Citra. Satu minggu ini, Andra bersikap seolah tak terjadi apa-apa pada dirinya. Padahal sesungguhnya, satu minggu yang lalu organ tubuh yang bersemayam dalam tubuhnya yang tak lain adalah jantungnya tengah menjadi bom waktu bagi dirinya, bom waktu yang hanya menunggu hitungan jari untuk meledak dan dapat menutup semua lembaran kehidupannya.