CewekBanget.ID - Setiap tanggal 8 Maret, seluruh perempuan di dunia merayakan International Women's Day.
Dengan adanya perayaan ini dari tahun ke tahun, kita sebagai perempuan seharusnya sudah bisa lebih leluasa untuk melakukan apapun yang diinginkan, tanpa khawatir menjadi korban kekerasan.
Ironinya, sampai saat ini, perempuan dan kelompok minoritas masih mengalami kekerasan sistematis. Terlebih selama pandemi COVID-19.
Dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2021, yang disusun Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP) sepanjang tahun 2020 aja mencapai 299.911 kasus!
Sebenarnya jumlah laporan kasus ini turun sebesar 31% dari tahun sebelumnya. Tapi, tindakan kekerasan terhadap perempuan enggak berkurang.
Baca Juga: 5 Kesalahan Pakai Celana Dalam yang Bisa Bahayakan Vagina. Harus Tahu!
Angkanya turun karena kondisi pandemi (PSBB) membuat perempuan korban kekerasan tetap berada dalam jangkauan pelaku sehingga korban kesulitan dan takut untuk melapor. Korban lebih memilih diam, atau mengadu pada keluarga.
Ruang privat maupun publik, offline maupun online, belum bisa jadi tempat yang aman buat perempuan dan kelompok minoritas.
Terlebih khusus online, data Komnas Perempuan mencatat, angka kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) mencapai 940 kasus.
Angka ini melonjak tajam dari sebelum pandemi, tahun 2019, yang hanya mencapai 241 kasus.
FYI, melansir theconversation.com, kekerasan berbasis gender online atau yang biasa disingkat KBGO biasanya merupakan serangan terhadap tubuh, seksualitas, dan identitas gender seseorang yang difasilitasi teknologi digital.
Kira-kira apa yang menyebabkan KBGO bisa meningkat tajam selama pandemi COVID-19 ini?
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati dalam acara Konferensi Pers Online Hari Perempuan Internasional 2021 oleh GERAK Perempuan pada Senin (8/3/2012) pagi, mengungkapkan ada dua faktor utama kenapa kekerasan seksual di internet jumlahnya bisa naik drastis.
Aktivitas online selama pandemi meningkat
Enggak bisa dipungkiri, situasi pandemi yang mengharuskan semua orang tinggal di rumah membuat screen time kebanyakan orang jadi ikut meningkat.
"Penggunaan media sosial meningkat, sedangkan keinginan pelaku untuk melakukan kekerasan seksual tetap ada. Tersalurnya melalui online," ujar Asfinawati.
Adanya kekosongan hukum untuk mengatasi KBGO
Enggak cuma didorong oleh penggunaan teknologi yang meningkat selama pandemi, aktivis lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini juga menilai adanya kekosongan hukum untuk mengatasi masalah KBGO ini.
"Aparat bisa mengatakan ini (KBGO) bisa menggunakan UU ITE, jangan lupa UU ITE tidak mengakomodir pengalaman korban. Jadi sebenarnya yang dibela UU ITE itu kesusilaan, bukan hak atau penderitaan korban. Itu sangat berbeda."
Asfin pun mengungkapkan kalau UU ITE ini akan membuat rancu mana korban dan mana pelaku, karena lebih mengacu pada nilai kesusilaan.
Di sisi lain, KBGO bisa meningkat selama pandemi ini karena situasinya sangat rumit.
Baca Juga: Bukti Nino Kena Karma Setelah Ninggalin Andin di Ikatan Cinta. Setuju?
Asfin mengatakan, ada banyak kejahatan kekerasan seksual di internet yang terjadi lintas batas negara.
Artinya untuk mengatasi KBGO ini, harus ada kerja sama luar biasa antara aparat penegak hukum di Indonesia dengan polisi di negara lain.
Mirisnya lagi, praktik UU ITE yang terjadi di lapangan justru bisa menghambat kebebasan berpendapat, bukan mengatasi kasus-kasus seperti kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Nurcahyani Eva dari Lingkar Studi Feminis menambahkan kenapa KBGO bisa meningkat di situasi pandemi seperti sekarang, karena kita sendiri masih banyak yang belum paham akan bentuk kekerasan seksual yang satu ini.
Sehingga para korban pun akan merasa bingung, apakah kerjadian yang ia alami termasuk kekerasan atau enggak.
Apa yang harus kita lakukan kalau jadi korban KBGO?
Asfinawati juga membagikan upaya yang harus dilakukan masyarakat untuk mengatasi kekerasan seksual di internet.
Pertama, penyadaran dan pencerahan kepada masyarakat biar lebih aware lagi sama bentuk pelecehan seksual online ini.
Saat kita menjadi korban, maka kita butuh pendamping saat melaporkan kasus.
Kalau enggak ada pendamping, pelapor bisa aja menjadi korban untuk kedua kalinya, mulai dari menghadapi stigma ketika melapor ke kepolisian, laporannya ditolak, hingga diminta membawa saksi atau bukti, padahal hal ini merupakan tugas dari polisi.
Sedangkan Eva menyebutkan kalau kita harus berhati-hati dalam bermedia sosial sebagai upaya pencegahan agar kekerasan berbasis gender online enggak terjadi pada kita.
Karena kalau terkena kasus ini, kemungkinan korban bisa dikriminaliasai lagi.
Dalam acara ini, GERAK Perempuan yang terdiri dari gerakan masyarakat sipil atas berbagai kelompok dari seluruh Indonesia, mengajak perempuan dan seluruh lapisan masyarakat untuk "Melawan kekerasan terhadap perempuan, menantang sistem politik yang mengabaikan hak rakyat!" dalam rangka merayakan Hari Perempuan Internasional 2021 yang jatuh pada tanggal 8 Maret 2021. (*)
Baca Juga: Penyelamat! Ini 3 Toner Lokal Kekinian yang Ampuh Kempiskan Jerawat
Penulis | : | Siti Fatimah Al Mukarramah |
Editor | : | Siti Fatimah Al Mukarramah |
KOMENTAR