Fairy Trade

By Astri Soeparyono, Minggu, 7 Agustus 2011 | 16:00 WIB
Fairy Trade (Astri Soeparyono)

Windsor, 27 Mei 2007

          Hari ini sungguh melelahkan. Aku perlu istirahat seharian penuh. Walaupun begitu, aku tidak menyesal dengan apa yang kujalani di Aberdeen, Skotlandia. Aku dan Amber mengunjungi sebuah yayasan social dan bertemu dengan mereka yang tidak seberuntung kami. Mereka cukup tersenyum dan aku akan merasa lega.

          Entah kenapa aku selalu bersama Amber. Padahal aku dan dia sangat berbeda. Dia suka music klasik, sastra dan elegan. Aku?  Kalau bukan Eminem, lebih baik aku tidur saja. Ngerti kan? Bangsawan sejati dan rakyat wannabe. Ya, mungkin karena umur kami yang sebaya.

          Begini maksudku. Menurut struktur British Royal Family, aku dan Amber dapat dikatakan sepupu jauh. Kakek kami adalah anak George V, sehingga ayahku, Duke of Gloucester, sepupuan dengan ibu Amber, Puteri Augusta. Sebelumnya, aku yakin kalian terkejut bahwa aku adalah anggota royal family. Haha, aku juga tak pernah berdoa ketika lahir langsung menghirup oksigen Pangeran William.

          Kami tinggal di Kastil Windsor yang terletak di Windsor, kabupaten Berkshire. Seribu tahun yang lalu William I memprakarsai pembangunan kastil di sekeliling Sungai Thames. It's a huge castle.

          Sekarang aku yakin akan tidur.

          "Kau sudah pulang?" kata Ella, kakakku.

Bagaimana ia masuk tanpa menimbulkan satu bunyi apapun? "Nanti malam akan ada makan malam bersama anggota kerajaan lain di St. George Hall."

          "Tidak ada Pangeran William. "keluhku.

"Aku tidak perlu datang."

          "Flo, yang lain ingin mendengarkan perjalananmu ke Aberdeen."

***

          House of Windsor, Amber's Room

          Aku harus berdiskusi dengan Amber. Jujur, aku sama sekali tidak kenyang dengan kalkun mala mini.

          "Flo, we'll go to Angola!" Amber menjerit solah itu hal yang controversial.

          "Kenapa harus kita?"

          Aku tersenyum. "Mnurut ayahku, kita sukses dalam aksi sosial kita di Aberdeen. Katanya kita pintar bersosialisasi. Pandangan Angola terhadap kerajaan Inggris akan membaik."

          "Aku bahkan belum pernah ke Afrika," sambungnya lagi.

          "Aku dulu pernah ke Madagaskar. Aku ingin sekali lagi ke sana."

          "Setahuku, orang Angola benci orang Eropa," wajah Amber berubah mengerikan.

          "Kita ke sana dengan misi mulia. Mempelancar hubungan perdagangan UK dan Angola,"jelasku. "Dan huning summer stufi!"

          Amber mulia tertarik. Ia merebahkan badannya di sofa setelah pusing di kamarnya sendiri. Aku tahu kalau dia memang sedang berburu baju untuk summer. Bukankah Angola itu Negara dengan iklim tropisnya?

***

Luanda, 3 Juni 2007

          Panas! Inikah yang dinamakan iklim tropis? Inggris memasuki musim panas, tapi enggak sepanas ini. Kalau kau ingin aku menggambarkan Angola. Datu kata. Kuning.

          Sekarang kami berada di Hotel Internasional Angola. Aku satu kamar dengan Amber yang sangat berisik. Aku memandangi kota ini dari balik jndela kamar. Beautiful. Kota ini tidak sebising Windsor, London atau Wales. Setidaknya aku yakin hanya 3% orang yang mrayakan pesta sampai pagi dan akhirnya mengundang polisi karna mengganggu ketenangan sekitar. Aku suka suasana malam yang terasa hangat. Romantis.

Luanda, 4 Juni 2007

          Aku dan Amber menuruni mobil tepat di depan pagar perkebunan cokelat di pinggiran kota Luanda. Kami disambut oleh Menteri Perdagangan Angola, Joaquim Ekuma Muafumua. Ia bilang kalau ia merasa tersanjung dapat bertemu dengan kami. Kami masuk ke dalam areal prkebunan. God, luas skali. Tiga kali lebih luas dari kebun kerajaan dan ini sungguh indah. Aku yakin Amber sama terpananya denganku.

          "Welcome. Kami sudah menunggu Lady Florine dan Lady Amber dari kerajaan Inggris serta Pak Joaquim." Aku tersentak."Saya Novak, kepala petani di sini. Mau saya antar anda jalan-jalan?"

          Ide bagus. Aku menggamit tangan Amber kuat-kuat. Udaranya sangat segar. Novak fasih berbahasa Inggris dan dia terkesan seperti salesman yang sedang mempromosikan cokelatnya. Aku jadi terpikir sesuatu.

          "Kami menanam cokelat di kebun kerajaan seperti ini. Sama subur. Kenapa harus ada hubungan perdagangan cokelat?"tanyaku.

          Joaquim tertawa. "Anda tahu itu." Jawaban yang membuatku penasaran. Apa maksudnya? Aku melihat ke sekitar dan... terdiam.

          "Amber," Ia menoleh." Kau lihat cowok yang di sana ?" ia mengikuti arah pandanganku dan mengangguk. Aku mendekati telinganya, berbisik..

          "Cool," bisikku.

          "Standar." tukas Amber dengan gaya menyebalkannya. Padahal cowok itu berkulit putih.

          Setelah lebih dari sejam, akhirnya kami dapat duduk tenang di tempat peristirahatan para petani cokelat. Jujur aku belum lelah. Kecuali aku melakukannya di Inggris yang kebunnya bau kimia.

          Kami mengobrol banyak dengan Novak, Joaquim dan petani lain sampai akhirnya dia datang.

          "Selamat siang, Yang mulia. Nice to meet you". Aku tak bisa memalingkan wajah darinya. Dia memakai sweater hitam, celana kargo dan topi bertuliskan 'Not Suprerman '. Wajahnya mirip... Milo Ventimiglia.

          "Dia Gregory Dminichova. Sudah seminggu ia di sini untuk melakukan penelitian," jelas Joaquim."Ia datang dari Rusia."

          "Have a nice trip. Your Higness," ujar, Gregory.

Luandra, 5 Juni 2007

          Hari ini kami kembali ke perkebunan cokelat untuk membicarakan hubungan krjasama yang sudah diresmikan beberapa tahun lalu oleh menteri prdagangan kami. John Matthew Patrick Hutton. Aku sangat bersemangat. Tahu kenapa? Ya, Gregory akan hadir. Setelah semalamam aku tak bisa tidur.

          Aku dan Amber memasuki sebuah ruangan yang biasanya dipakai sebagai kantor pengelolah cokelat. Skitar 100 meter dari kebunnya. Kami duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja bundar dan menatap wajah Novak, Joaquim, dan GREGORY!

          "Ok, bagaimana selanjutnya?" Tanya Amber tanpa basa-basi.

          "Saya ingin dengar pendapat anda tentang krja sama beberapa tahun ini," ujar Joquim.

          Aku mengangguk." / don't know much, tapi saya dapat mengambil kesimpulan sejak kemarin. Kebun ini luas dan terawat. Saya yakin petani di sini begitu sejahtera".

          Entah mengapa tiba-tiba aku merasa atmosfernya berubah. Mereka tetawa.

          "Begitu. Apakah anda dapat mngatakan sejahtera pada petani yang bahkan harus mencicil uang asrama daripada membeli rumah?" tukas Gregory.

          Aku terkejut. Unexpectable answer. "Aku ingin tahu."

          "Anda pasti tahu fair trade certification and labeling. Coklat sudah mendapat sertifikat resminya, tapi Negara kami menghadapi kendala," Gregory menghela napas. "Saya harap tidak ada penjara untuk saya setelah ini. Di awal 2007, 76 negara Afrika, Karibia, dan Pasifik bernegoisasi mengenai Economic Partnrs Agreements atau EPAs dengan sertifikat Eropa yang isinya berupa pemberontakan. Mereka ingin hubungan kerja sama selama ini dapat adil dan sesuai dengan kebijakan World Trade Organization. Hal itu disebut dengan Perjanjian Cotonou. Jika sampai akhir 2007 negara-negara tersebut termasuk Eropa tidak menandatangani EPAs, maka perjanjian tidak akan dilanjutkan. Itu akan merugikan 76 negara miskin. Kenapa? Karna Eropa sampai detik ini belum menandatanganinya," jelas Gregory.

          Kontan aku dan Amber shock. "Apa yang telah diperbuat oleh Eropa?" Tanya Amber sadar akan letak istananya.

          "Layaknya Amerika, mereka hanya ingin menyejahterakan negaranya dengan cara menekan kami. Anda tahu kami punya lahan cokelat. Mereka selalu memberikan subsidi dan mengekspor cokelat kami sendiri jatuh di pasaran. Pada akhirnya petani kami tidak mendapatkan imbalan yang semestinya."

          Nada bicara Novak tedengar emosi. "Negara kami akan bertambah miskin."

          Amber terduduk lemas. Ternyata bgitu. Ini situasi yang buruk. "Kami kuliah di Cambridge. Kami paham masalah politik. Jika benar ini yang terjadi, kami akan bertindak, "ujarku bijak.

          Gregory, Joaquim dan Novak tersenyum lebar. "Itu benar. Saya yakin bahwa keluhan kami akan sampai jika dengan Anda, "kata Novak.

          Setelah pertemuan menegangkan itu, kami kembali mnghirup udara segar di Luanda. Kembali k hotel. Aku tak boleh hanya diam. Aku harus mengubah ini semua. Kami sudah cukup makmur dan seharusnya dapat memakmurkan Negara lain.

          Aku jadi semakin mantap. Sudah banyak kampanye tentang ini. Aku akan jadi orang bodoh kalau sampai tidak peduli.

Buckingham Palace, 14 Juni 2007

          Aku jadi ingat round-table yang ada di Luanda. Bedanya sekarang yang kuhadapi adalah anggota kerajaan Inggris plus menteri perdagangan. Ini hari di mana aku harus mempresentasikan  hasil kunjungan ke Angola. Amber bersedia membantuku.

          Kami menceritakan semuanya. Masalah ketidakadilan dan penderitaan petani Angola. Aku berhasil menarik perhatian mereka.

          "Stahu saya, sejak tahun 2004, National Assembly of Wales sudah menyetujui kampanye agar Inggris menjadi world's 1st fair trade nation. Bahkan barang-barang berlabel fair trade ada di manapun. Kenapa unsur free trade kita masih besar?" tuturku. "Aku mohon ini dapat dikompromikan kepada seluruh Negara di Eropa."

          Yang kulihat, mereka semua mengangguk. Larry hanya tersenyum dan memberikan argumennya. Rapat usai dengan kputusan akan dipertimbangkan. Aku dongkol.

***

Windsor, 31 Desembr 2007

          Aku meringis. Seandainya aku lahir sebagai Perdana Menteri dan bukan anak seorang duke. Angola berharap padaku dan aku hanya bisa member jawaban gantung hingga hari ini. Dipertimbangkan. Aku dianggap masih anak-anak di usia 18 tahun dan terlalu emosi. Aku yakin kalau aku harus bertindak.

Windsor, 2008

          Aku bergabung dalam organisasi penegakan fair trade dan jadi juru bicara resminya. Aku tak peduli harus langsung turun lapangan. Banyak yang mendukungku. Hanya ini yang dapat kulakukan.

Jakarta, 2009

          Sejauh ini kampanye yang kami lakukan berjalan baik. Sedikit perkembangan di Eropa dan berkembang pesat di Asia. Aku tak peduli.

          Suatu hari ketika aku sedang  brkampanye, aku menangkap sesosok bayangan yang kurindukan. Gregory.

***