Suara ombak mulai terdengar. Kupercepat langkah kakiku untuk bisa sampai ke sana. Napasku sedikit tersengal dan bau air laut mulai merasuki tenggorokanku yang kering. Warna air laut itu tak jernih, bukan karena efek matahari sore. Pasirnya juga tidak secokelat tanah, tapi menyatu dengan warna matahari sore. Menghantarkan hangat matahari sore ke telapak kakiku. Tiba-tiba pandanganku kabur. Air mata tak lagi terbendung. Menggila keluar dari kelopak mataku, jatuh, dan bercampur bersama miliyaran liter air asin lainnya. Sontak aku menutupi mukaku, kemudian terduduk, mencoba menyatu dengan milyaran pasir.
Segala rasa lelah dan penyesalan mulai menguap dari diriku. Rasanya sedikit bebanku sudah terbawa ombak menuju laut lepas. Deburan ombak berdesir di dalam nadiku. Pertanda kami sudah sejiwa mungkin. Aku baru menyadari keberadaan seseorang di sampingku. Entah sudah berapa lama ia berada di sana. Berlalut dress selutut berwarna abu-abu. Rambutnya panjang dengan poni rata menutupi dahinya. Tangan kanannya menahan topi rajut yang ia pakai dengan pembawaan cantik dan anggun. Gaya berpakaiannya berbeda 180 derajat denganku yang lebih suka memakai celana pendek dan kaus oblong.
Perempuan itu kini menatapku dan tersenyum simpul. Senyumnya seperti menyapaku. Ia pun mengulurkan tangan kanannya. Saat aku membalasnya, senyumnya melebar, menunjukkan giginya yang tersusun rapi. Saat kupikir ia akan menyebutkan namanya, ia malah menuliskan sesuatu di pasir. 'Senja' tulisnya. Alisku mengekrut, apa maksudnya? Merasa mendapat ilham, aku tersadarkan. Ia sedang menuliskan namanya. Aku pun menulis namaku di pasir juga. 'Akemi' tulisku. Senja itu tersenyum. Mungkin pemikiran kita sama. Akemi dalam bahasa Jepang juga berarti senja.
Kami memandang seperlima bagian matahari yang lambat laun menghilang di balik laut. Pernahkah kau merasa, kau bisa mengetahui pikiran orang tersebut tanpa berbicara dengannya. Rasanya seperti kalian dilahirkan dan hidup bersama sepanjang umur kalian. Menakjubkan tapi sekaligus menakutkan. Apalagi dalam konteks, kau dan orang itu tidak pernah bertemu sebelumnya. Tapi seperti itulah aku dan Senja pada waktu itu. Sisa waktuku sebelum pulang dihabiskan dengan diam dan mencoba menerka pikirannya. Hasilnya, aku merasa bernostalgia. Tak ada yang mencoba berbicara. Yang ada hanyalah kenyamanan.
Aku mulai menapaki halaman depan rumahku. Seperti maling, aku membuka pintu perlahan. Tentu saja itu rumahku. Tapi aku malas jika manusia itu menyadari kehadiranku. Membuat aku harus berhadapan dengannya. Setelah kemarin kami bertengkar, aku tidak ingin berbicara lagi dengannya. Satu hal yang mungkin belum aku paham. Aku kira dia akan menjauhiku tapi aku malah mendapatinya berdiri di ambang pintu kamarku. Laganya mengatakan 'ayo kita selesaikan masalah kemarin.' Tapi aku tidak berniat. Tolong pakailah otakmu sebagaimana mestinya, batinku. Tapi ayah dan ibu meminta aku memaafkannya setelah ia memukulku saat orang normal tahu aku tidak bersalah. Kupikir ia sudah dewasa mengingat ia adalah kakak perempuanku. Seharusnya ia lebih mengerti. Tapi ia spesial. Sikapnya yang kekanakan dan caranya bertutur kata tidak sesuai dengan umurnya. Hal itu membuat dia menyebalkan.
***
Sore itu tak ada tangis, tetapi aku pergi lagi menuju pantai. Hanya dengan sepeda, pantai yang berjarak tidak sampai 100 meter dari rumahku dapat ditempuh selama 15 menit. Jalanan ke sana terbuat dari aspal yang sudah bolong di beberapa titik akibat air hujan. Pantai itu belum terlalu terkenal dan orang berkunjung sebab mereka tinggal di sekitar pantai itu. Tak banyak restoran atau penginapan di sekitar sini. Kebanyakan orang hanya datang karena ingin kembali menyatu dengan alam setelah hampir 12 jam berkutat dengan aktivitas masing-masing. Melepas penat dengan mendengarkan deburan ombak sangatlah menyenangkan.
Sore itu pantai tidak terlalu ramai seperti biasanya. Hanya ada seorang kakek memancing di pinggir pantai. Ada juga kumpulan remaja sebayaku berkumpul di daerah berbatu. Aku berjalan menjauh dari kakek dan kumpulan remaja itu. Sejenak membiarkan ombak membasahi telapak kakiku. Airnya lebih hangat sementara angin bertiup dengan kecepatan yang sama dengan kemarin.
Makin menyeramkan, kini bahkan aku sudah bisa merasakan kedatangan Senja. Senyumnya tak berubah, masih dengan derajat yang sama. Tetapi hari ini ia memakai kaus dan celana pendek. Gayanya lebih santai, tetapi tetap ditampilkannya dengan cara yang anggun. Makin lama aku tidak tahan. Setiap kami bertemu pandang, aku seperti mendengar suaranya dan kami berkomunikasi dalam bentuk yang orang lain tidak ketahui. Menyeramkan bukan? Aku pun memberanikan diri membuka suara. Senja harus memberi penjelasan. Setidaknya berbicara layaknya manusia lainnya. Sebetulnya aku juga tidak tahu ingin berbicara apa. Karena rasanya ia sudah mengenalku luar dalam.
"Oh iya. Aku tidak punya darah Jepang, tetapi ayahku menamai aku Akemi," kataku kehabisan topik. Padahal sedari tadi kami belum membuka mulut bahkan saling bertukar sapa.
Senja menatapku dan menggangguk. Pandangannya berkata "Aku sudah tahu." Semakin horor saja rasanya. Namun ada sebersit perasaan senang yang dibungkus rasa tidak percaya. Tiba-tiba aku mendengar suara. Suara lembut itu berbisik. Senja tidak bisa berbicara tapi ia mendengarmu dan tahu masalahmu. Selanjutnya angin membawa suara itu pergi. Aku menatap Senja tak percaya. Tapi pandangannya sekali lagi berbicara. Seakan bilang, apa pun yang kau dengar, itulah suaraku, dalam imajinasimu. Apa-apaan ini?
Senja ke-tiga bersama Senja. Seperti biasa, kami berdua diam. Tidak ada yang berbicara. Tapi hari ini kami merasa kami sudah bercerita banyak bahkan sampai tertawa bersama. Kami bercerita lewat hati dan mengerti lewat pandangan. Senja adalah sahabatku sekarang. Kurasa kami disatukan oleh senja juga karena senja. Ya. Nama kami sama-sama berarti senja, bukan?
Senja ke-empat bersama Senja. Kali ini aku bercerita. Aku mengeluarkan suara. Bercerita tentang masalahku yang katanya sudah ia ketahui. Aku mempunyai seorang kakak. Ia bukan penyandang cerebral palsy ataupun tunagrahita, kakak perempuanku mempunyai penyakit schizofrenia. Kakakku tidak bisa menahan emosi, cara berpikirnya tidak sedewasa orang seumurannya dan tidak dapat melanjutkan sekolah. Tetapi ia sebuah kasus yang berbeda. Saat keinginannya tidak dipenuhi kedua orangtuaku, ia akan marah dan merusak seisi rumah. Terkadang bahkan ia meluapkan emosinya dengan memukul orangtuaku dan bahkan aku sendiri. Aku tidak jarang bertengkar dengan kakakku karena sikap semaunya sendiri itu. Aku pun kadang tega menghinanya. Aku tidak menerima kondisi dia. Sialnya, sikapku itu membuat orangtuaku terkena amukannya.
Terkadang aku merasa aku mengerti perasaannya. Ia berusaha mengerti keadaannya. Ia tidak berpikir secerdas yang lain. Ia merasa dirinya tidak disayangi oleh keluarganya. Ralat, hanya aku yang tidak menyayanginya dan dia bisa merasakannya. Aku hanya ingin tahu satu cara. Cara untuk dapat menerimanya secara penuh. Sementara aku sudah berdoa kepada Dia di atas sana bahwa aku sudah bersyukur atas segala yang telah ia berikan. Tapi rasa benci itu tetap ada.
Sekali lagi, di senja ke-empat, aku menangis. Senja kali ini lebih anggun dari biasanya. Warna oranye dan ungu berlomba mendominasi langit biru yang juga berusaha mengeluarkan warnanya sendiri. Semua tercampur aduk sama seperti perasaanku. Lega, kekecewaan, kekesalan, dan kebersamaan. Ada Senja di situ. Dia setia mendengarkan bahkan tidak mencoba memberi nasihat. Mungkin posisi dia sama seperti kakakku. Di balik senja yang mulai meredup, Senja tersenyum dengan derajat yang berbeda. Derajat tanda memahami. Mulailah dengan mengerti kemudian memaklumi dan memaafkan. Begitu kata Senja.
Malam itu aku pulang dengan perasaan lebih tenang. Kakakku sedang duduk di ruang tengah. Ia menyapaku seakan kami tidak pernah saling melemparkan granat. Aku tersenyum simpul. Masih canggung untuk berhadapan dengan calon mantan musuh. Tapi sapaan yang dilontarkannya, tidak mengandung nada rival bahkan musuh. Sapaannya sesederhana seorang kakak kepada adiknya. Aku mulai mengerti.
Aku tidak pernah menyangka kemarin adalah senja terakhir bersama Senja. Hari itu aku tidak bertemu dengannya. Aku berdiri menghadap laut sambil bersenandung. Pasirnya tetap hangat dan anginnya sedikit lembab. Tanda musim panas segera berakhir. Batu besar itu tak lagi diduduki sekumpulan remaja. Pancingan si kakek tak lagi menunggu umpannya dimakan. Senja itu aku habiskan sendiri. Aku tidak bisa merasakan firasat Senja akan datang. Senja memang datang, tapi bukan senja yang berkomunikasi lewat hati dan mengerti lewat pandangan. Suasana yang berbeda karena tidak ada Senja.
Empat hari menghabiskan senja bersama Senja. Saat orang-orang berlomba menyuarakan pendapatnya di tengah era demokrasi, berteriak meminta gaji mereka dinaikkan dan hak mereka dipenuhi, Senja hanya mendengarkan lalu memahami. Orang-orang itu hanya meminta hak dan melupakan kewajiban yang sangat sulit dilakukan yaitu mendengarkan. Tetapi Senja hanya melakukan kewajiban. Ia tidak mampu untuk berteriak padahal ia punya hak untuk didengarkan juga.
Saat teman-teman sebaya kami membicarakan fisik mereka yang kurang di sana-sini, idola yang cantik dan tampan, keinginan mereka, dan kejelekan orang lain, Senja hanya berdiam diri. Ia juga ingin masuk ke dalam lingkungan itu walaupun ia tahu, terkadang itu hanya akan menyakiti perasaannya sendiri. Ia tidak bisa berbicara dan hal itu membuat ia sering dilupakan. Sering dianggap tak ada. Andai aku sempat memberitahunya, bahwa dalam kesunyian sekalipun, bagiku ia ada.
***
"Senja yang satu ini berwarna tegas. Ia mengubah warna langit senja menjadi ungu. Ia mendengarkan keheninganku. Tidak seperti orang lain yang menganggapku debu di sudut ruangan. Dia senja bernama Akemi. Kami berdua adalah senja yang melengkapi kekurangan kami dalam menjalani peran. Akemi sebagai 'yang menerima' dan aku Senja sebagai 'yang harus diterima'. Di mana pun kami, bersama atau tidak, kami tetap berkomunikasi. Langit senjalah yang menyampaikan pesan kami."
(Oleh: Zanya Nai Rana, foto: weheartit)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR