Qandeel Baloch, cewek asal Pakistan yang meninggal di tangan kakaknya sendiri karena dianggap memalukan keluarga dan pantas untuk dibunuh.
Di sisi lain ada Elham Mahdi al Assi dari Yaman yang meninggal empat hari setelah menikah akibat pendarahan. Elham menikah di usia 13 tahun dan menjadi korban swap marriage.
Ada juga Mousammat Akhi Akhter yang dipaksa menikah di usia 16 tahun karena lingkungannya memaksa dia untuk segera menikah. Dan, masih banyak lagi kisah tragis dan memilukan yang dihadapi cewek modern di zaman sekarang.
Di beberapa negara, ada kalanya hak-hak cewek diabaikan. Bahkan, di era modern seperti sekarang, beberapa negara masih memegang tradisi yang mengekang hak cewek.
Sehingga, banyak terjadi kisah memilukan dan tragis di mana cewek menjadi korban. Berikut 8 kisah tragis cewek modern yang harus menderita karena dilahirkan sebagai perempuan.
Berita meninggalnya model asal Pakistan, Qandeel Baloch, bikin dunia tercengang. Pasalnya, Qandeel dibunuh oleh kakaknya sendiri.
Alasannya karena Qandeel mencoreng nama baik keluarga karena profesinya sebagai model dan foto-fotonya yang tergolong seksi.
Kasus Qandeel ini disebut dengan istilah honor killing, yaitu cewek ‘harus dibunuh’ karena dianggap membawa aib buat keluarga atau mencemarkan kehormatan dan nama baik keluarga.
Menurut data dari PBB, setidaknya ada 5.000 cewek yang dibunuh atas nama honor killing ini.
Padahal, kalau dilihat dari kasus Qandeel, sebenarnya dia mendapat perlakuan enggak adil. Qandeel dipaksa menikah di usia 16 tahun, sama seperti cewek-cewek lain.
Di sisi lain, Qandeel sangat ingin sekolah dan berbas berkreasi. Bahkan, Qandeel menjadi model untuk membantu orangtua dan keluarganya. Sangat disayangkan hidup Qandeel harus berakhir tragis.
Di beberapa tempat, pernikahan dini masih sering terjadi. Bahkan di usia yang masih kecil banget. Bulan Maret 2016 kemarin, seorang cewek 13 tahun asal Yaman, Ilham Mahdi al Assi, meninggal karena pendarahan internal, empat hari setelah dia menikah dengan cowok yang usianya dua kali lebih tua darinya.
Ilham merupakan salah satu korban child marriage, juga swap marriage, sebuah tradisi di mana saudara pria dari pengantin pria juga menikahi saudara perempuan dari pengantin perempuan.
Perkawinan seperti ini lazim terjadi untuk mengurangi mahalnya biaya pernikahan. Sedihnya, Ilham bukan satu-satunya anak yang meninggal akibat pernikahan dini ini.
Di Indonesia sendiri juga banyak terjadi kasus pernikahan dini. Umumnya karena cewek dipaksa untuk menikah dengan pria yang jauh lebih tua dari dirinya.
Misalnya Fany Octora, yang menikah saat belum berumur 18 tahun dengan bupati Garut, Aceng Fikri di tahun 2012 lalu.
Pernikahan itu hanya bertahan empat hari. Fany diceraikan dengan alasan sudah enggak perawan lagi. Kasus ini jadi pelik karena Fany melaporkan Aceng atas tuduhan ancaman lewat SMS, sementara Aceng juga menuntut Fany dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Akhirnya, DPRD Garut memutuskan untuk melengserkan Aceng dari jabatannya atas pelanggaran kode etik.
Kasus lainnya ada Pujiono Cahyo Widianto atau yang akrab disapa Syekh Puji, pimpinan Pondok Pesantren Miftahul Jannah di Semarang yang menikah dengan Lutfiana Ulfa di tahun 2008 lalu. Saat itu usia Ulfa masih 12 tahun.
Pada November 2010, Syekh Puji divonis bersalah oleh PN Semarang dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda 60 juta karena melanggar UU Perlindungan Anak.
Namun, ada kabar kalau Syekh Puji enggak ditahan. Akhirnya, pada tanggal 27 Januari 2012, Syekh Puji mendapat izin poligami dari Pengadilan Agama Ambarawa, Semarang. Permohonan ini baru diajukan setelah Ulfa berusia 16 tahun.
Kisah tragis lainnya dialami oleh J, cewek 13 tahun yang masih duduk di bangku SD di Kabupaten Bangli, Bali. J menikah dengan pria berusia 40 tahun.
Suaminya pun ditetapkan sebagai tersangka atas pelanggaran UU Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman penjara 15 tahun. Yang bikin sedih adalah keitka J hamil.
Sempat terjadi simpang siur, yaitu J sudah hamil sebelum dinikahi, tapi dibantah. Ketika usia kandungannya menginjak enam bulan, J melahirkan.
Sayangnya, bayinya meninggal setelah sempat dirawat. Dan, J enggak kembali ke sekolah setelah itu. Untungnya camat setempat memfasilitasi J untuk mengambil kejar paket.
Mousammat Akhi Akhter, cewek 14 tahun asal Bangladesh dipaksa menikah dengan Mohammad Sujon Mia yang berusia 27 tahun. Sebenarnya, Akhi enggak mau menikah karena dia masih pengin sekolah.
Namun, tekanan sosial dan tradisi di daerahnya memaksa orangtuanya menikahkan Akhi, enggak lama setelah dia menyelesaikan sekolah dasar.
Dikutip dari Washington Post, Allison Joyce, wartawan Washington Post yang memotret pernikahan ini, menyebutkan, “sebelum pernikahannya, dia punya banyak mimpi dan harapan akan masa depannya. Akhi suka banget belajar matematika dan pengin jadi guru.
Dia bilang kalau ayahnya mendukung pendidikannya tapi sang ibu melihat enggak ada yang salah dengan pernikahan dini karena itu hal yang normal di lingkungan dan komunitas mereka, sehingga merasa inilah yang terbaik untuk Akhi. Akhi bilang padaku kalau dia ketakutan dan belum siap untuk menikah.”
Menstruasi memang jadi hal yang enggak bisa dipisahkan dari cewek. Di beberapa negara, menstruasi masih dianggap tabu. Salah satunya di Nepal.
Di desa bernama Sindhuli, cewek yang sedang menstruasi dianggap sedang terkontaminasi. Karena itu, mereka sering diperlakukan enggak adil sehingga kualitas hidupnya jadi enggak sehat.
Selama masa menstruasi, cewek-cewek ini dilarang untuk datang ke sekolah, masuk ke dapur, bahkan dilarang untuk berada di ruangan yang sama dengan laki-laki, termasuk anggota keluarga sendiri.
Mereka juga dilarang untuk memakan buah-buahan tertentu, menyentuh bunga tertentu, memerah susu sapi. Dan, mereka juga dilarang untuk melihat cermin.
Manisha Karki, salah satu cewek asal Nepal berkata, “aku ditumpangkan di rumah orang lain selama menstruasi pertamaku. Selama masa itu, aku enggak boleh ke sekolah. Aku sangat ingin ke sekolah, aku ingin membaca. Bahkan aku dilarang membaca.
Dulu, aku belum paham tentang hal-hal seputar menstruasi. Aku melakukan apa yang dibilang orangtuaku. Sekarang, aku paham banyak hal.
Itu semua salah bahwa kita enggak boleh belajar selama menstruasi. Aku percaya kalau banyak remaja cewek seperti kami yang butuh pendidikan dan kepedulian di masa awal kami mendapat menstruasi. Jika kami diberi pengetahuan yang cukup, kami bisa fokus pada kebersihan kami.”
Kalau kita masih suka malas-malasan untuk ke sekolah, kayaknya harus berpikir panjang setelah membaca cerita soal cewek asal Afganistan ini.
Di sana, sangat sedikit cewek yang bisa sekolah. Naheed berasal dari keluarga sederhana dan orangtuanya sangat mendukung dia untuk sekolah.
Sayangnya, keadaan enggak berpihak pada Naheed. Ibunya meninggal akibat ledakan bom ketika dia berusia sembilan tahun. Bersama saudaranya, Naheed akhirnya pindah ke kota lain dan sekolah di sekolah khusus untuk pengungsi.
Naheed tetap semangat bersekolah meski sekolahnya enggak punya atap dan dia harus belajar di tengah cuaca sangat panas, mencapai 45 derajat celcius.
Selulusnya sekolah, Naheed ikut sekolah kejuruan di bidang kesehatan. Sayangnya, sekolahnya ditutup paksa oleh Taliban. Bagi Naheed, itu adalah saat paling menyedihkan dalam hidupnya.
(Foto: dailymail.co.uk, globalcitizen.org, huffingtonpost.com, pakistanitoday.com)