Curhat Perjuangan Cewek yang Pernah Diperkosa Sama Gebetannya & Didiskriminasi. Bahkan Oleh Perempuan Lain!

By Indra Pramesti, Senin, 19 Februari 2018 | 07:36 WIB
Sedih banget! (Indra Pramesti)

"I have said what I need to say to the victims. I have a little more to say. You are no longer victims, you are survivors." - Judge Aquilina Docket

Berdamai dengan masa lalu yang kelam setelah mendapat perlakuan enggak pantas dari orang yang pernah kita sukai pasti selalu membekas dalam diri kita. Bukan hanya terlihat dari fisik, tapi ada yang menetap dalam mental dan emosi kita.

Itu yang dirasakan oleh sahabat penyintas kita, Merida* (nama disamarkan), yang pernah diperkosa oleh gebetannya ketika masih duduk di bangku kuliah.

Yuk, simak kisah perjuangan Merida melawan trauma dan diskriminasi setelah diperkosa sama gebetannya!

(Baca juga: 2 Cewek Ini Melaporkan Pacarnya Ke Polisi Setelah Diperkosa)

"Waktu itu tahun 2013, aku masih jadi mahasiswa dan beberapa kali sering sibuk dengan kegiatan-kegiatan organisasi kemahasiswaan. Salah satunya aku juga terlibat dalam aksi pengecaman Sitok Srengenge. Dari kegiatan aktivis yang cukup banyak, aku kenal sama seorang cowok.

Dia dari pers mahasiswa kampus lain dan bisa dibilang kami berdua nyambung banget kalau ngobrol soal banyak hal, terutama tentang Filsafat. Berawal dari nyambung satu sama lain itu, hubunganku dan dia semakin dekat.

Kalau sering terlibat dengan kegiatan organisasi, pasti dalam diri kita muncul rasa pengin membantu satu sama lain, kan? Begitu juga aku dan dia.

Waktu itu dia mengalami kesusahan saat mau mencari kamar kost. Aku tahu rasanya kesusahan saat merantau, jadi akhirnya aku sering membantu dia.

(Baca juga: 9 Bentuk Kekerasan Seksual yang Penting Untuk Kita Ketahui!)

Karena tempat kost yang aku tinggali adalah kost campur (laki-laki dan perempuan) dia sering mampir ke kost-ku. Alasannya dia adalah pengin lihat-lihat kalau ada kamar yang cocok dengan budget-nya dia yang memang saat itu lagi mepet banget.

Saat itu kondisinya dia lagi main ke tempat kost-ku dan karena kost lagi sepi, dia masuk ke kamarku. Tapi enggak lama, tiba-tiba dia langsung menutup pintu kamar. Dia langsung menyerang aku.

Aku tanya ke dia, 'Kenapa kamu kayak gini?' terus dia cuma jawab 'Karena kamu cantik dan pinter'. Saat itu posisiku bingung dan aku enggak tahu harus ngapain.

Tubuhku bener-bener freezing. Kaku. Aku cuma bisa bilang 'Jangan' berkali-kali tapi enggak bisa teriak karena dia bukan orang asing.

Aku bingung kenapa dia melakukan hal itu. Padahal aku dan dia pacaran pun enggak, kita masih PDKT doang, terus dia bilang, 'Karena aku sayang. Udahlah, enggak ada cinta tanpa seks'. Dia bilang gitu.

Aku udah bilang ke dia kalau aku lagi menstruasi, tapi dia tetap memaksa. Saat itu untuk pertama kalinya aku melakukan anal seks."

(Baca juga: 40% Kasus Kekerasan Seksual Dibungkam dan Terhenti di Tengah Jalan. Salah Siapa?)

"Beberapa jam setelah itu, aku bleeding. Tapi karena aku enggak terlalu tahu, aku pikir darah itu adalah darah menstruasiku.

Setelah beberapa hari, dia ngajak ketemu sama aku. Dia bilang dia pengin ketemu sama bapakku. Dia bilang takut. Aku jadi bingung sama tujuannya pengin ketemu sama bapakku. Aku pikir dia pengin serius sama aku.

Tapi setelah satu minggu berlalu, tiba-tiba dia menghilang. Kita enggak lagi berhubungan sama sekali. Makin kalutlah aku. Saking kepikirannya aku semakin sering bleeding.

Waktu itu aku juga bingung sama penyebab bleeding-nya. Apakah karena darah menstruasi, karena ambeyen, atau karena anal seks.

Aku juga sering banget mimpi buruk dan tiba-tiba nangis sendirian. Yang ada di pikiranku cuma, apakah ini yang namanya patah hati. Dia tiba-tiba ninggalin gitu aja."

"Beberapa saat setelahnya, tiba-tiba akun Twitter-nya ramai sama ucapan dari banyak orang. Setelah aku cari tahu, ternyata dia lagi bagi-bagi undangan pernikahan sama cewek lain.

Aku langsung berusaha menghubungi dia lagi lewat chat. Dia bilang, dia ngaku salah dan dia jijik sama dirinya sendiri. Terus aku bilang 'Kamu kampanye anti pemerkosaan tapi malah melakukannya'. Dia hanya minta maaf.

Waktu itu yang aku pikirkan adalah keselamatan calon istrinya dan anaknya nanti di masa depan. Kalau misalnya dia bisa memperkosa aku, dia juga bisa melakukan hal yang sama ke calon istrinya atau bahkan anaknya sendiri. Jadi aku telepon calon istrinya.

Tapi responnya malah enggak sesuai yang aku harapkan. Calon istrinya menangis sambil bilang, 'Yaudah kita enggak jadi nikah. Puas kamu ngehancurin hubungan kita? Selamat ya buat kamu, kita enggak jadi nikah'.

Sebelumnya aku juga sempat tanya ke teman-teman yang lain. Ternyata aku bukan korban pertama yang dia perkosa. Sebelum aku juga ada cewek-cewek lain yang jadi korbannya, tapi mereka bungkam karena malu.

Akhirnya, dia tetap menikah juga sama si calon istrinya, punya satu anak perempuan, dan sekarang dia hidup sukses dengan pekerjaan dan pencitraan yang dia lakukan."

(Baca juga: Curhat Cewek 18 Tahun yang Diperkosa Pacar Sendiri Hingga Hamil, Lalu Terus Disakiti Lewat KDRT)

"Butuh perjalanan yang panjang sampai aku menemukan penyembuhan dari trauma semenjak diperkosa. Aku yang semula ekstrovert jadi introvert dan menutup diri banget.

Aku yang semula kuliah sambil kerja, harus meninggalkan pekerjaanku juga. Kamarku berantakan banget, sering mimpi buruk dan bleeding.

Pernah aku cerita ke seorang teman perempuan soal masalahku. Tapi yang dia katakan malah respon seperti, 'Sayang banget ya, siapa nantinya yang mau nerima kamu'. Saat itu aku jadi benar-benar nge-shut down hidupku.

Akhirnya aku mencoba untuk konseling ke psikolog. Perjalananku menemukan psikolog yang tepat juga enggak mudah. Aku pernah menemukan psikolog yang malah balik menyalahkan aku.

Kalau dihitung sampai psikologku yang sekarang, aku sudah gonta-ganti psikolog 4 kali selama 3 tahun penyembuhan.

Aku akhirnya juga bisa cerita ke kakak sama ibuku soal kejadian yang pernah aku alami ini dan mencoba mencoba mencari support sistem lain. Salah satunya dari pasangan.

Enggak gampang juga menemukan cowok yang tepat dan mau menerima masa laluku. Aku sering banget gonta-ganti pacar, karena mereka enggak bisa terima sama masa laluku.

Karena aku enggak mau mengalami toxic relationship lagi, akhirnya aku berani mengambil langkah putus dan menghindar dari orang yang enggak bisa menerima aku.

Sampai akhirnya aku menemukan pacarku sekarang dan sudah berpacaran sekitar satu tahunan. Dia bisa menerima masa laluku, bahkan dia sendiri bilang kalau dia sangat berterima kasih karena aku sudah bertahan hidup selama ini sampai bisa bertemu dengan dia.

Enggak mudah buat kembali menemukan rasa percaya diriku. Sisa-sisa trauma yang aku alami juga sampai sekarang masih terasa. Misalnya kalau lagi stres aku kadang masih sering bleeding atau mimpi buruk. Tapi ya itulah perjalanan untuk bisa berdamai dengan masa lalu.

Saat ini, aku bukan lagi korban, tapi aku penyintas."