Sejak kecil, di Sekolah Dasar, kita sudah mulai diajarkan kalau Indonesia itu beragam.
Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua), karena Indonesia punya banyak ras, suku, budaya dan agama yang diakui.
Pastinya konsep keberagaman ini udah nempel banget di luar kepala saking seringnya dimasukan di pelajaran sekolah.
Tapi di satu sisi mungkin banyak dari kita yang menganggapnya sebagai sekedar hal klise aja.
Tahu itu ada, tapi ya sudah.
(Baca juga: Ribut Soal Intoleransi di Medsos, Ternyata Begini Reaksi Para Remaja)
Tapi saat ini masalah keberagaman di Indonesia lagi banyak dipakai oleh beberapa pihak untuk menimbulkan konflik dan perpecahan.
Padhaal yang namanya berbeda itu pasti akan menimbulkan ketidaksamaan dalam berpendapat, atau cara memandang sesuatu.
Yang ujungnya memang mudah banget menimbulkan konflik.
Tapi ini terjadi tentunya kalau kita memang selalu melihat cuma pada sisi perbedaannya aja, tanpa melihat sisi persamaannya.
Padahal di semua perbedaan, pasti ada kok persamaannya.
Alhasil, banyak keuntungan hidup di negara dengan suku bangsa dan agama yang beragam sering kali kita lupakan.
(Baca juga: 5 Lagu Tentang Cinta Beda Agama Yang Menyayat Hati)
Rakyat Indonesia adalah rakyat yang memiliki latar belakang yang sangat heterogen atau beragam.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), heterogen berarti terdiri atas berbagai unsur yang berbeda sifat atau berlainan jenis; beraneka ragam;
Yap, berdasarkan data Wikipedia, ada lebih dari
Atau tepatnya, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia memiliki sekitar
Dari sekian banyak suku bangsa itu,
(Baca juga: 8 Ilustrasi Tentang Perbedaan Stereotype Cewek dan Cowok)
Namun di luar itu, masih ada kepercayaan lain yang dianut oleh penduduk Indonesia.
Keberagaman ini membuat Indonesia punya banyak banget budaya dan adat istiadat, jadi negara yang menganut pluralisme.
Yang menurut KBBI (pluralisme) berarti keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya); -- kebudayaan berbagai kebudayaan yang berbeda-beda dalam suatu masyarakat.
Kalau dilihat sekilas, negara plura atau heterogen seperti Indonesia sepertinya lebih merugikan dibanding negara homoge.
Soalnya kalau homogen (homogen) kemungkinan untuk timbulnya konflik akibat perbedaan jadi jauh lebih kecil. Enggak mudah diadu domba.
Mungkin benar. Tapi bukan berart negara homogen selalu lebih mudah dan lebih menguntungkan, lho.
Kita bisa mengambil contoh dari Korea Selatan, negara yang homogen dalam hal etnis atau suku bangsa.
Menurut data Wikipedia, Korea Selatan adalah negara yang homogen k.
Hal ini juga membawa dampak negatif terhadap kehidupan masyarakatnya, lho.
Apa aja?
(Baca juga: 10 Sikap yang Langsung Bikin Orang Lain Enggak Suka Sama Kita)
Sejak kecil, orang Korea hanya mengenal satu rasa atau satu etnis, sehingga standar mereka akan, kecantikan misalnya, juga sangat sempit.
“Aku rasa Korea Selatan memiliki definisi yang sangat ketat dan sempit soal kecantikan, karena kami masyarakat dengan etnis yang homogen, sehingga semua orang tampak sama,” papar Joo Kwon, pendiri JK Plastic Surgery Center di Korea.
Hal ini menyebabkan Korea menganggap orang yang cantik atau cakep itu adalah hanya orang yang punya kulit putih pucat seperti porselen dan rambut yang lurus atau sedikit bergelombang.
Jadi, kalau ada orang yang warna kulitnya lebih gelap, atau pun rambutnya ikal/keriting, akan sangat mudah jadi sasaran bullying.
Buat fans Kpop, mungkin kita tahu kalau banyak idol yang mempunyai kulit lebih gelap dari orang Korea pada umumnya sering diejek mengenai hal ini.
Diajdikan lelucon. Misalnya Kai ‘EXO’atau Soo Young ‘SNSD’.
(Baca juga: Sempitnya Persepsi Cantik di Korea & Pengaruhnya Bagi Kita)
Bisa dibilang rasisme terhadap pendatang, khususnya kulit hitam di Korea Selatan masih cukup tinggi.
Khususnya dilakukan oleh para generasi tua yang memang hidupnya enggak banyak tereskpos pada perbedaan budaya dan etnis.
Berbeda dengan generasi mudanya yang sudah mulai lebih terbuka karena kemajuan teknologi.
Contoh kasusnya adalah beberapa tayangan TV dan seleb Kpop yang pernah terlihat kasusu ‘black face’ (memarodikan orang kulit hitam) dengan mengecat muka mereka jadi lebih gelap.
Beberapa yang pernah sampai heboh adalah kasus MAMAMOO dan tayangan komedi di stasiun TV SBS.
Contoh nyata lainnya adalah kisah orang pendatang berkulit hitam di Korea di video di atas.
Dia sering menerima tindakan rasisme karena kulit hitam dianggap ‘kotor’.
Atau cerita rasisme lainnya adalah kisa seorang cewek berhijab yang dia dan anaknya sering mengalami diskriminasi karen agama mereka yang sangat minoritas di Korea.
Pengetahuan yang terbatas tentang perbedaan suku, ras dan agama, menyebabkan hal ini terjadi.
Untungnya, seperti yang bisa dilihat di kedua video tersebut, saat ini orang Korea makin terbuka terhadap perbedaan ras dan agama.
Kalau dilihat dari beberapa contoh kasus itu, kayaknya enggak berlebihan kalau kita sebagai negara dan bangsa yang sudah terbiasa terhadap perbedaan ras, suku dan agama sejak kecil, mestinya bisa bersikap lebih baik dan terbuka terhadap perbedaan.
(Baca juga: 10 Standar Kencantikan di Korea yang Sering Bikin Kita Bingung)
Seperti yang udah disinggung sebelumnya, negara heterogen punya kekurangan akan mudah dipecah belah, kalau soal perbedaan ini terus diungkit dan dijadikan konflik.
Dan kalau menurut Malcolm Gladwell penulis dan jurnalis The New Yorker, masalah umum yang dialami negara heterogen adalah kaum mayoritas yang menekan kaum minoritas.
Jadi kaum minoritas merasa didiskriminasi oleh kaum mayoritas.
Atau kaum mayoritas menganggap kalau golongan mereka adalah yang paling baik dan eksistensi kaum minoritas itu mengganggu atau menodai golongan mereka.
Tapi di sisi lain, ada beberapa keuntungan juga yang dimiliki oleh negara heterogen, yang sayangnya sering kita lupakan.
(Baca juga: 5 Alasan Kulit Sawo Matang Enggak Kalah Cantik dari Kulit Putih)
Enggak ada yang bisa memungkiri kalau budaya Indonesia itu indah dan kaya banget.
Tarian, lagu daerah, makanan, rumah adat, pakai adat, rumah adat dan masih banyak lagi.
Emang enggak senang punya banyak pilihan makanan khas daerah buat dinikmati atau wisata kuliner?
Atau enggak senang bisa pergi traveling ke berbagai daerah yang berbeda dan menikmati suguhan budaya yang super unik dan cantik?
Kita jadi bisa menikmati berbagai pengalaman unik dan seru mempelajari budaya lain yang berbeda.
Itu semua indah dan nikmat, girls.
(Baca juga: 5 Seleb Cewek Indonesia yang Pintar, Berprestasi dan Cocok Dijadikan Idola)
Sejak kecil kita melihat, mengenal dan merasakan yang namanya perbedaan.
Bertemu dengan orang yang berbeda suku, agama dan budaya, sehingga terbiasa akan perbedaan.
Secara enggak sadar, ini akan membuat diri kita jadi lebih terbuka dan terbiasa untuk toleransi saat menemukan sesuatu yang berbeda.
Kebiasaan ini akan terbawa saat kita traveling ke negara lain. Berguna banget!
Jadi lebih bisa menghargai dan enggak mudah merasa jadi ‘alien’ saat menemukan sesuatu yang asing.
(Baca juga: 10 Makanan Khas yang Cuma Ada Di Indonesia)
Kita terekspos pada budaya, sikap, adat bahkan agama yang berbeda.
Ini membuat kita jadi bisa lebih memilih mana yang kita rasa cocok untuk kita.
Soalnya setiap golongan pasti punya keunikan masing-masing, yang mungkin lebih cocok dengan apa yang kita inginkan atau anggap benar.
(Baca juga: 7 Film Indonesia dengan Cerita Super Menyentuh dan Keren)
Bagi Nathania Ferinda Roemawi (16) dan Janis (20) tahun, perbedaan suku dan agama enggak jadi masalah sama sekali.
Kedua cewek ini ngaku mereka bersahabat baik dengan orang yang berbeda suku dan agama dengan mereka, dan itu seru banget!
Nathania sahabatan Jenina Michella Permanaputri (15), sejak mereka kelas 3 SMP.
Bertemu di sebuah perlombaan bahasa Inggris, karena masuk ke tempat les yang sama.
Nathan adalah seorang muslim keturunan Minang, sedangkan Jenina adalah penganut Kristen dan keturunan Tionghoa.
Tapi mereka bersahabat baik hingga sekarang. Bahkan keluarga mereka juaga jadi saling mengenal dan berteman baik.
“Kami selalu positif thinking. Enggak jadiin perbedaan agama patokan dan enggak merasa itu memengaruhi banget.
Kadang aku penasaran, pengin tahu tentang pandangan dia tentang sesuatu menurut keyakinannya, begitu juga dia sama aku.
Jadi kita ngobrol dan justru jadi bisa tukar pikiran. Nambah wawasan karena adanya perbedaan kami,” jelas Nathania.
Nathania juga ngaku, justru dengan sering ngobrol dari sudut pandang atau kebiasaan yang berbeda, dia dan Jenina jadi bisa menemukan banyak persamaan di antara dua hal yang dianggap beda itu.
Mereka pun bisa klop bersahabat karena persamaan yang dimiliki.
Di antaranya sama-sama suka dan bisa main alat musik.
“Justru karena agama kami beda, toleransinya jadi makin tinggi.
Lebih sadar dan menjaga ucapakan biar enggak salah dan menyinggung hal-hal yang sensitif. Lebih menghargai aja,” tambah Nathania.
(Baca juga: Menerima Sahabat Apa Adanya)
Janis Ageswara (19) ini seorang muslim yang lahir dan besar di Jakarta. Tapi pindah ke Bali untuk kuliah di Universitas Udayana.
Di sana Janis menemukan teman satu geng, yang jadi sahabat dekatnya sejak masuk kuliah tahun 2015 sampai sekarang.
Teman satu geng Janis ini orang Bali semua dan beragama Hindu.
Jadinya Janis satu-satunya yang beda agama.
Tapi Janis enggak pernah merasa itu masalah dan enggak pernah mengalami diskriminasi.
Hal yang paling simpel adalah saat makan bareng.
Sebagai muslim, Janis enggak boleh makan babi, sedangkan teman segengnya semua penyukan masakan dari daging babi yang juga banyak dan terkenal di Bali.
“Misalnya kalau makan siang, tadinya mereka mau makan di tempat yang ada babinya, tapi karena ada aku, jadinya batal. Cari tempat makan yang aku juga bisa makan.
Lama-lama jadi kebiasaan aja. Kadang aku juga nemenin mereka makan babi, setalah itu gantian, merekan yang nemenin aku makan (halal),” cerita Janis.
Intinya menurut Janis, perbedaan itu enggak jadi masalah sama sekali.
Bahkan kadang Janis menerangkan tentang bagaimana itu solat karena teman-temannya bertanya, dan teman-temannya juga menerangkan tentang budaya dan agama mereka.
Satu hal yang pasti, menurut Janis, mereka bersahabat dekat karena punya banyak persamaan.
“Dari ketemu pas Ospek udah ‘sreg’ banget.
Kebetulan yang kami sukai, pikirin dan omongin itu mirip-mirip jadi bisa nyambung satu sama lain.
Kami suka makan-makan, foto-foto, jalan-jalan menjelajah,” jela Janis.
Pindah dari daerah di mana Islam (agamanya) jadi mayorita ke daerah di mana Islam jadi minoritas juga mengajarkan Janis lebih banyak soal toleransi dan saling menghargai.
(Baca juga: 5 Serial Drama Korea dengan Cerita Persahabatan di Sekolah)
“Hanya dengan menerima perbedaanlah, kita mampu menemukan banyak persamaan. Jangan berharap bahwa orang lain akan jadi sama seperti kita, dengan demikian maka kita akan melihat bahwa kita punya banyak pesamaan dalam berbagai hal dengan orang-orang (yang kita anggap berbeda) tersebut.” - C. JoyBell C
Perbedaan emang mudah banget terlihat, tapi persamaan memang butuh usaha untuk bia menemukannya.
Kalau kita mau berusaha melepas segala label yang melekat pada diri kita (ras, suku, agama, dan lainnya), kita pasti akan menemukan persamaan dengan orang-orang di sekitar kita.
Seperti social experiment ini, yang mengajarkan kita kalau perbedaan itu biasa.
Pasti ada persamaan dalam sebuah perbedaan.
Atau video social experiment ini.
Saat kita mencoba untuk mengeluarkan orang-orang dari ‘kotak-kotak’ perbedaan yang biasanya kita berikan pada seseorang. Mungkin kita akan menenmukan banyak persamaan dengan orang yang selama ini kita diskriminasi karena kita anggap berbeda.
Jadi, memang selalu ada persamaan pada sebuah perbedaan.
Yang perlu kita lakukan hanya menerima dan menghargai perbedaan itu. Dan itu, enggak sulit kok.
Asalkan kita mau sedikit usaha lebih.
Mau lebih terbuka, berdialog dan mendengarkan.
(Baca juga: 7 Tulisan Inspiratif dari Afi Nihaya yang Wajib Kita Baca Biar Jadi Cewek Keren)