Dimas biasa duduk di bangku nomor dua barisan ke dua dari pintu. Setiap kali lewat, aku melihat Dimas sedang serius mendengarkan penjelasan guru.
Setelah pak Kuat selesai membuka pintu kelas Dimas, aku segera menuju meja Dimas. Bangku nomor dua barisan ke dua dari pintu masuk. Aku duduk di kursi itu. Aku baru sadar, bahwa dari posisi itu, dia bisa dengan jelas melihat apa yang terjadi di luar, di luar pintu kelas. Seketika aku merasa malu, jangan-jangan selama ini, ketika aku sengaja curi-curi pandang ke arah kelas ini, dia menyadarinya. Ah, segera aku menyingkirkan pikiran itu. Mana mungkin Dimas sempat-sempatnya memperhatikan apa yang terjadi di luar? Apalagi itu aku. Lalu aku mencoba melihat sekeliling, membayangkan bagaimana jika aku jadi dia yang duduk di bangku nomor dua barisan kedua itu. Lalu, aku meletakkan payung biru langit milik Dimas di atas meja. Tak lupa aku menulis pesan di atas kertas, sebagai ucapan terima kasih.
Lalu, aku mulai meninggalkan payung itu tergeletak di mejanya. Namun, baru beberapa langkah aku meninggalkan meja Dimas. Aku berbalik. Aku malu, aku takut aku ketahuan orang lain, aku takut kalau teman-teman memergokiku. Maka kuputuskan untuk memasukkan payung itu ke laci saja.
Tapi, kemudian aku ragu. Lalu, aku merogoh laci itu hendak mengambil payung itu. Ketika aku merogoh laci Dimas, laci itu penuh kertas. Ah, biasalah anak cowok suka main kertas. Ku coba keluarkan apa yang ada di laci, aku juga ingin mengambil kertas pesanku lagi.
Kuraba laci itu, dan ternyata banyak sekali kertas di depannya. Kukeluarkan semuanya. Sedetik...dua detik...tiga detik...dan detik berganti menjadi menit....
Aku terdiam. Kertas-kertas itu, kertas biru langit ini....
***
Aku tak mau menduga-duga. Tapi, apa lagi jawabannya? Dimas menyimpan kertas-kertas biru langit yang sama persis dengna kertas yang tergantung di payung. Sepertinya itu adalah kertas-kertas yang tidak jadi diberikan kepadaku. Sepertinya, dia selama ini diam-diam memerhatikanku. Selama ini ternyata dia sama sepertiku. Menjadi penggemar rahasia. Tapi, siapa sangka bahwa penggemar rahasiaku? Rasanya masih tidak percaya. Bagaimana bisa? Setelah kuketahui malah aneh jadinya.
Aku suka sama kamu. Tapi, aku terlalu pengecut untuk mengatakannya.
Aku menggenggam salah satu kertas biru langit yang aku ambil di laci meja. Entah kisah penggemar ini akan jadi apa jadinya. Aku juga bingung.
Langit mendung. Sebentar lagi akan hujan. Aku telah mengembalikan payung yang dipinjamkan Dimas kepadaku. Tapi, aku tidak akan khawatir, karena aku masih punya payung biru langit satu lagi dari penggemar rahasiaku. Aku melangkah menerjang hujan. Biasanya, aku tidak berani. Tapi, mengetahui bahwa payung itu dari seorang penggemar rahasia, "Dimas", aku jadi senang berjalan di tengah hujan yang lebat menggunakan payung itu.
Di pojok ruangan, dimas memperhatikanku diam-diam. Seperti yang dia lakukan setiap hari. Dimas tahu kalau setiap hari aku akan lewat di depan kelasnya, dan saat itu dia akan berpura-pura memperhatikan. Ketika aku diam saja kala Dimas memberikan payung itu kepadaku, sesungguhnya hatinya bertanya-tanya mengapa aku diam saja? Mengapa aku tidak menerima uluran payung dari tangannya? Sampai akhirnya, Dimas hanya meletakkan payung biru langit itu di depanku begitu saja, lalu berlari menerobos hujan.
Kisah ini sungguh unik. Mungkin saja ada jutaan orang di dunia yang menjadi penggemar rahasia dari teman yang lain. Jadi stalker dan menjadi pahlawan diam-diam dan rahasia, tapi berusaha memberikan kode-kode rahasia agar si dia mengerti. Semua itu adalah kisah yang lucu dan unik, karena semua pengalaman tentang perasaan itu unik.
Payung biru langit? Sampai kapan pemilikmu tidak menjadi rahasia lagi?
(Oleh: Ayufi, foto ilustrasi: tumblr.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR