Keesokan harinya, sebelum aku memulai ritualku, aku mengintip dahulu dari jendela ruang tamu, anak itu tidak ada, aku merasa aman dan aku segera keluar melaksanakan ritual seperti biasa. Kembali aku menggiring sepedaku keluar rumah. Menaikinya dan berkeliling seperti biasa. Lagi-lagi di putaran kelima. Aku dihalangi sesuatu. Kali ini anak itu.
"Eh, hm, maaf permisi, aku mau lewat."
"Enggak boleh."
Seketika aku pucat pasi. Aku takut dia ternyata adalah anak nakal yang akan mendorong aku dari sepeda. Aku memberanikan diri menerobos dinding pertahanan anak itu dan bertujuan langsung masuk kembali ke rumah. Aku menghitung dalam hati dan menggowes secepatnya. Aku berhasil melewatinya. Tapi, ternyata anak itu tidak menghalangiku sama sekali. Dia hanya berdiri diam dan memandangi aku dengan dingin. Berhasil menapaki teras rumah, aku menengok ke belakang. Dia masih memandangiku. Sambil tersenyum.
***
Keesokannya hari Minggu, kakakku ada semua di rumah. Jadi aku tidak perlu melakukan ritual bermain sepeda sendirian. Kakakku biasanya akan mengajakku masak kue atau membuat prakarya dari tanah liat.
Tapi kegiatan itu tertunda. Keluargaku kedatangan tamu. Penasaran, aku melangkah ke ruang tamu. Aku temukan ibu dan kakak sedang duduk di ruang tamu dengan seorang ibu muda yang cantik sekali, dia bersama anaknya, anak itu. Anak itu menatapku selayaknya predator yang sudah menargetkan mangsanya dan berhasil menemukannya. Sebelum aku berhasil berlari masuk kembali ke dalam rumah, ibuku memanggilku untuk duduk bersamanya dan berkenalan dengan tetangga baru itu.
"Nih, kamu ada teman baru sekarang. Ayo kenalan."
"Halo, nama Tante, Nina, ini anak Tante namanya Beku."
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR