CewekBanget.ID - Kabar menggembirakan dari perempuan muda Indonesia yang berprestasi di tingkat internasional nih, girls!
Rupanya Moorissa Tjokro, seorang warga negara Indonesia (WNI) di California, Amerika Serikat, menjadi satu dari enam Autopilot Software Engineer perempuan yang bekerja untuk perusahaan Tesla di California.
Moorissa juga merupakan satu-satunya WNI dalam tim tersebut, lho! Keren banget, kan?
Nah, buat yang kepo dengan sosok cewek berusia 26 tahun ini, yuk kepoin fakta-fakta tentang dirinya.
Baca Juga: 5 Fakta Mutiara Baswedan, Anak Anies Baswedan yang Raih Gelar Sarjana Hukum!
Insinyur Perangkat Lunak Autopilot Tesla
Baru-bari ini, perusahaan mobil Tesla di Amerika Serikat meluncurkan fitur kecerdasan buatan swakemudi penuh atau Full-Self-Driving versi beta, yang kini sudah tersedia secara terbatas bagi para pengguna mobilnya.
Di balik penggarapan fitur ini ada sosok warga Indonesia, Moorissa Tjokro yang berprofesi sebagai Autopilot Software Engineer atau insinyur perangkat lunak autopilot untuk Tesla di San Francisco, California.
Moorissa menjelaskan perannya sebagai Autopilot Software Engineer mencakup computer vision, seperti bagaimana mobil produksi Tesla tersebut melihat dan mendeteksi lingkungan di sekitarnya.
"Apa ada mobil di depan kita? Tempat sampah di kanan kita? Dan juga, gimana kita bisa bergerak atau yang namanya control and behavior planning, untuk ke kanan, ke kiri, maneuver in a certain way,” ujar Moorissa Tjokro lewat wawancara dengan VOA belum lama ini, seperti dilansir dari Kompas.com.
Bekerja untuk Tesla Sejak 2018
Moorissa telah bekerja untuk Tesla sejak Desember 2018.
Sebelum dipercaya menjadi Autopilot Software Engineer, Moorissa ditunjuk oleh Tesla untuk menjadi seorang Data Scientist, yang juga menangani perangkat lunak mobil.
“Sekitar dua tahun yang lalu, temanku sebenarnya intern (magang) di Tesla. Dan waktu itu dia sempat ngirimin resume-ku ke timnya. Dari situ, aku tuh sebenarnya enggak pernah apply, jadi langsung dikontak sama Tesla-nya sendiri. Dan dari situlah kita mulai proses interview,” kenangnya.
Sehari-harinya, cewek kelahiran 1994 ini bertugas untuk mengevaluasi perangkat lunak autopilot, serta melakukan pengujian terhadap kinerja mobil, juga mencari cara untuk meningkatkan kinerjanya.
“Kita pengin banget, gimana caranya bisa membuat sistem itu seaman mungkin. Jadi sebelum diluncurkan autopilot software-nya, kita selalu ada very rigorous testing (pengujian yang sangat ketat), yang giat dan menghitung semua risiko-risiko agar komputernya bisa benar-benar aman untuk semuanya,” jelas Moorissa.
Pendidikan dan Prestasi
Tahun 2011, tepatnya saat Moorissa berusia 16 tahun, ia mendapat beasiswa Wilson and Shannon Technology untuk berkuliah di Seattle Central College, AS.
Namun pada waktu itu ia enggak bisa langsung kuliah di institusi besar atau universitas di Amerika, yang memiliki persyaratan umur minimal 18 tahun.
Kemudian tahun 2012, Moorissa yang telah memegang gelar Associate Degree atau D3 di bidang sains pun melanjutkan kuliah S1 jurusan Teknik Industri dan Statistik di Georgia Institute of Technology di Atlanta.
Dia pernah meraih sejumlah penghargaan seperti President’s Undergraduate Research Award dan nominasi Helen Grenga untuk insinyur perempuan terbaik di Georgia Tech.
Bahkan, Moorissa menjadi salah satu lulusan termuda di kampus, dalam usia 19 tahun, dengan predikat Summa Cum Laude.
Setelah lulus S1 dan bekerja selama dua tahun di perusahaan pemasaran dan periklanan, MarkeTeam, di Atlanta, pada 2016 Moorissa melanjutkan studi S2 Jurusan Data Science di Columbia University, New York.
Ia pun meraih juara 1 Columbia Annual Data Science Hackathon dan juara 1 Columbia Impact Hackathon.
Kecintaan Terhadap Bidang STEM
Kecintaan Moorissa akan bidang matematika dan aljabar sejak dulu telah mendorongnya untuk terjun lebih dalam ke dunia STEM (Sains, Teknologi, Teknik / Engineering, dan Matematika), terinspirasi dari sosok ayahnya yang merupakan seorang insinyur elektrik dan enterpreneur.
Bidang STEM memang sangat jarang ditekuni oleh cewek, bahkan berdasarkan data dari National Science Foundation AS, jumlah cewek yang memiliki gelar sarjana di bidang teknik dalam 20 tahun terakhir telah meningkat, meski jumlahnya masih tetap di bawah cowok.
Fakta ini juga terlihat di kantor Tesla, yang hanya memiliki enam Autopilot Engineer perempuan, termasuk Moorissa, dari total 110 Autopilot Engineer.
Dua dari enam perempuan tersebut kini fokus menjadi manajer produk.
“Jadi benar-benar jarang. Saya enggak tahu statistik di luar Silicon Valley, atau even di luar Tesla,” kata lulusan SMA Pelita Harapan di Indonesia ini.
Mengingat masih jarang terlihat cewek yang terjun ke dunia STEM, Moorissa melihat kurangnya panutan perempuan di dunia STEM sebagai 'tantangan yang paling besar'.
Hal ini menyebabkan kurangnya motivasi terhadap cewek untuk mencapai posisi eksekutif, khususnya di dunia teknologi dan otomotif.
Namun Moorissa tetap optimistis dengan adanya berbagai organisasi yang meningkatkan pemberdayaan perempuan di bidang STEM, seperti Society of Women Engineers.
Cita-cita Membangun Yayasan
Untuk ke depannya, Moorissa bercita-cita untuk membangun yayasan yang bertujuan untuk memberantas kemiskinan di Indonesia.
Dalam meraih cita-cita dalam bidang apa pun, pesan Moorissa hanyalah satu, yaitu 'follow your heart'.
“Walaupun mungkin banyak orang yang enggak setuju atau berpikir keputusan kita bukan yang terbaik, we have to follow our hearts (dan) karena ketika kita follow our hearts, kita enggak mungkin nyesel,” pesan Moorissa.
“Dan ketika kita tahu apa yang kita suka, sebesar-besarnya tikungan, jalan, atau mountains, ada sedikit semangat untuk menekuni bidang tersebut,” pungkasnya.
(*)
Penulis | : | Salsabila Putri Pertiwi |
Editor | : | Indah Permata Sari |
KOMENTAR