"Tan! Makan dulu, sini yuk!" teriak Mama dari ruang makan, mengajakku makan sekeluarga.
"Ah, entar aja, Ma. Aku nyusul deh, nanggung," balasku kepada Mama.
Satu jam kemudian. Dan aku belum juga keluar dari kamarku yang nyaman ini.
"Haduuuh, kamu itu ngapain sih, Tan? Dari tadi sebentar-sebentar tapi enggak keluar-keluar," oceh Mama ketika masuk ke kamarku.
"Ah, lagi seru nih, Ma. Lagian aku juga enggak lapar, kok," elakku, sambil terus bermain komputer, dan cekikikan sesekali.
Mama hanya menggeleng, lalu pergi seraya berpesan, "Lihat ya, kalau sakit, jangan ngadu ke Mama."
"Iya," jawabku seadanya.
Aku Tania, seorang gadis 15 tahun, yang senang nongkrong di depan komputer. Hampir sebagian besar waktu liburanku ini aku habiskan untuk bermain komputer. Entah hanya untuk sekedar chat di Twitter, Facebook, Skype, atau kegiatan baruku, blogging.
Bermain di dunia maya ini, memberikanku kesenangan pribadi yang mungkin tidak bisa kudapatkan di tempat lain. Berbagi dengan teman-teman kerenku, dari berbagai belahan dunia. Sering kali, kami memliki hobi yang sama, yang menjadikan kami semakin sering mengobrol di dunia maya.
*
"Kamu lebay banget, sih, Tan! Kita cuma ke kafe yang biasa, pake baju keren amat," komentar Livia, salah satu sahabatku di sekolah.
Aku hanya melirik sinis ke arahnya, "Apa sih?! Ya udah, aku ganti baju aja." Aku pergi mengganti pakaianku dengan sebuah kaus oblong bergambar sablon spongebob, dan celana pendek jeans tua. "Puas?"
"Ha-ha-ha, gitu aja ngambek. Kita cuma pengin kamu enggak salah kostum aja kali," ledek William.
"Ya, ya, ya. Ayo buruan pergi," aku malas meladeni mereka. Kalau menurut teman-temanku di internet, pakaianku barusan itu keren, dan yang ini begitu kamseupay. Tapi, ya berhubung aku sedang jalan dengan geng kamseupayku. Mau apalagi.
Gengku ini sudah terbentuk ketika kami masih SD, cukup lama, dan berisikan enam orang, yaitu aku, Livia, Veronica, William, Ben, dan Jojo. Tapi kami tidak berpasangan. Kemana-mana hanya mengendarai sepeda motor biasa, dan kaus oblong. Tidak ada yang menarik menurutku.
***
Puss datang ke arahku, mengharap usapan lembut yang biasa kuberikan padanya setiap pulang sekolah. Aku tersenyum, mengusapnya sebentar. Lalu, segera pergi ke kamar.
Puss adalah kucing betina kesayanganku yang manja, dan menyenangkan. Dia adalah salah satu sahabat terbaikku, tempat aku curhat. Walaupun Puss tidak mengerti apa yang aku katakan, tapi aku yakin dia bisa merasakan apa yang kurasakan. Sweet.
'Tring.' Ah, ada pesan baru yang masuk di emailku.
Ternyata Claire, teman chat-ku di blog. Kami memang belum pernah bertemu, tapi Claire adalah orang yang cukup baik. Apalagi kami memiliki hobi dan selera yang sama. Ini baru teman.
*
"Bisa ngerjain yang ini enggak, Ben?" tanya Veronica pada Ben, salah satu murid terpintar di kelas kami pada saat kami sedang belajar kelompok di rumah Livia.
"Bisa, deh, kayaknya," jawab Ben sambil mencoba memerhatikan kertas di tangan Livia dengan serius. "Ah yang ini, rumusnya kayak gini, Liv," ujar Ben setelah memahami soalnya, kemudian mengguratkan rumus matematika yang sangat memusingkan.
"Umm... Guys! Boleh izin pulang duluan enggak?" pamitku sambil melirik jam tangan baruku.
"Kenapa, Tan?" tanya Jojo penasaran.
"Umm..." Aku diam sejenak. "Puss sakit, aku mau bawa dia ke dokter, sebelum dokter tutup," ujarku dengan yakin.
"Sakit apa Puss?" ujar Livia kepo.
"Enggak tau, makanya aku mau cek ke dokter,"
"Oke, enggak apa-apa, kok, Tan. Get well soon for your kitty," Ben mengizinkanku pergi.
***
Aku menghempaskan badanku di atas kasur empukku. Kemudian segera mengecek email, Facebook, Twitter, dan blog-ku.
Ya, sebenarnya Puss tidak sakit. Kucingku itu bahkan sehat bugar, masih bisa jungkir balik ke sana kemari. Aku barusan berbohong, agar aku bisa pulang lebih awal, untuk chatting ria dengan teman-teman internetku. Cukup penat belajar sekitar enam jam seharian ini. Apalagi ditambah belajar Matematika di rumah Livia. Bisa stres aku.
***
Benar saja, karena tidak belajar kemarin, nilai ulangan Matematikaku sekarang jelek. Walaupun hasilnya belum dibagikan, tapi aku yakin seyakin-yakinnya, aku pasti remedial. Aku langsung pulang ke rumah, berharap agar online cukup membuatku terhibur.
"Puss..." panggilku ketika sampai di rumah. Tak biasanya, Puss tidak menghampiriku yang baru pulang sekolah. "Puss..." panggilku sekali lagi, namun tak ada jawaban.
"Puss di mana, Ma?" tanyaku pada Mama yang sedang asyik menonton TV di ruang tamu.
"Umm... Mama enggak tau. Mungkin ke rumah tetangga kali," ujar Mama seadanya, tanpa memalingkan wajah dari layar TV.
Mungkin Mama benar, sebaiknya aku tunggu saja Puss di kamar sambil bermain internet.
***
"Kemana sih di Puss? Kok jam segini belum balik-balik, sih? Enggak kayak biasanya banget," waktu menunjukkan jam enam sore, dan aku mulai semakin khawatir sekaligus geram.
Aku kembali mencarinya di sekitar rumah. Tapi tak menemukannya. "Mama udah lihat Puss, belum?" tanyaku ketika melihat Mama di dapur menyiapkan makan malam.
"Belum, tuh. Memang dari tadi dia belum pulang-pulang?"
Aku menggeleng, yang entah dilihat Mama atau tidak. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku yang sedang sangat mengkhawatirkan Puss. Kuputuskan untuk mencarinya di rumah tetangga, tempat dia biasa bermain. Tapi sosoknya tidak ada. Di lapangan basket dekat rumah, juga tak ada.
Aku bingung, sampai akhirnya aku menemukannya di tengah jalan. Terbaring dengan darah di sekitar tubuhnya. Puss mati dengan sangat mengenaskan. Mungkin tertabrak motor. Aku tak tahu.
Air mataku pun mengucur tanpa henti. Aku speechless. Kasihan, sedih, menyesal, semuanya bercampur. Kucing kesayanganku harus mati, dan dengan cara yang mengenaskan. Siapa yang tega menabrak Puss???
***
Hari ini aku tak masuk sekolah, masih sangat sedih dengan kepergian Puss. Mungkin aku terlihat terlalu berlebihan. Tapi itulah aku. Aku share semua cerita Puss di blog-ku. Dan mendapatkan respon yang tak kuharapkan dari teman-teman blogku.
Claire yang menasehatiku untuk membeli kucing baru yang lebih bagus. Eliza yang berkata bahwa aku terlalu berlebihan. Merry yang bilang aku aneh. Ah, mereka pikir mereka lebih baik dari Puss? Tidak.
Bagaimana mungkin aku melupakan Puss segampang itu setelah hari-hari indah selama dua tahun yang kulewati bersamanya? Puss memang enggak bisa berkata, tapi dia pendengar yang baik. Puss memang tidak mengerti fashion, tapi dia mengerti aku. Puss sahabat yang terlalu baik, yang selalu ada saat kubutuhkan.
'Tok... tok...' Terdengar ketukan pintu dari luar kamarku.
Muncullah Veronica, Livia, William, Jojo, dan Ben dari bilik pintu yang masih mengenakan seragam sekolah lengkap. Aku tak menyangka mereka akan datang.
"Hay, Tan! Gimana kabar lo?" tanya Jojo yang kaku sekali, membuatku sedikit ingin tertawa.
"Begitulah, Jo," kututup laptopku.
"Gue denger dari nyokap lo, Puss meninggal tertabrak, ya?" tanya Livia hati-hati.
Aku mengangguk.
"Kita turut sedih ya, Tan," ujar Ben penuh prihatin. "Kasian Puss."
"Jangan murung-murung mulu dong, Tan. Puss nanti sedih, lho, liat kamu begini," hibur William basi sekali. Langsung kutoyor kepalanya, berhasil membuatku nyengir untuk hari ini.
One thing, I realize. They're like Puss. Mereka mungkin bukan penasehat yang baik tapi pendengar yang baik, yang selalu ada untukku. Mereka tidak mengerti fashion, tapi mengerti aku.
Aku sadar, bahwa sahabat tidak harus memiliki hobi yang sama. Yang terpenting adalah solidaritas. Kita beda, tapi tetap satu. Selalu mendukung satu sama lain. Tertawa bersama, menangis bersama. Mereka bukan orang yang sempurna, tapi persahabatan kami sempurna.
"Oh ya, gue minta maaf ya sama kalian," ujarku sambil menunduk.
"Kenapa?" tanya Veronica.
"Sebenernya, Puss ngga sakit kemarin," jawabku jujur. Dan mereka terkaget. "Mungkin gue kualat ngomong Puss sakit waktu itu. Dan sekarang Puss beneran mati."
"Udah, Tan. Enggak apa-apa kok," Livia mulai mengusap lembut pundakku.
Ya, mereka memang sahabat sejati.
(oleh: shinly fransisca, foto: weheartit.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR