Hal ini berangkat dari minimnya media yang mengangkat soal cewek muslim dan stigma salah yang melekat pada cewek muslim.
“Aku capek selalu dilihat pasif dan digambarkan sebagai sosok yang lemah, tertekan dan enggak berani bersuara. Aku harap bisa menginspirasi cewek muslim untuk melawan stereotype negatif ini. Kami membangun visi di media massa kalau kami ini enggak seperti yang mereka kira, lewat CNN dan Forbes, bahkan juga kolom di TeenVogue.com.
Aku enggak akan berhenti sampai kami jadi media nomor satu oleh dan untuk cewek muslim. Cewek muslim itu harus berani bicara dan dunia berhak mendengarkan apa yang ingin kami sampaikan,” ungkapnya.
Suka ngomong dan storytelling membuat Lily memanfaatkan kelebihannya ini untuk menginspirasi remaja cewek lainnya. Hal ini sudah disadarinya sejak dia berumur empat tahun.
“Agamaku memberikan kesempatan untukku mengeksplorasi banyak hal, tapi tetap memegang teguh sisi kemanusiaan. Perjalanan spiritualku membuatku tertarik akan banyak hal.
Sejak umur 14 tahun, aku sudah bekerja sebagai kontributor di banyak media massa. Aku menggunakan jurnalisme sebagai cara untuk menyampaikan pendapatkan akan berbagai topik, seperti isu gender dan kesetaraan, industri entertainment, bahkan pelajaran sosiologi di sekolah.
Aku pernah membuat Li3Art, portal online bagi seniman remaja yang ingin memamerkan karya mereka. Aku yakin, kekuatan imajinasi itu harus diakui, didukung, dan dirayakan. Satu hal yang aku yakini bahwa menemukan dan menjalani passion adalah hal penting,” jelasnya.
Eli menghabiskan banyak waktunya untuk melihat dan bahkan merasakan langsung kekerasan terhadap LGBT. Karena itu, dia ingin membuat perubahan.
“Di SMA, aku mendirikan Trans Student Educational Resources, sebuah organisasi yang dijalani oleh remaja transeksual. Di sini, aku fokus menulis soal organisasi, layanan kesehatan, pendidikan, solidaritas, identitas, kebebasan, dan kesetaraan,” ucapnya.