"Aku suka sama kamu, Ra. Maukah kamu jadi pacar aku?" ucap Aldo sambil memberikan bunga matahari kesukaanku.
Aku terpaku dan tak bisa berkata apa-apa ketika kudengar kalimat itu meluncur dari bibir Aldo.
"Ra, kamu mau kan?" ulang Aldo.
Aku hanya menganggukkan kepala.
"Serius, Ra? Kamu mau jadi pacar aku?" Tanya Aldo kelihatan tidak percaya.
Aku menganggukkan kepala lagi. Aldo tersenyum. Lalu dia mengeluarkan sebuah kado mungil dari saku bajunya dan menyerahkannya kepadaku.
"Bukalah saat menjelang tidur nanti," katanya.
"Ini apa, Do?"
"Hadiah kecil untuk pacarku," jawab Aldo.
Aku tersipu malu.
"Aku pulang, ya, Ra,"
Aku pun mengantar Aldo sampai pintu rumah. Aldo melambaikan tangan dan melaju dengan motornya.
Aku tak sabar menanti malam. Aku ingin segera membuka kado mungil dari Aldo. Isinya apa, ya? Aku menerka-nerka isi dari kado itu.
Kini malam telah menjelang. Kantukku mulai menyerang. Aku bersiap membuka kado itu. Tiba-tiba ponselku berbunyi.
"Halo, Do," sapaku.
"Halo, Ra." Terdengar suara Aldo.
"Ada apa, Do?"
"Kamu sudah buka kado dari aku?"
"Belum. Baru mau aku buka."
"Jaaangan!" teriak Aldo.
"Lho? Kenapa? Kado ini buat aku, kan?" tanyaku heran.
"Aku salah ngasih kado, Ra."
What? Apa katanya? Salah ngasih kado?
"Salah ngasih kado? Maksudmu apa, sih? Memangnya kado itu buat siapa?"
"Kado itu.... Kado itu.... Aku tak bisa menjelaskannya sekarang. Jangan dibuka ya," Aldo memelas.
"Kenapa? Memangnya isi kado itu apa? Bom? Kamu teroris?" Aku memborong pertanyaan.
"Isi kado itu bukan bom, Ra. And I'm not terrorist," Aldo mengutip salah satu kalimat dari film India favoritnya. "Besok aku akan menjelaskannya. Aku janji."
"Enggak, Do. Aku butuh penjelasannya sekarang."
"Ayolah, Ra...." Aldo memelas.
"Oke. Besok jelaskan padaku sejelas-jelasnya!"
"Pasti. Makasih, Ra. Sekarang kamu tidur ya. Sudah malam."
"Iya."
"Good night...."
Klik! Sambungan telepon pun terputus. Namun aku tidak bisa tidur. Mataku sulit sekali terpejam. Aku terus memelototi kado mungil Aldo yang kusimpan di samping tempat tidurku.
Beberapa pertanyaan menggelayuti pikiranku. Kado itu buat siapa? Isinya apa? Kenapa Aldo bisa salah ngasih kado? Jangan-jangan kado itu untuk selingkuhannya.
Aaargh! Kalau sampai Aldo selingkuh, aku tak akan memberi ampun. Masa baru satu hari jadian sudah selingkuh. Tapi kalau memang benar selingkuh, akan kusiram pake air pel, lalu dilempar pakai tomat busuk dan kupukul pakai sendok sayur biar sekalian berubah jadi batu kayak Malin Kundang. Biar tahu rasa dan....
Auuuuu....
Tiba-tiba aku mendengar suara lolongan anjing. Bulu kudukku merinding. Sesaat aku merasakan aura mistik dari kotak itu. Jangan-jangan isi kotak itu adalah kutukan dan bagi siapa saja orang yang membukanya akan terkena kutukan itu. Atau jangan-jangan isi kado itu adalah.... Hiiy, cepat-cepat aku menutup kepalaku dengan bantal.
***
Suara Pak Iko berkoar-koar menerangkan trigonometri, namun tidak kupedulikan. Pikiranku terpusat pada isi SMS Aldo yang menyuruhku agar menemuinya di area taman sekolah dekat pohon beringin pada jam istirahat nanti. Aku sudah tidak sabar untuk mendengarkan penjelasannya tentang kado mungil itu.
Bel istirahat pun berbunyi. Setelah Pak Iko keluar dari kelas, aku bergegas menuju taman di belakang ruang seni. Aku duduk di bangku di bawah pohon beringin.
Kulihat ada dua siswa yang lewat dan berbisik sambil melirikku. Sepertinya mereka merasa heran melihat aku duduk di bawah pohon beringin sendirian. Aku tidak tahu kenapa Aldo memilih bertemu di tempat ini. Area yang jarang dilewati karena letaknya yang berada di ujung lingkungan sekolah dan terkenal angker.
Lima menit.... Sepuluh menit.... Aldo tak datang juga. Aku mulai merasa ketakutan dan segera mengirim SMS untuk Aldo.
To: Aldo
Kamu di mana? Aku sudah di taman beringin.
Beberapa saat kemudian Aldo datang. "Maaf, Ra. Tadi aku ke toilet dulu."
Aku berdiri dan menarik tangan Aldo untuk segera duduk, "Cepat jelaskan padaku apa isi kado ini dan untuk siapa?"
"Sabar dong, Ra."
"Bagaimana aku bisa sabar? Semalam aku hanya tidur tiga jam gara-gara kado itu. Aku terus menerka-nerka isi kado itu dan tiba-tiba aku merasakan aura mistik dalam kadomu itu," jawabku setengah berbisik.
"Ha-ha...." Aldo tergelak setelah mendengar omonganku.
Aku terkejut. "Kok malah tertawa, sih?"
"Ha-ha...." Aldo tertawa semakin keras. Aku jadi takut, jangan-jangan Aldo kerasukan setan pohon beringin.
"Hei, kamu enggak kerasukan, kan?" aku merasa ngeri melihat Aldo tertawa seperti itu.
"Ha-ha. Vira, aku enggak kerasukan, kok. Kamu lucu sih, sok-sok mistik. Padahal kado itu isinya cuma kue cokelat."
"Cuma kue?" Aku merasa bingung. "Terus kenapa kamu ngelarang aku buat buka kotak itu?"
"Begini, Ra..." Aldo menarik napas. "Aku belajar membuat kue cokelat dari buku resep Mamaku. Seminggu yang lalu aku mencoba mempraktekkan hasil belajarku dan rencananya akan kuhadiahkan padamu ketika aku mengutarakan cinta. Karena gugup, malam itu aku lupa membawanya. Jadi aku hanya memberimu setangkai bunga matahari."
"Lalu?" aku semakin penasaran.
"Karena kue cokelat yang aku buat hanya tahan tiga hari, aku buat lagi kue yang baru, tadinya aku akan memberikannya kemarin. Namun ternyata aku salah memberikan kado. Aku baru menyadarinya tadi malam. Kue yang ada di dalam kado yang kamu terima kemarin itu adalah kue basi. Aku melarang kamu membukanya karena aku tahu kamu selalu tidak tahan untuk memakan cokelat yang ada di hadapanmu. Gawat, kan, kalau kamu makan kue basi. Nah, Seharusnya aku memberikan kado yang ini." Aldo menyodorkan kotak yang mirip dengan kotak yang aku pegang.
Aku mengambil kado itu, "Ha-ha, untung saja kado itu tidak kubuka. Kalau ngeliat cokelat aku memang suka tidak tahan untuk memakannya. Turunan dari Mama, sih. Eh, kamu tahu aku suka makan cokelat?"
"Tentu saja aku tahu. Aku pernah melihatmu menangis gara-gara cokelat di kantin sekolah habis. Aku pun sering melihat ada sisa cokelat yang nempel di gigimu," jawab Aldo.
Aku nyengir. "Sekarang ada cokelat yang nempel?"
Aldo memperhatikan gigiku, "Enggak ada. Aku rasa hari ini kamu belum makan cokelat. Benar, kan?"
"Betuuuul." Aku mengacungkan jempol ke arah Aldo.
"Oh ya, kado yang kemarin mana?"
"Ups, ketinggalan di rumah."
"Ya sudah, pulang sekolah nanti langsung kamu buang, ya.'
"Sip. Hmm... boleh kubuka kadonya?"
"Ya, tentu saja," jawab Aldo.
Aku membuka kado itu dengan hati-hati. Tampak sebuah kue cokelat mungil berbentuk hati dengan ukiran huruf A dan V di atasnya.
"Nama kue itu Do Ra the Chocolate," kata Aldo.
"Do Ra?"
"Ya, Aldo dan Vira. Cobalah."
"Hi-hi, manis sekali sih kamu, Do. Untung namanya bukan Dora the Explorer," kataku sambil tersenyum. Aku menggigit kue itu.
"Gimana? Enak?"
"Enak banget. Harusnya kamu buka toko kue cokelat. Aku pasti bakal beli tiap hari."
"Kalau aku buka toko kue cokelat, setiap hari aku bakal kirimin kue cokelat spesial buat kamu. Gratis, kamu enggak perlu beli, Ra."
"Huu... gombal!"
"Haha..." Aldo tertawa. "Oh ya, Ra. Aku... aku... aku mau minta maaf sama kamu."
"Minta maaf? Buat apa?" tanyaku heran.
"Waktu aku nembak kamu, aku memberi setangkai bunga matahari, kan?"
"Iya. Memang kenapa?"
"Sebenarnya bunga matahari itu aku petik dari halaman rumahmu. Maaf ya aku enggak minta izin dulu." Aldo meringis.
Gubrak!
***
"Ini punya siapa, ya?" gumam Mama ketika melihat sebuah kado mungil yang tergeletak di meja ruang tamu. Mama lalu membuka kado itu dan langsung memakan cokelat yang ada di dalamnya.
Oleh: Erma Rostiana D.
Cantik yang Berkesadaran, ParagonCorp Ajak Beauty Enthusiast Terapkan Conscious Beauty Lewat Beauty Science Tech 2024
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR