"Mau kemana, Mel?" tanya Rama, ketua kelasku.
"Ke kantin," jawabku singkat malas berbicara lebih.
"Kamu kelihatan pucat."
Aku hanya tersenyum. Memang, kepalaku terasa pusing. Lalu, tanpa berkata apa-apa aku beranjak menuju UKS, mungkin minum obat akan menunda rasa sakit ini. Mata Rama masih mengikutiku sampai aku hilang dari pandangannya.
"Banyaklah minum air putih biar tidak flu. Ini, roti spesial buatan ibuku."
Kembalinya dari UKS, aku menemukan sebotol air mineral dan sebungkus roti, lalu di atasnya tersemat kertas berwarna biru. Jenis kertasnya sama dengan kertas yang tersemat di payung biru langit itu. Terbersit dalam pikiranku bahwa roti ini dari Rama. Ah, tapi mana mungkin? Tapi siapa?
***
Aku memandangi payung biru langit itu. Belum sempat aku mengembalikannya kepada Dimas. Kemudian, payung dengan warna yang sama masih terlipat rapi di tasku, entah itu payung milik siapa. Hari ini aku memutuskan untuk meletakkan payung biru langit milik Dimas di atas mejanya sebelum Dimas datang. Aku tak berani menemuinya secara langsung. Aku pasti akan sangat gugup.
Pagi sekali, pukul enam pagi. Masih belum tercemar udara pagi ini oleh asap kendaraan dan asap rokok, aku sudah berada di depan kelas Dimas. Untung, Pak Kuat, tukang kebun sekolahku berbaik hati mau membukakan pintu kelas.
Aku tahu persis dimana Dimas biasa duduk. Aku memperhatikannya setiap kali aku lewat di depan kelasnya. Jujur saja, aku memang sengaja setiap hari berbaik hati mengambil daftar presensi, spidol atau apalah, semua itu aku lakukan hanya untuk melihat Dimas di kelas saat jam pelajaran.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR