Gue pun mencoba untuk ngomong lebih tulus ke Alini, "Selama ini belum pernah ada orang yang nulis hal-hal indah buat gue. Lo adalah orang pertama yang bisa bikin gue merasa berharga karena ternyata gue punya arti sedalam itu buat seseorang. Di saat orang lain mikir gue adalah tukang bikin rusuh, lo justru melihat gue sebagai seseorang yang istimewa. Dan itu indah banget, Alini. Gue bener-bener tersentuh bacanya, suer. Makasiiih banget. Dan gue bakal seneng banget kalau suatu saat lo bisa ngomong hal yang sama ke gue langsung tanpa perlu pake surat."
Dan untuk pertama kalinya, gue bisa lihat matanya Alini. Cokelat, sama seperti gue, tapi lebih terang.
-Alini-

Aku enggak tahu apa alasannya Ryan ngomong gitu ke aku. Mungkin dia berusaha sopan. Atau dia memang selalu ngomong dengan cara yang sama ke semua orang terutama cewek? Dalem, lembut, manis, dan ya, sopan. Tapi apa pun alasannya, toh aku dibikin melayang juga dengan kata-katanya.
Aku memberanikan diriku menatap mata Ryan. Untuk pertama kalinya aku bisa melihat wajahnya dari dekat. Dan tiba-tiba pikiran itu muncul. Sebentar lagi Ryan jadi mahasiswa. Di Jerman pula. Cewek paling cantik di sekolah ini pun pasti kalah sama cewek-cewek di kampus baru Ryan. Tulisanku yang kata Ryan indah itu juga pasti enggak ada apa-apanya dibanding keindahan fisik cewek-cewek bule itu. Dia pasti enggak sungguh-sungguh.
Petir yang tiba-tiba menggelegar seolah mengiyakan firasat burukku. Belum sempat aku ngomong apa pun, rintik hujan mulai turun dan langsung berubah deras dan menyiram tubuh kami. Sama tiba-tibanya seperti datangnya hujan ini, Ryan menarik tanganku. Kami lari kalang kabut menuju kanopi terdekat.
Kalian pasti sering ngeliat adegan seperti ini di film-film...cowok dan cewek berteduh berdua sambil nunggu hujan. Dan kalian pikir itu basi. Aku pikir juga basi. Tapi kalau kalian ngalamin sendiri, ternyata rasanya beda....
Coba deh kalian rasain lebih dalam.... Berdiri di samping seseorang yang kalian suka. Tanpa ada orang lain. Cuma ada kalian berdua, dan hujan. Kalian bisa melihat wajahnya yang basah karena tetesan air hujan. Begitu juga rambutnya, seragamnya, dan dengan tampang kesal yang lucu dia ngomel sama hujan yang udah bikin dia basah. Penampilannya memang jadi kacau, tapi entah kenapa di mata kalian dia justru terlihat semakin manis dengan wajah basah itu, bikin kalian enggak tahan pengen nyium pipinya. Kayak Ryan sekarang.
"Jadi kapan Kakak berangkat ke Jerman?" tanyaku iseng. Semoga Ryan cukup pelupa untuk mengingat hal-hal sepele, seperti surat misalnya.
"Hah? Emang siapa yang mau ke Jerman?"
"Bukannya Kakak dapet...HATCHIH!...beasiswa ke Jerman?"