Pagi itu aku jalani seperti biasa, bermain sepeda roda tiga di depan rumah, tidak boleh lebih dari batasan sisi kanan dan kiri rumah. Aku gowes sepedaku mengitari jalanan depan dengan batas yang diizinkan ibu. Sampai di putaran kelima aku harus menghentikan sepedaku karena ada mobil yang menghalangi jalanku, atau lebih tepatnya berhenti di pekarangan rumah kosong persis depan rumahku. Ada dua mobil yang parkir, satu adalah mobil sedan dan satunya lagi mobil boks berukuran raksasa, aku belum pernah melihat mobil dengan boks di belakangnya, perlahan aku mendekati mobil itu, mengelilinginya dengan sepedaku, sampai ada suara pintu mobil yang terbuka dan suara langkah kaki yang mendekatiku.
"Ngapain di situ?"
Aku terkejut dan langsung menggowes sepedaku menjauhi mobil box dan anak itu.
***
Keesokan harinya, sebelum aku memulai ritualku, aku mengintip dahulu dari jendela ruang tamu, anak itu tidak ada, aku merasa aman dan aku segera keluar melaksanakan ritual seperti biasa. Kembali aku menggiring sepedaku keluar rumah. Menaikinya dan berkeliling seperti biasa. Lagi-lagi di putaran kelima. Aku dihalangi sesuatu. Kali ini anak itu.
"Eh, hm, maaf permisi, aku mau lewat."
"Enggak boleh."
Seketika aku pucat pasi. Aku takut dia ternyata adalah anak nakal yang akan mendorong aku dari sepeda. Aku memberanikan diri menerobos dinding pertahanan anak itu dan bertujuan langsung masuk kembali ke rumah. Aku menghitung dalam hati dan menggowes secepatnya. Aku berhasil melewatinya. Tapi, ternyata anak itu tidak menghalangiku sama sekali. Dia hanya berdiri diam dan memandangi aku dengan dingin. Berhasil menapaki teras rumah, aku menengok ke belakang. Dia masih memandangiku. Sambil tersenyum.
***
Keesokannya hari Minggu, kakakku ada semua di rumah. Jadi aku tidak perlu melakukan ritual bermain sepeda sendirian. Kakakku biasanya akan mengajakku masak kue atau membuat prakarya dari tanah liat.
Tapi kegiatan itu tertunda. Keluargaku kedatangan tamu. Penasaran, aku melangkah ke ruang tamu. Aku temukan ibu dan kakak sedang duduk di ruang tamu dengan seorang ibu muda yang cantik sekali, dia bersama anaknya, anak itu. Anak itu menatapku selayaknya predator yang sudah menargetkan mangsanya dan berhasil menemukannya. Sebelum aku berhasil berlari masuk kembali ke dalam rumah, ibuku memanggilku untuk duduk bersamanya dan berkenalan dengan tetangga baru itu.
"Nih, kamu ada teman baru sekarang. Ayo kenalan."
"Halo, nama Tante, Nina, ini anak Tante namanya Beku."
"Nama aku Kina, tante." Hah, Beku.
"Sekarang kamu main sepeda enggak perlu sendiri lagi, sama Beku aja."
"Iya...."
Tidak disangka, anak yang kutakuti itu dengan kelangkaan namanya, akhirnya menjadi sahabat baikku. Ritual bermain sepeda menjadi lebih seru dengan keberadaannya, bukan hanya karena sekarang Beku menemaniku. Tapi karena lokasi bermainku pindah ke taman komplek. Dengan selalu diikuti Mbak Ntin, Mbaknya Beku.
"Kamu siap?"
"Enggak."
"Lah, terus gimana?"
"Aku takut."
"Pasti bisa, kan aku pegangin dulu. Naik pangkat, dong. Masa iya sepeda roda empat terus. Saatnya sepeda roda dua!"
"Iya iya."
"Oke, siap ya? Satu...Dua...Ti...."
"Tunggu, tunggu, tunggu. Aku belajar sama Kak Rio aja deh. Kita kan sama-sama kecil. Mana kuat kamu nahan aku."
"Kuat! Aku, kan, jagoan!"
"Oke oke...."
"Satu...Dua...Ti...."
Sepeda itu melaju, angin menerpa wajahku, aku menggowes dengan perlahan, dengan Beku memegangi sisi belakang sepedaku. Rasanya beda dengan mengendarai sepeda roda tiga atau sepeda roda empat. Kali ini aku seimbang.
"Tuh, kan, bisa! Aku lepas, ya!"
"Eh, eh, tunggu!"
"Iya iya."
Dengan riang aku terus menggowes sepedaku. Senang sekali. Rasanya ingin melaju mengelilingi seluruh komplek dengan sepeda ini. Sampai aku tersadar.
"Ku. Ku! Beku??"
"Cie, udah bisa sendiri!!" teriak Beku dari kejauhan di belakangku. Panik dan aku pun terjatuh.
***
Waktu semakin berlalu. Aku beranjak remaja. Tepat pukul 06.00 aku berangkat menuju sekolah. Kutemukan seseorang dengan hal yang sama dengan seragam yang berbeda.
"Cie putih abu-abu."
"Cie putih biru."
"Yuk, ah, berangkat."
Aku naik di kursi boncengan sepeda Beku. Sekolah kami berdekatan. Jadi, aku selalu nebeng dia kalau ingin berangkat dan pulang sekolah. Umur kita berjarak 1 tahun. Beku memasuki SMA duluan.
"Kamu nanti pulang jam berapa?"
"Sore, Ku. Aku pulang sendiri aja."
"Aku justru lebih sore sekarang. Memangnya jam berapa?"
"Jam 3."
"Yah, aku jam 4. Tunggu sebentar, ya?"
"Oke."
***
Waktu terus berjalan. Masa-masa SMPku hampir selesai. Masa transisi membuatku tenggelam dalam samudera biru dan menelan Beku ke dalam pusarannya. Kami sudah jarang berangkat sekolah bersama. Kadang Beku sudah berangkat duluan. Dia sudah tidak menggunakan sepeda lagi. Sepeda itu bermesin. Setiap pulang sekolah rasanya aku ingin selalu menunggu untuk dijemputnya, tapi ternyata yang ditunggu tak kunjung datang. Hanya dalam 6 bulan semuanya bisa berubah. Suatu sore kulihat Beku bersama seorang gadis cantik berseragam putih abu-abu di teras rumahnya.
"Kina!" jerit pemuda itu. Badannya tinggi besar sekarang. Suaranya membesar. Matanya tetap sama, dingin.
"Kenapa, Ku?"
"Sombong banget pake nanya kenapa. Ya, manggil aja enggak boleh?"
"Hahaha apa, sih. Ya boleh. Tapi, kan, biasanya ada alasannya."
"Hm, ada sih. Lo tau kemarin ada rame-rame di rumah gue, kan?"
"Iya, iya, tau. Kenapa?"
"Itu ada temen gue, namanya Andi. Dia mau kenalan sama lo. Lo mau enggak kenalan sama dia?"
"Hah? Ya, kenalan kenalan aja, sih."
"Sip mau, ya? Besok sore oke? Enggak ekskul Tata Boga, kan?"
"Enggak, kok."
"Oke. Sampe besok, Kin!"
Jantungku terhenti. Aku merasakan kejanggalan. Tetapi, apa yang janggal?
***
Mobil itu berhenti di depan rumahku. Aku bersyukur lampu ruang tamu masih terlihat menyala dari luar. Aku sudah takut saja dikuncikan.
"Makasih ya Ndi. Kamu hati-hati di jalan." Sebelum aku hendak membuka pintu keluar, tangan Andi menggenggam lenganku.
"Tunggu."
"Ya kenapa?"
Andi menatapku lama.. Dia menatapku lekat-lekat, mendekatkan mukanya ke mukaku. Seketika aku ingin berteriak memanggil Beku.
Aku dan Andi mencapai bulan keduabelas. Andi selalu bersedia menjemputku pulang sekolah, sepulang dia dari kuliah. Kadang jika dia tak sempat menjemputku, dia mampir ke rumahku. Untuk sekadar bertemu. Kurasakan dunia ini milik aku dan Andi. Beku tidak ada.
***
Sore itu aku sibuk dengan tugas kuliahku. Seperti biasa, aku mengerjakannya di teras rumah, dengan alat musik bermain di telingaku. Seisi internet aku jelajahi mencari materi-materi yang dapat melengkapi tugasku. Tidak sadar, sudah ada seseorang di sampingku. Tersenyum.
"Hai, Kin."
"Beku?" Buru-buru aku lepaskan earphone dari kupingku dan membalikkan badanku menghadapnya.
"Loh, lo di Jakarta? Kapan pulang? Memang libur?"
"Baru sampe. Bosen aja di Malang. Gitu-gitu aja."
"Siapa suruh kuliah jauh-jauh."
"Lo apa kabar? Ih, udah kuliah aja sekarang."
"Baru semester dua.."
"Kita main sepeda, yuk?"
"Hah? Lo kenapa? Ini enggak liat tugas seabrek? Lagian dadakan sih."
"Yaelah, main sepeda aja pake direncanain."
"Ya, pakelah."
"Besok, deh, besok. Gue selesaiin, nih, semua sekarang. Besok kita ke Senayan, ya?"
"Besok gue gak bisa."
"Kenapa?"
"Gue mau pergi...."
"Pergi ke mana? Balik lagi ke Malang? Ih, enggak jelas bolak-balik."
"Ha-ha-ha, ya udah. Jaga diri baik-baik, ya, Kin. Gue sayang sama lo."
Jantungku ingin berhenti berdetak selamanya. Aku hanya bisa bungkan dan salah tingkah. Beku berdiri dan mengusap-usap rambutku, melangkah meninggalkanku menuju ke rumahnya.
***
Ayam berkokok tanda fajar telah tiba. Aku belum juga menutup mata. Kejadian sore kemarin terus mengulang di kepalaku dan kata-kata itu. Gue sayang sama lo. Ingin sekali aku rekam dan kuputar kembali sebagai lagu pengantar tidur. Jarum jam menyadarkan lamunanku dan memaksaku bangkit dari tempat tidur melanjutkan hidupku. Bergegas aku menyiapkan segala tugas kemarin. Aku ambil kunci mobil di gantungan ruang keluarga. Langkah kakiku tergesa keluar rumah dan berhenti tepat di bendera kuning yang menancap di pagar rumah tetanggaku. Kulangkahkan kakiku ke rumah itu. Kulihat Tante Nina dan suaminya menangis tak karuan. Aku bertanya-tanya dan tak ingin tahu jawabannya.
Kecelakaan bus antarkota pulau Jawa. Hari Rabu sore, tepat pada hari dia mengutarakan mantra itu. Suara sirine datang, ambulans itu berhenti di depan rumah keluarga Tante Nina. Pintu ambulans itu terbuka. Mereka menggotong pemuda itu. Beku....
(oleh: angeline rizkyani zaini, foto: imgfave.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR