"Oh, yang jualan buah di kios ya, Ma?" Mama mengangguk.
Ah, sebenarnya aku sayang menjual lemon-lemon ini. Tapi lemon ini memang untuk dijual, kecuali beberapa kantung kecil untuk persediaan di rumah. Semoga saja besok pekerjaan ini rapih. Dan segera bisa dibawa oleh pembelinya.
Aku jadi terbayang bagaimana kagetnya muka Liana melihat aku yang menggunakan kerudung. Pasti dia akan ikut senang. Setidaknya dia akan punya kejahilan baru seperti menyembunyikan sepatuku atau yang lainnya.
Entah kenapa, aku jadi meneteskan airmata. Ah, aku yang tomboy ini akhirnya pakai kerudung ... Cepat-cepat kuseka airmata, agar tidak terlihat oleh mama.
***
"Lin," kutepuk pundak Liana saat jam istirahat. Liana segera menatapku heran, "Kamu kebayang enggak kalau suatu saat nanti aku pakai kerudung?"
Kali ini tatapan Liana tiga kali lipat lebih heran.
"Bisa jadi kamu enggak lihat aku yang tomboy lagi, Lin ..." Entah, aku jadi duduk di sebelahnya dan menundukkan kepala.
"Kerudung enggak akan mengubah sifat ceriamu, kok. Kerudung cuma menuntup tubuhmu," Liana menggenggam tanganku selayaknya seorang sahabat yang menguatkan.
"Ah, kamu bisa bijak juga, Lin...," kuseka airmata. Akhir-akhir ini rasanya aku jadi cengeng. Nanti kalau sudah berkerudung, aku enggak mau cengeng lagi. Janji.
"You're welcome, Sis ... kita harus saling percaya. Tapi ..." kata-kata Liana berhenti," Kamu harus maafin aku. Karena percaya atau enggak ... tadi aku ngiket tali sepatumu ke kaki meja."
"A-apa?" Aku enggak percaya.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR