Tante Risa pun berlalu. Tinggal aku dan sekantong amplop tebal itu. Rasanya...aneh.
***
Aku cepat-cepat membuka amplop tebal itu. Bruk. Isinya surat-surat, dan jumlahnya banyak sekali. Terang saja amplop ini kelihatan tebal. Surat? Rico tak pernah memberiku surat, selama kita berteman belasan tahun. Bahkan, kurasa menulis surat pun adalah hal mustahil yang dilakukannya. Benarkah...ini surat dari Rico?
Dan kini perasaanku campur aduk. Kaget dan bingung, entah apa yang ditulis bocah itu padaku. Sedih, karena aku yakin aku bakal teringat Rico bila membaca surat ini. Penasaran, aku tak tahu Rico yang pecicilan itu bisa menulis surat begini banyak, apalagi untukku? Takut...aku pun sebenarnya tak tahu darimana rasa takut ini muncul.
Perlahan-perlahan, dengan semua perasaan itu, aku membuka surat yang terluar. Dan begitu membacanya, air mataku langsung menghambur keluar.
***
Hai Alitku tersayang! Hehehe, kamu pasti kaget aku menulis surat gini. Ini aku Rico, sahabatmu yang membosankan. Alit, kamu enggak bosan-bosan kan temenan sama aku? Mungkin, kalau kamu baca surat ini, aku udah enggak ada, aku udah pergi duluan. Maaf ya, terpaksa nulis surat. Aku memang pengecut, enggak berani ngomong langsung ke kamu. Jadi Lit, baca pelan-pelan ya surat ini.
Lit, inget, enggak, waktu kamu pertama kali jadian? Ketika itu, aku - aku sedih banget, kamu tahu...
***
"Liiit! Lagi ngapain kamu? Masa liburan kerjaannya cuma di kamar?" suara itu jelas mengagetkanku. Di sebelahku, tiba-tiba datang sesosok wajah yang sangat kukenal, yang diam-diam ku-
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR