"Beberapa saat setelahnya, tiba-tiba akun Twitter-nya ramai sama ucapan dari banyak orang. Setelah aku cari tahu, ternyata dia lagi bagi-bagi undangan pernikahan sama cewek lain.
Aku langsung berusaha menghubungi dia lagi lewat chat. Dia bilang, dia ngaku salah dan dia jijik sama dirinya sendiri. Terus aku bilang 'Kamu kampanye anti pemerkosaan tapi malah melakukannya'. Dia hanya minta maaf.
Waktu itu yang aku pikirkan adalah keselamatan calon istrinya dan anaknya nanti di masa depan. Kalau misalnya dia bisa memperkosa aku, dia juga bisa melakukan hal yang sama ke calon istrinya atau bahkan anaknya sendiri. Jadi aku telepon calon istrinya.
Tapi responnya malah enggak sesuai yang aku harapkan. Calon istrinya menangis sambil bilang, 'Yaudah kita enggak jadi nikah. Puas kamu ngehancurin hubungan kita? Selamat ya buat kamu, kita enggak jadi nikah'.
Sebelumnya aku juga sempat tanya ke teman-teman yang lain. Ternyata aku bukan korban pertama yang dia perkosa. Sebelum aku juga ada cewek-cewek lain yang jadi korbannya, tapi mereka bungkam karena malu.
Akhirnya, dia tetap menikah juga sama si calon istrinya, punya satu anak perempuan, dan sekarang dia hidup sukses dengan pekerjaan dan pencitraan yang dia lakukan."
(Baca juga: Curhat Cewek 18 Tahun yang Diperkosa Pacar Sendiri Hingga Hamil, Lalu Terus Disakiti Lewat KDRT)
"Butuh perjalanan yang panjang sampai aku menemukan penyembuhan dari trauma semenjak diperkosa. Aku yang semula ekstrovert jadi introvert dan menutup diri banget.
Aku yang semula kuliah sambil kerja, harus meninggalkan pekerjaanku juga. Kamarku berantakan banget, sering mimpi buruk dan bleeding.
Pernah aku cerita ke seorang teman perempuan soal masalahku. Tapi yang dia katakan malah respon seperti, 'Sayang banget ya, siapa nantinya yang mau nerima kamu'. Saat itu aku jadi benar-benar nge-shut down hidupku.
Akhirnya aku mencoba untuk konseling ke psikolog. Perjalananku menemukan psikolog yang tepat juga enggak mudah. Aku pernah menemukan psikolog yang malah balik menyalahkan aku.
Kalau dihitung sampai psikologku yang sekarang, aku sudah gonta-ganti psikolog 4 kali selama 3 tahun penyembuhan.
Aku akhirnya juga bisa cerita ke kakak sama ibuku soal kejadian yang pernah aku alami ini dan mencoba mencoba mencari support sistem lain. Salah satunya dari pasangan.
Enggak gampang juga menemukan cowok yang tepat dan mau menerima masa laluku. Aku sering banget gonta-ganti pacar, karena mereka enggak bisa terima sama masa laluku.
Karena aku enggak mau mengalami toxic relationship lagi, akhirnya aku berani mengambil langkah putus dan menghindar dari orang yang enggak bisa menerima aku.
Sampai akhirnya aku menemukan pacarku sekarang dan sudah berpacaran sekitar satu tahunan. Dia bisa menerima masa laluku, bahkan dia sendiri bilang kalau dia sangat berterima kasih karena aku sudah bertahan hidup selama ini sampai bisa bertemu dengan dia.
Enggak mudah buat kembali menemukan rasa percaya diriku. Sisa-sisa trauma yang aku alami juga sampai sekarang masih terasa. Misalnya kalau lagi stres aku kadang masih sering bleeding atau mimpi buruk. Tapi ya itulah perjalanan untuk bisa berdamai dengan masa lalu.
Saat ini, aku bukan lagi korban, tapi aku penyintas."