Fareedya berjalan dengan langkah cepat. Mukanya asem, bibirnya manyun. Kelihatan banget kalau dia lagi kesel berat. Dia menendang kaki mejanya, baru kemudian duduk menopang dagu.
Fani menghampirinya. "Tuh bibir manyun kenapa?" tanya Fani.
"Kejedot pintu!" jawab Ree asal.
"Lah kenapa pintu pakai dicium-cium segala?"
Ree jadi tambah kesal. "Lo tuh o'onnya kelewat akut yah? Gue lagi kesel tauuu!"
Fani gemes, dan mencubit lengan temennya itu.
"Aww!!" jerit Ree. "Apaan sih? Enggak usah bikin gue tambah kesel, deh!".
"Abisnya lo kenapa, sih? Datang-datang mukanya ditekuk gitu?".
"Itu, si Galih! Enggak bosen-bosennya dia bikin gue malu! Damn!!"
"Gue heran, dia kok kayaknya benci banget sama lo?"
"Ih, kok tanya gue, tanya tuh ke dia! Gue aja enggak ngerti kenapa tuh orang benci sama gue."
"Trus lo mau gimana sekarang?"
"Tau, deh! Gue buntu!" Ree mencoret-coret bukunya dalam diam. Berpikir.
"AHA!! Kayaknya gue bisa ngebales dia!" tiba-tiba dia menepuk punggung Fani. Minuman yang Fani teguk pun menyembur keluar dan membasahi bajunya. "Lo tuh ya..." Fani menarik nafas dalam-dalam. Dia lalu menyemprot sisa minuman di botol ke arah Ree yang dengan gesit menghindar. "Eh, udah-udah, ntar gue beliin lagi deh minuman lo yang tumpah, enggak usah sewot gitu lah."
"Yang jadi masalah bukan minumanya! Baju gue nih. Jadi kayak abis kehujanan, padahal mendung juga enggak." Fani ngomel.
"Jadi masih mau dengerin ide gue, enggak?"
"Enggak!" jawab Fani kesal.
"Ya udah." Ree dengan santai melenggang pergi.
"Ree! Dasar lo usil, jahil, enggak peka, ngeselin!!" teriak Fani pada Ree yang keburu kabur sambil menjulurkan lidahnya.
***
"Galih, tunggu!!" Ree berlari-lari kecil menyusul Galih yang baru keluar dari perpustakaan. Galih langsung pasang muka jutek. Matanya menatap curiga demi melihat Ree yang tersenyum ramah kepadanya.
"Ngapain lo senyum? Kecakepan banget!" Galih mulai dengan kata-kata sinisnya.
"Ng...gimana ya, Lih, gue bingung ngomongnya gimana," jawab Ree dengan gaya malu-malu kucing.
Galih menatapnya dengan ekspresi jijik. "Lo kesambet, ya? Enggak usah sok malu-malu gitu, deh. Eneg gue liatnya. Kalau mau ngomong, cepetan! Gue enggak punya waktu ngurusin cewek centil model lo!" bentak Galih sambil berkacak pinggang.
Ree asli kesel berat. Gondok. Ini orang dibaik-baikin kok tetep aja judes? Nyebelin banget! Pengen gue tamper mukanya. Tapi demi kemenangan, gue mesti sabar...sabar.... Ree menarik nafas dalam-dalam, mengelus dadanya sambil komat-kamit ngucap sabar 50 kali. "Ngapain lo komat-kamit? Mau ngedukunin gue?"
"Eh, enggak kok, enggak...gue cuma mau ngomong sama lo," kata Ree, takut mangsanya pergi.
"Iya cepet!"
"Ok! Ok! Tapi jangan di sini. Suasananya enggak pas." Ree menarik lengan baju Galih ke bawah pohon beringin besar yang sepi.
"Lepas!" Galih menepis tangan Ree.
"Kenapa sih, Lih, lo enggak suka ama gue?" tanya Ree denga muka dibuat semerana korban gempa 8 skala richter.
"Karena gue benci sama lo! Puas? Udah, lo cuma ngebuang waktu gue!" Galih beranjak pergi. Tapi Ree menahannya.
"Tapi Lih..." Ree terdiam sebentar, "Gue...cinta sama lo..." katanya lirih. Galih mendelik kaget. Mereka berdua saling menatap, tapi asli nggak ada romantis-romantisnya, Ree menatap mesra cenderung melas, Galih melotot shock campur bingung.
"Kayanya lo mulai gila!" Galih bergegas pergi.
"Galih..!" Ree pura-pura sedih, kepalanya tertunduk. Tapi setelah punggung Galih enggak kelihatan lagi, tawanya meledak. "HUA-HA-HA...kena lo! Tunggu aja lanjutan ceritanya Galih. Skenario keren dari calon sutradara pemenang piala Citra, ha-ha-ha!" Ree terus ketawa ngakak.
***
Fani terbengong-bengong seperti sapi ompong mendengar cerita Ree. "Lo enggak apa-apa, kan, Ree?" Fani mencoba memastikan. Dia enggak percaya dengan apa yang baru dia dengar. Ree nembak Galih si musuh bebuyutan?
"Fan...Fan gue jadi kasihan sama lo, udah pernah ke dokter belum? Periksain lemot lo itu?"
"Maksud lo?"
"Ya, enggak mungkin lah gue naksir sama kakek sihir itu. Nope! It's just my scenario."
"Skenario apaan?"
"Yah...gue bakalan bikin dia jatuh cinta sama gue, lalu gue akan depak dia...yang jauuuh!"
"Gue rasa lo keterlaluan Ree," Fani ragu dengan rencana Ree.
"Gue rasa enggak, siapa coba yang mulai duluan? Siapa yang bikin gue kesel? Dia yang mulai, jadi dia mesti terima akibatnya," tekad Ree.
***
Mulailah Ree menjalankan misi. Dari memberi kado, mengekor Galih ke mana-mana, semua dilakukan Ree biar bisa dekat sama Galih. Tapi tetep aja cowok jangkung itu buang muka. Malah kalau bener-bener sebel dia mengomeli Ree enggak peduli di sekitar mereka ada banyak orang.
Tapi muka enggak bersalah yang dipasang Ree bikin salting Galih sendiri. Mau marah enggak enak, apa kata dunia kalau dia marah-marahin Ree tanpa alasan? Bales menggoda? Enggak mempan! Cewek itu sudah nggak mempan diledekin dengan cara apa pun juga. Cengar-cengir terus. Enggak ada yang bisa dilakukan Galih selain membiarkan Ree menguntit dia dari belakang.
***
"Hai, Galih!" sapa Ree riang. Galih yang baru tiba di rumah membeku di tempat demi melihat Ree yang duduk manis di depan teras rumanya ditemani sang ibu.
"Assalamualaikum..." Galih mencium tangan ibunya.
"Wa'alaikum salam. Kok lama, Nak, latihannya? Kasihan Ree udah nunggu dari tadi."
"Iya, Bu, mau tanding soalnya." Galih mendelik sekilas ke Ree.
"Ya udah, Ibu masak dulu. Kalian ngobrol aja." Begitu ibunya menghilang, Galih langsung ngejudesin Ree."Ngapain lo ke sini?"
"Galih, gue kan kangen. Lih, pergi yuk, jalan ke mana gitu?"
"Lo ngelindur ya? Enggak mau!"
"Mau pergi sama gue, enggak? Kalau enggak..." Ree tersenyum licik.
"Apa kalau enggak?" firasat Galih nggak enak.
"Kalau enggak, gue sebarin ke temen-temen kalau lo sampai SMP masih bobok sama bantal bayi lo!"
Akhirnya dengan ancaman di tangan, Ree berhasil menjerat Galih pergi. Ree ternyata mengajaknya ke pantai. Melihat pantai yang nyaman, ombaknya yang berlarian, anginnya yang sejuk, dan Ree yang dengan enteng melepas sepatu dan nyemplung ke air, kebencian Galih sore itu seakan lenyap. Malah dia heran, sempat-sempatnya dia membelikan gula kapas dan mengantar Ree si cewek rese itu pulang?
"Lo kapan tandingnya?" tanya Ree waktu mereka di angkot perjalanan pulang.
"Besok jam 3 sore."
"Haaah? Kenapa besok sore? Aduh Galih, besok sore kan ada pameran kartun di gedung budaya. Gue udah beli tiket..."
"Siapa yang suruh lo dateng ke pertandingan gue? Enggak usah datang! Awas lo kalau datang!" galih jutek. Tiba-tiba dia jadi kesel lagi.
***
Riuh penonton yang memadati hall olahraga sore itu terbagi jadi dua kubu. Masing-masing membawa spanduk dan ber yel-yel ria dengan hebohnya. Sesaat sebelum wasit meniup pluit dimulainya pertandingan, Galih menelusur suporter sekolahnya. Priiit!! Dan dia kembali konsentrasi ke pertandingan.
Dengan susah payah tim Galih akhirnya bisa menang tipis 2-1. Dino si kapten tim yang tajir langsung sesumbar mentraktir anak buahnya.
"Lih, tempat biasa, ya!"
"Oke, gue nyusul ntar. Eue ganti dulu, gerah."
"Yoi, kita tunggu di sana." Galih ditinggal sendiri di ruang ganti. Dia melepas kaos basketnya dan hampir mau ganti celana, waktu tiba-tiba pintu ruang ganti terbuka dan kepala Ree nongol dari luar.
"Waa...ngapain lo ke sini? Tutup, tutup!"
"Waaa!" Ree ikutan menjerit dan buru-buru menarik kepalanya.
"Udah, Lih?" tanya Ree beberapa menit kemudian. Takut-takut dia masuk ke ruang ganti sambil nutupin mukanya pakai dua tangan. "Sory...enggak tau."
"Lagian lo tahu, kan, kalau ini ruang ganti? Enggak ngetuk pintu dulu!" Galih marah, mukanya merah seperti kepiting rebus.
"Gue cuma mau kasih selamat, kok. Lo mainnya bagus."
"Bagus? Bokis! Memang kapan lo liat gue main? Palingan lo liat spongebob!"
"Gue liat kok...!"
"Bohong! Gue enggak liat lo sama sekali di antara anak-anak!"
"Lo nyariin gue, Lih?" Ree berbinar-binar.
Galih gelagapan. "Enggak, siapa yang nyariin?! Jangan ngalihin topik, lo enggak liat kan?"
"Gue liat, Lih! Bener! Cuma gue telat, salah duduk pula di tempat suporter lawan. Pantes enggak ada yang kenal gue, tapi bener gue dateng kok..." Galih diam, marahnya hilang, dia percaya sama Ree. Malah dia sekarang pengin ketawa.
"Galih...lo marah?" Galih tetap diam.
"Galih...I love you..." Ree memegang ujung kaos Galih, tertunduk.
Galih mengelus poninya. Ree kaget. "I love you too..." bisik Galih sambil tersenyum.
***
"Lo berhasil jadian sama Galih? Gila lo!" tanya Fani besoknya. Ree mengangguk senang. "Lo tau, enggak, Fan, ternyata dia tuh temen kecil gue. Dan lo tau kenapa dia benci sama gue? Dulu...dia suka sama gue. Ih, gue emang dari kecil charming yah? He-he.."
Fani langsung menjitak kepala Ree. "Trus?"
"Trus waktu itu dia nulis surat ke gue, eh suratnya gue bikin kapal-kapalan dan nyemplung ke got. Parahnya lagi, untuk kedua kalinya dia mau bilang suka ke gue di ultahnya, gue malah ngejatohin kuenya dan pulang tanpa bersalah, he-he-he. Abis itu enggak pernah ngomong sama gue lagi sampai gue pindah."
"Lo dari kecil ngeselin ya?!" sahut Fani. "Jadi lo berhasil dong? Kapan lo mau putusin dia?"
"Eh? Ngapain? Susah-susah dapetnya kok dibuang?"
"Nah lo... Skenario lo gimana?"
"Ng...iya sih. Tapi setelah gue deket sama dia, gue kok jatuh cinta beneran, yak? Karma kali ya? Ah! Bodo amat! Bye-bye, deh, skenario sutradara pemenang piala Citra..."
Ree melambai dan tersenyum manis pada Galih yang juga melambaikan tangannya dari tengah lapangan.
Cinta memang aneh....
(Oleh: Dhian Christy Novitasari, foto: kwick.de)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR