84% Murid di Indonesia Pernah Mengalami Kekerasan di Sekolah. Kenapa Angkanya Begitu Tinggi?

By Aisha Ria Ginanti, Rabu, 28 Februari 2018 | 05:32 WIB
84% Murid di Indonesia Pernah Mengalami Kekerasan di Sekolah. Kenapa Angkanya Begitu Tinggi? (Aisha Ria Ginanti)

Kekerasan di sekolah kayaknya masih jadi PR berat bagi pendidikan di Indonesia ya, girls.

Selasa (2/5) lalu, kita mendengar kisah seorang kepala sekolah di Malang, Jawa Timur, yang menyetrum empat orang muridnya, dengan alasan terapi listrik, hingga murid tersebut mengalami gangguan kesehatan.

Lalu baru-baru ini ada video viral tentang seorang guru yang menampar empat orang siswi di kelasnya.

Sebelumnya, banyak juga kasus kekerasan di sekolah yang terjadi.

Misalnya Ferbruari lalu ada berita seorng kepala sekolah di Riau yang menganiaya 46 muridnya karena bolos libur setelah libur Imlek.

Atau yang terbaru kemarin adalah seorang siswi di Medan yang bunuh diri setelah diancam gurunya karena melaporkan sang guru yang curang saat UN.

Berikut ini adalah pemaparan tentang kasus kekerasan di sekolah yang terjadi di Indonesia.

Dari data tersebut, perlu kita garis bawahi, kalau kasus kekerasan di sekolah ini enggak cuma maslaah penganiayaan murid oleh guru, lho.

Bisa juga terjadi sebaliknya, yaitu murid mem-bully guru.

Atau bullying antara sesama murid.

Mulai dari di-bully teman sekelas satu angkatan, ‘digencet’ kakak kelas, hingga diplonco saat pelantikan ekskul atau masa orientasi siswa.

Bahkan, kekerasan juga bisa terjadi dari orang tua/wali terhadap guru, lho.

(Cari tahu juga tentang 6 Tipe Bullying Yang Sering Dialami Oleh Remaja)

Anak korban kekerasan di sekolah bisa mengalami banyak efek negatif.

Selain sakit secara fisik, dia juga akan mengalami sakit psikologis.

Bahkan bisa hingga stres besar, depresi, bahkan sampai bunuh diri.

“Konsekuensi dari tidak mengatasi kekerasan terhadap anak di Indonesia sangat buruk.

Anak yang menjadi korban kekerasan fisik, seksual dan emosional kerap menderita konsekuensi jangka panjang, termasuk kondisi fisik dan psikologis.

Bahkan kita tahu bahwa banyak pelaku juga merupakan korban kekerasan saat mereka kanak-kanak,” kata Kepala Perwakilan UNICEF di Indonesia Gunilla Olsson seperti yang dilansir oleh UNICEF Indonesia.

(Baca juga tentang Fakta Ilmiah Dan Dampak Kekerasan Bullying Pada Manusia)

Menurut Direktur Pembinaan Pendidikan Keluarga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI ,Sukiman, masih tingginya angka kekerasan di sekolah disebabkan oleh masih banyak yang menganggap kalau itu adalah salah satu cara mendidik yang benar.

"Ada yang masih menganggap bahwa itu bagian dari pendidikan. Bahwa pendisiplinan itu melalui kekerasan," katanya, seperti dilaporkan oleh Kompas.com

Menurut beberapa pengamat pendidikan, hal ini terjadi karena kurikulum sekolah yang jauh lebih mementingkan IQ (Intelligence Quotient) daripada EQ (Emotional Quotient).

Menurut Wikipedia, IQ atau kecederdasan intelektual adalah kecerdasan yang mencakup sejumlah kemampuan seperti menalar, merencanakan, memecahkan masalah,  berpikir abstrak , memahami gagasan, menggunakan bahasa dan belajar. Atau lebih berhubungan dengan kecerdasan kognitif.

Sedangkan EQ, berdasarkan Wikipedia didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi diri dan orang lain di sekitarnya.

Sekolah sebagai tempat belajar mengajar, tentu saja lebih mengedepankan urusan akademik, yang akhirnya terimplementasi dalam kurikulum yang memang mendahulukan IQ daripada EQ.

Padahal berdasarkan penelitian, EQ diketahui justru lebih penting atau setidaknya sama pentingnya dengan IQ, dalam kontribusi terhadap kesuksesan seseorang.

EQ ini jugalah yang selanjutnya akan memengaruhi bagaimana kita memerlakukan seseorang.

Dalam aplikasinya di sekolah, bagaimana murid memerlakukan guru, bagaimana guru memerlakukan murid, murid memerlakukan sesama murid, atau pun hubungan antara orang tua/wali murid dengan guru dan dengan murid itu sendiri.

Alhasil pendidikan karakter dan sikap terhadap guru dan murid juga jadi sangat kurang.

Menurut Elvira Zeyn, anggota Gerakan Masyarakat Peduli Pendidikan, hal ini yang harus diubah dan dilakukan pada sistem pendidikan Indonesia.

Yaitu, menggalakkan pembentukan karakter spriritual dalam bentuk etika moral, serta sikap, sehingga siswa, guru dan orang tua sama-sama tahu bagaimana harus memperlakukan satu sama lain.

Menurutnya, saat ini perilaku moral siswa dan guru sudah bergeser jauh karena pendidikan dasar yang tidak lagi memerhatikan pembentukan karakter anak.  

Walau pun memang dalam kurikulum, hal seperti ini sudah dimasukan dalam pelajaran Pancasila, Kewarganergaraan atau Budi Pekerti.

Namun pada kenyataannya sepertinya belum cukup teraplikasikan denganbaik. Alias hanya jadi teori.

Untuk itu nilai-nilai ini memang harus dipraktikan dalam berkomunikasi dan bersikap dalam lingkungan sekolah.

Elvira juga bilang, kalau guru sendiri juga harus memahami berbagai aturan seputar perlindungan anak, sehingga enggak lagi melakukan kekerasa terhadap murid.

Karena tanggung jawab guru enggak hanya mengajarkan materi akademis tapi juga mendidik dan melindungi siswa dari segala bentuk kekerasan dan ancaman.

Tapi tentu saja, hal ini juga enggak bisa berhasil kalau hanya mengandalkan peran guru dan kita sebagai murid.

Peran orang tua juga penting banget. Orang tua harus bisa mengajarkan kita bagaimana berperilaku dengan baik.

Karena umumnya anak yang kurang perhatian di rumahlah yang cenderung berbuat kekerasan atau bullying di sekolah.

Tapi ada hal penting yang juga harus dikedepankan yaitu peran keluarga dalam mendidik anak. Orangtua juga harus memberikan pendidikan informal untuk menuntutn anak berperilaku baik.

Apalagi kalau kita tahu gurunya memang cukup galak.

Patuh saja pada aturan selama itu enggak merugikan kita atau sangat memberatkan.

Kalau kita berperilaku baik dan sopan tentu guru juga enggak akan punya alasan untuk melakukan kekerasan terhadap kita.

Begitu juga kalau kasusnya terjadi pada kakak kelas, kalau memang dia enggak mengancam atau menyakiti kita duluan, cuekin aja.

Enggak usah diladeni atau sengaja ‘cari masalah’ biar dia kesal.

Saat kita sudah berperilaku baik tapi masih ada guru, teman atau kakak kelas di sekolah yang melecehkan atau bahkan melakukan kekerasan pada kita, baik itu verbal atau pun nonverbal, maka kita enggak boleh diam.

Apalagi kalau sudah melakukan kekerasan fisik seperi memukul, menyetrum atau menyakiti fisik dalam bentuk apa pun.

Kita berhak melindungi diri kita dengan cara melawan.

Jangan mau diri kita jadi korban kekerasan. Apalagi kalau kita enggak salah.

Kalau kita sudah melawan tapi enggak ada perubahan, atau tindakan kekerasan yang dilakukan sudah sangat parah, maka laporkan.

Enggak perlu takut karena sebenarnya kita dilindungi oleh hukum dari segela jenis kekerasan.

Seperti UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti-kejahatan Seksual terhadap anak dan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Asal memang kita enggak salah dan lebih baik siapkan bukti .

Misalnya kalau ada luka atau memar akibat tindakan kekerasa itu, maka foto.

Atau kalau kekerasannya berupa ancamaan atau hindaan lewat teks, maka simpan.

Laporkan ini pada guru lain yang bisa kita percaya (misalnya wali kelas atau guru BK) atau kalau perlu langsung bilang pada orang tua.

(Baca juga: Tips Menghadapi Sahabat yang Tiba-Tiba Bullying Kita)