"Nay, lo mau ikut nggak?" tanya Awan tiba-tiba saat aku baru saja masuk ke kelas. "Ikut kemana?" tanyaku heran. "Lo belum denger?" Aku menggeleng, tidak mengerti apa yang dimaksud.
"Istrinya Pak Gatot meninggal," kata Awan. Aku mendelik seketika. "Hah? Seriusan?" Awan mengangguk. "Jadi, lo mau ikut nggak?" tanya Awan lagi. Aku langsung mengangguk.
***
Iring-iringan motor dan mobil siang itu membelah gang rumah Pak Gatot. Tampak bendera kuning di ujung gang. Tenda tratak juga sudah terpasang di depan sebuah rumah sederhana bercat putih dan berpagar biru.
Aku dan teman-teman sekolahku menyeruak masuk di antara para pelayat. "Adek-adek ini cari siapa?" tanya seorang laki-laki separuh baya begitu melihat kedatangan kami. "Kami cari Pak Gatot, Pak. Kami murid-muridnya," jawab Awan. Laki-laki itu pun masuk ke dalam, sepertinya akan memanggilkan Pak Gatot.
Aku memperhatikan rumah Pak Gatot yang sangat sederhana. Catnya sudah mengelupas disana-sini. Tidak ada eternit. Cahaya juga bisa masuk ke dalam rumah karena beberapa bagian atap bolong.
Pak Gatot keluar dari dalam dan menyambut kami lalu mempersilakan masuk. Seorang perempuan muda berkerudung keluar sambil membawa sebaki teh panas. Tapi, tunggu. Mbak Gita?!
"Mbak Gita?" panggilku. Perempuan itu menoleh. Benar, itu Mbak Gita. Apa yang dilakukan Mbak Gita disini? Mungkinkah Mbak Gita adalah anak Pak Gatot?
"Kenalkan, ini Gita. Putri saya satu-satunya," kata Pak Gatot memperkenalkan Mbak Gita yang sekaligus juga mengkonfirmasi tebakanku dan memberi jawaban atas kefamiliaran wajah Mbak Gita. Ternyata aku memang sering melihatnya. Di wajah Pak Gatot. Dunia sangat sempit, bukan?
Sementara Pak Gatot berbincang dengan temanku yang lain, Mbak Gita mengisyaratkanku untuk mengikutinya. Aku pun mengikuti instruksi Mbak Gita. Rupanya aku dibawa ke dapur.
"Mbak Gita nggak pernah bilang kalau mbak anaknya Pak Gatot?" protesku begitu sampai di dapur. Mbak Gita meletakkan telunjuk di bibirnya. Dan mengalirlah cerita yang mendasari semua hal ini.
Memang benar, Pak Gatot dulunya bukan seorang guru yang killer. Ia malah termasuk guru yang banyak disukai murid. Tapi semenjak istrinya-atau ibunya Mbak Gita-sakit kanker setahun yang lalu, perangai Pak Gatot pun berubah. Ia bekerja sangat keras untuk membiayai pengobatan sekaligus kuliah Mbak Gita, walaupun Mbak Gita juga sudah bekerja dengan rajin mengirimkan tulisannya ke media. Rasa lelahnya terbawa ke kelas sehingga ia menjadi sering marah-marah. Melekatlah predikat guru killer itu.
Lalu apa yang membawa Mbak Gita padaku? Kata Mbak Gita, malam itu ia mendengar pembicaraan Pak Gatot dengan Mama di telepon. Tanpa memberitahu Pak Gatot, Mbak Gita mencatat nomor telepon Mama dan menawarkan bantuan sebagai guru lesku. Mbak Gita melakukan hal itu dengan maksud meringankan beban Pak Gatot.
Cerita Mbak Gita juga sekaligus menjawab keterlambatan dan ketidakhadiran Mbak Gita dan Pak Gatot dalam waktu bersamaan. Mereka saat itu dirumah sakit, berdua menghadapi keadaan kritis.
Dan sempat-sempatnya aku berpikir menjadikan hasil lesku sebagai alat untuk mengejek Pak Gatot? Seluruh kebencianku kepada Pak Gatot menguap seketika demi mendengar cerita dari Mbak Gita.
"Nayla jangan benci lagi ya, sama Pak Gatot." Mbak Gita memelukku. Kami berdua kembali ke ruang tamu. Aku langsung menghampiri Pak Gatot dan mencium tangannya. "Maafkan saya, Pak," bisikku lirih. Pak Gatot menepuk-nepuk kepalaku sambil menyunggingkan senyum.
Tahukah kalian pelajaran apa yang kudapat hari ini?
Tidak semua yang tampak di permukaan adalah benar-benar seperti yang terlihat. Selami hal hingga sampai ke dalam. Mungkin kamu akan menemukan fakta yang merendahkan hatimu.
(Oleh: Mutia Rahmania, foto: giphy.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR