Faris kembali membuka halaman tengah buku gambarnya. Ya. Dia memang menulis dengan ornamen indah, nama cewek yang dia sayangi. Bukan suka lagi. Dia sayang cewek yang namanya tercantum di sini. Tapi bukan nama Tiara yang tercantum.
Faris memandang Anna lagi, yang akhirnya menghilang di balik pintu kelasnya.
***
Faris berpikir kalau Anna enggak tahu, kalau Faris tahu. Faris tahu jam berapa Anna biasanya keluar rumah dan berangkat ke sekolah, jalan kaki dengan santai sambil menghirup udara segar. Jam setengah tujuh pas. Dia sampai nyuruh Mbak Tiyas untuk memperhatikan jam berapa Anna berangkat. Lalu Faris akan berdiri di balkon lantai tiga sekolah, melihat Anna berjalan menyeberangi lapangan sekolah. Dan saat Anna menghilang dari penglihatan, dia akan masuk lagi ke kelas, berpura-pura enggak melihat Anna datang.
Anna, cewek dengan tinggi standar cewek, kulit putih kecokelatan, rambut ikal yang dia banggakan, mata yang tajam dan indah, serta senyum kesukaan Faris. Oh dan mungkin kesukaan cowok-cowok lain juga yang diem-diem ngefans sama Anna. Bukan hanya Faris yang sadar betapa manisnya senyum Anna. Suara Anna yang bisa dibilang ngebass untuk ukuran cewek, matanya yang tajam saat menatap orang, dan kebiasaannya memandang lurus ke mata saat bicara sama siapa pun. Bikin siapa pun yang ngomong sama dia, sering akhirnya salah tingkah sendiri.
Faris berpikir kalau Anna enggak tahu, kalau Faris tahu berapa jumlah sweater yang Anna punya. Sweater cokelat rajut yang dipakainya hari ini, sweater merah yang dia pakai setiap Kamis, sweater hitam tebal yang dia pakai setiap udara dingin karena hujan, sweater putih yang dia pakai setiap Senin, dan sweater Chelsea-klub bola kesukaan Anna-yang dia pesan khusus ke abang sablon deket sekolah, dan dipakai setiap Chelsea menang, yang akhir-akhir ini jarang dipakai karena Chelsea lagi paceklik kemenangan.
Faris masuk dengan santai ke kelas, lalu duduk di kursinya. Letak kursinya ada di pojok dekat jendela yang menghadap koridor, di tiga baris dari depan. Faris suka duduk di samping jendela. Karena setiap dia bosan dengan pelajaran yang dia enggak mengerti, dia bisa melihat keluar, untuk menyegarkan diri. Sebenernya ada alasan lain kenapa Faris selalu keukeuh mau duduk di deket jendela.
Tepat beberapa saat kemudian, Anna muncul lagi di depan kelas Faris. Jendela ruang kelas sekolahnya dilapisi lapisan ray-ban, jadi dari dalam bisa lihat keluar, tapi tidak sebaliknya. Dan tepat di depan kelasnya, ada meja kecil tempat murid-murid sering mengisi tinta spidol papan tulis. Anna adalah sekretaris kelasnya, dan setiap hari, Anna yang bertugas bolak-balik mengisi spidol.
Faris memangku wajahnya yang menatap Anna di luar kelas. Anna berdiri di depan meja sambil membawa empat buah spidol di tangannya. Dia mengisi spidol dengan telaten, saking seringnya dia mengisi.
"Heh, bro," panggil suara yang familiar dengan tepukan di pundak Faris. Faris menoleh dan mendapati Dimas duduk di sampingnya. "Eh, itu barusan Anna, yah?" tanya Dimas, Faris menoleh, dan ternyata Anna sudah jalan balik ke kelasnya. Faris mengangguk mengiyakan pertanyaan Dimas.
"Yah, kurang cepet gue," gumam Dimas. Dia kemudian menyerahkan sebuah buku kepada Faris. "Gue mau minta tolong Ris. Nitip novelnya Anna yang kemaren gue pinjem. Gue mau dispen entar jam ketiga. Tolong, yah, bro," katanya lalu pergi dari bangku sebelah Faris.
Faris memandangi cover novel di tangannya. Agatha Christie - Murder in Mesopotamia. Faris menghela napas, selera bacaan Anna memang menyeramkan.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR