Ketika ujian Mid Semester sudah berakhir, Joni, Ahmad, Dila, Eno dan Ega merencanakan untuk liburan ke puncak. Di tengah perjalanan mobil yang mereka tumpangi tiba-tiba mogok.
"Aduh, pakai acara ngadat segala sih nih mobil?" keluh Dila, sementara Joni dan Ega berusaha memperbaiki mobil mereka.
"Bagaimana Ga, bisa jalan nggak?" tanya Ahmad. Joni dan Ega tak menjawab dan tetap sibuk dengan pekerjaan mereka.
"Gawat nih," beberapa saat kemudian Ega memandang kawan-kawannya. "Kayaknya kita mesti mendorong nih mobil. Di sekitar sini kan nggak ada bengkel."
"Aku coba SMS Ajie dulu, deh!" Ahmad buru-buru mengambil HP-nya. Semua kawannya mengangguk setuju. Ajie adalah senior mereka yang sudah berkali-kali pergi liburan ke daerah ini. Jadi dia pasti hafal di mana letak vila terdekat.
Beberapa saat kemudian Ajie membalas SMS Ahmad, Di mana posisi kalian?
Ahmad segera membalasnya.
"Apa katanya. Mad?" tanya Eno penasaran.
"Tunggu bentar... Ajie bilang di sekitar sini nggak ada vila," ujar Ahmad membaca SMS di HP-nya. "Vila yang paling dekat aja jaraknya ribuan meter Masa kita nekat mendorong sejauh itu?"
"Terus bagaimana?" Dila tampak panik. "Masa kita mau tidur di sini? Mana udah malem lagi..."
"Nggak ada pilihan lain, kita tidur aja di mobil," usul Joni. "Apa boleh buat. Pulang nggak bisa, apalagi nyari vila."
Yang lain terpaksa mengangguk setuju. Mereka bergegas menepikan mobil itu dan masuk ke dalamnya.
Joni terus celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu. Tiba-tiba matanya menatap sebuah papan jalan bertuliskan Vila Kosong. Segera saja cowok itu memberitahu kawan-kawannya yang lain.
"Kok Ajie bisa nggak tau sih?" gerutu Eno. "Buktinya di situ ada vila! Udah deh kita ke sana aja!"
Atas desakan Eno, keempat anak itu akhirnya setuju untuk bermalam di Vila Kosong. Dilihat dari luar, vila itu tampak luas dan nyaman.
"Ada orangnya nggak ya di dalam?" celetuk Ega.
"Ya pasti ada," sahut Dila. "Vila Kosong itu kan cuma nama."
Joni mengangkat tangan dan mengetuk pintunya. Sesaat kemudian pintu terbuka dan seorang wanita separuh baya muncul.
"Malam, Bu..." sapa Joni sopan. "Mobil kami mogok. Bolehkah kami bermalam di vila ini?"
"Silakan, silakan!" Ibu itu mengangguk ramah. "Masuk saja, semoga kalian nyaman di sini."
"Terima kasih banyak, Bu."
Joni dan kawan-kawannya berjalan masuk ke dalam vila. Ibu itu lantas menunjukkan kamar mereka masing-masing.
Sekitar pukul setengah dua belas malam, ibu pemilik vila membawakan senampan kopi dan kue-kue ke dalam ruang tamu, tempat Joni dan kawan- kawannya sedang berkumpul.
"Bagaimana, apa kalian merasa nyaman di sini?" sapanya ramah.
"Eh Ibu! Terima kasih atas tumpangannya," sahut Ega.
"Iya, Bu. Kami sangat nyaman di vila Ibu," Dila menimpali.
"Syukurlah kalau begitu. Oh ya, kenalkan. Nama saya Ibu Pinong," wanita itu meletakkan nampan yang tadi dibawanya ke meja. "Untung kalian menemukan vila ibu."
"Tadi kami terlalu panik Bu," Ahmad menjelaskan. "Makanya jadi nggak liat jalan dan nggak tau kalau di sekitar sini ada vila..."
Ibu Pinong menarik napas.
"Kalau sudah malam begini, sebaiknya kalian waspada," katanya mengingatkan. "Akhir-akhir ini banyak vila aneh yang muncul secara misterius setiap jam dua belas malam. Namanya Vila Pocong."
"Uhuk! V-vila Pocong?" Ega yang sedang meneguk minumannya seketika jadi tersedak.
"Vila Pocong?" kawan-kawan yang lain menyahut ngeri.
"Begitulah yang ibu dengar," Ibu Pinong menganggukkan kepala. "Vila itu sangat menyeramkan. Dulu pernah ada kisah beberapa anak menginap di vila itu. Dan tepat jam dua belas malam penjaga vila tersebut berubah menjadi pocong dan meneror anak-anak itu."
"Kok bisa sih, Bu?" tanya Dila ketakutan. Dia merangkul Eno yang duduk di sampingnya erat-erat.
"Itu masih menjadi misteri sampai sekarang," jawab Bu Pinong,
"Duh... untung kita nemuin vila ini ya!" seru Eno lega. Cewek itu segera mencomot kue dengan penuh syukur. "Coba kalo kita sampai nginep di vila pocong itu. Hiiii..."
Semua diam, terlalu ngeri untuk berkomentar.
"Sudah malam, ibu masuk kamar dulu ya," Bu Pinong mendadak pamit. "Kalian santai saja di sini. Anggap rumah sendiri ya."
"Terima kasih banyak Iho, Bu!" seru Eno mewakili kawan-kawannya.
***
Waktu terus bergulir dan hawa di sekitar vila rasanya menjadi semakin dingin.
"Udah malam nih," Joni melirik arlojinya. "Nggak pada tidur?"
"Aku jadi takut tidur di kamar sendirian," ujar Dila.
"Kita begadang aja deh, bagaimana?" usul Ahmad. "Ini juga sudah jam satu. Sebentar lagi pagi..."
Kawan-kawan yang lain mengangguk setuju. Jadilah mereka berlima memaksa diri untuk begadang malam itu. Eno mendadak ingin pergi ke kamar kecil.
"Dil, anterin aku pipis dong?" pinta Eno.
Dila mengangguk dan segera mengantar Eno ke kamar kecil.
Karena mereka berdua tidak tahu letak kamar kecilnya, mereka herdua terpaksa mencarinya ke semua sudut vila. Ketika berjalan melewati dapur, Dila merasa sesuatu seperti sedang melintas di dekat jendela dapur.
"No, kayaknya aku lihat sesuatu deh..." Dila menjawil lengan Eno. "Deket jendela..."
"Jangan nakutin dong, Dil!" protes Eno. Saat itu dirinya tak sengaja melihat sekelebat bayangan melintas di pintu dapur. Cewek itu spontan menjerit, membuat Dila kaget setengah mati. Dan tanpa perlu dikomando lagi, kedua cewek itu langsung lari terbirit-birit ke ruang tamu, membuat heboh yang lain.
"Astaga, kalian tuh kenapa sih?" tanya Ega kaget,
"Ga, tadi aku... aku..." Dila berusaha menjelaskan. "Aku lihat sesuatu... deket...jendela."
"Sama... sama... di pintu dapur!" Eno menimpali.
"Lihat apa sih?" tanya Ahmad ingin tahu.
"Pokoknya bikin aku merinding deh!" Eno begidik ngeri.
"Iya tapi apa?" tanya Joni, "Kuntilanak? Sundel bolong? Pocong?"
"Jangan ngomongin pocong dong, Jon!" seru Dila. "Bikin aku jadi inget sama Vila Pocong itu!"
"Tenang, kita semua ngumpul aja di sini. Jangan ribut," Ahmad menenangkan. "Nggak enak kan sama Bu Pinong?"
Dila dan Eno saling pandang dengan wajah pucat. Mereka berdua duduk merapat di dekat cowok-cowok itu.
Waktu terus berlalu tanpa ada yang terjadi. Sampai kemudian Ega melihat beberapa bayangan terpantul jelas ke lantai. Apalagi didukung cahaya lampu yang saat itu agak remang-remang, bayangan-bayangan itu jadi semakin jelas terlihat. Ega buru-buru memberitahu kawan-kawannya.
"Apaan tu, Ga..." rengek Dila amat ketakutan.
Joni, Eno, Ega, dan Ahmad diam membisu. Dalam ketegangan mereka melihat sendiri beberapa bayangan itu tampak bergerak seperti melompat-lompat Jangan-jangan...
Seolah seperti dikomando, kelima anak itu mengangkat kepala mereka perlahan-lahan dan melihat satu kepala pocong mengintip dari pintu ruang tamu.
"WHUAAAA..!!" praktis mereka berlima menjerit sekencang-kencangnya dan kalang kabut berusaha kabur meninggalkan ruang tamu. Saat itu mereka mendadak jadi egois, ingin menyelamatkan diri sendiri. Untungnya Eno sempat menyambar lengan Dila, sementara Joni, Ega, dan Ahmad kabur entah kemana.
"Sekarang bagaimana, No?" tanya Dila yang sudah hampir menangis.
"Kita cari Bu Pinong aja!" usul Eno ngos-ngosan. Dila, nih vila gede amat
"Bener juga," Dila setuju. "Dia pasti bisa bantu kita."
Rupanya ada sedikit masalah. Vila ini punya beberapa kamar. Dan mereka mesti memeriksa semuanya untuk bisa menemukan Bu Pinong.
"Eh No, yang itu tuh" Dila menunjuk ke sebuah pintu yang bertuliskan PINONG. Dengan ragu Eno mengulurkan tangan dan mengetuknya. Terdengar suara berderit yang menyeramkan dan pintu itu terbuka. Mereka berdua menunggu dengan tegang...
Tak ada siapa-siapa. Yang terlihat hanya sebuah ranjang besar dengan selimut yang menggelembung di salah satu sisinya. Meskipun ragu-ragu, kedua cewek iu tetap mendekat.
"Bu Pinong?" panggil Eno takut-takut.
"Kayaknya dia tidur, No!" bisik Dila. 'Tarik aja selimutnya."
"Hus, itu namanya nggak sopan!" tukas Eno. "Coba aku panggil sekali lagi. Bu? Bu Pinong? Ibu tidur ya?"
Tak ada sahutan. Eno mencoba memanggil lagi. Tetap hening. Dicobanya sekali lagi dan tak ada hasil. Akhirnya Eno nekat menyibakkan selimut itu dan...
"AAAARGH... POCOOONG...!" keduanya menjerit superkencang saat mendapati ada tubuh terbujur dengan balutan kain kafan muncul di balik selimut yang disibakkan Eno. Dila langsung merosot pingsan di lantai. Eno keburu kabur sebelum sempat menyadarkan Dila.
Di ruang tamu, Eno tak menemukan siapa-siapa. Joni, Ega, dan Ahmad raib tak berbekas. Eno jadi ketakutan setengah mati. Cewek itu mengeluarkan HP- nya, hendak menghubungi Ajie. Ketika dia sedang memencet nomur HP Ajie, mendadak cewek itu merasakan benturan yang keras di bahunya. Eno mengira kawan-kawannya sudah kembali. Dengan lega dia berbalik dan...
"AAAARRGH,..!" Eno menjerit ketika ada pocong yang menyandarkan kepala di bahunya. Kemudian datang meloncat-loncat satu lagi pocong yang mendekati Eno. Kemudian lagi, lagi, dan lagi. HP di tangan Eno terlempar ke lantai ketika cewek itu merosot pingsan.
Di luar, papan nama yang tadi bertuliskan Vila Kosong mendadak berubah tulisan menjadi Vila Pocong.
***
Ajie mondar-mandir di kamarnya. Pikirannya tak tenang, Dia lupa memberitahu adik-adik kelasnya tentang sebuah kawasan yang dilarang untuk didekati karena sering terjadi kejadian-kejadian aneh di sana.
Ajie berulang kali menelepon mereka, tapi tak pernah diangkat. Akhirnya dia meninggalkan pesan di HP Eno.
"Eno, ini aku Ajie. Jangan pernah masuk ke dalam Vila Kosong yang muncul secara gaib di sekitar kalian. Menurut info yang aku dapat, vila itu akan berganti nama menjadi Vila Pocong tiap Jam dua belas malam. Para penjaganya juga berubah menjadi pocong. Sudah banyak orang yang hilang di vila itu. Meski dari luar kelihatan nyaman, tapi vila itu sangat berbahaya. Kalian cepat pergi sejauh-jauhnya! Oh ya, hati-hati terhadap wanita yang mengaku bemama Pinong. Dia itu adalah pimpinan pocong."
Ajie menarik napas lega. Cowok itu lantas pergi tidur dengan pikiran yang jauh lebih rileks dibandingkan tadi, tanpa dia tahu bahwa peringatannya akan sia- sia belaka
Oleh: Diah Ayu Indriani
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR