"Bi, poci-poci deh,"
"Enggak!"
"Kalau pontang-panting?"
"ENGGAK! Ngerti enggak sih? ENGGAK! Tahu nggak sih kamu dari rumah nyelundupin kamu diam-diam sampai sini sudah berapa kali aku pengin pingsan takut kamu kenapa-kenapa. Bisa-bisa aku juga ikut dioperasi."
Lauri terdiam kaget. Muka Abi memang lebih pucat karena khawatir keringatnyapun membanjir di keningnya. Lauri tak pernah menyadari betapa tersiksanya Abi membawa dirinya ke Dunia Fantasi ini.
Lembut dia sentuh tangan Abi.
"Ya sudah, kalau gitu kita duduk-duduk saja did pan situ. Dekat kora-kora, kita lihat orang lain main saja. Biar 50 ribunya enggak hilang-hilang amat."
Saat duduk Lauri menyenderkan kepalanya di bahu Abi. Melihat kegembiraan orang lain yang tak tergapai untuknya. Mungkin ada sesuatu yang tak Lauri sadari telah ia dapatkan dan itu merupakan bayaran atas apa yang terlepas darinya. Mungkin itu tmpat ia menyandarkan kepalanya sekarang. Seorang Abi.
***
Lauri: Manusia memang tak pernah puas, Begitupula aku, pergi ke Dunia Fantasi tadi siang tak kurasa cukup tapi malahan membuatku ingin mendapat lebih. Walau waktu pulang Mama sudah marah luar biasa sambil memaki aku dan Abi yang hanya bisa tertunduk penuh penyesalan. Aku tetap memohon untuk bisa pergi esok. Sudah kupasang wajah memelas tapi Mama bertambah emosi. Mama tetap melarang tapi beliau tahu benar aku akan tetap pergi. Maka ia siapkan semua peralatanku.
Pagi harinya makanan, minuman khusus, kursi roda sudah tersedia Aku bisa melihat betapa tertekannya muka Mama dan juga Abi. Semoga saja aku tak membuat mereka berdua berpenyakit jantung sama sepertiku.
***