"Ho...Jadi lo punya dua pilihan? Mau serius sama dia atau ngelupain dia?"
"Akhirnya ngelupain dia adalah jalan paling baik, kan? Soalnya ini menyangkut masa deepan, piker gue. Kalau dia, sih, cukup lah nyakitin perasaan dia, matiin harapan dia tentang gue. Kita sama-sama menjauh. Dan berhasil, gue lebih focus belajar, dia enggak pernah mampir di ingatan gue. Kecuali di hari kelulusan kita..."
"Yang mana?"
"Waktu dia nyatain perasaannya ke gue...saat dia ngasih sekotak penuh benda-benda tentang gue yang dia simpan."
"Aah, gue ingat."
"Gue nyaris batal pergi. Tapi gue juga sadar kalau semua yang sudah gue capai itu, enggak dibuang gitu saja. Kali terakhir gue bicara sampai saat gue mau masuk ke boarding room. Ngucap terima kasih dan selamat tinggal."
"Kenapa harus bilang selamat tinggal? Kaya di film-film itu...lo janji bakal balik..long distance love..."
"Gue enggak mai ngasih harapan yang muluk-muluk ke dia. Kita kan enggak pernah tahu kedepannya bakal gimana. Bisa saja gue suka sama cewek lain atau dia ketemu cowok lain..Tapi gu sadar kalau gue salah, lo kira gue enggak berusaha? Liburan dua tahun yang lalu, gue berusaha nelepon dia. Tapi dia sudah pindah rumah. Gue enggak pernah tahu nomor HP-nya, gue enggak pernah tahu email-nya. Saat itu gue piker, sudahlah."
Si teman tidak menyanggah lagi. Keduanya diam cukup lama. Aku terdiam, kisah itu membuat mataku kosong, menatap lantai toko yang terbuat dari kayu. Teringat akan sesuatu...
"Dan sekarang...lo berubah pikiran? Lo pengin ketemu sama dia?" Tanya temannya.
"Hmmm.. Karen ague bakal menetap di sini, gue punya banyak waktu untuk cari dia," jawab si cowok tadi, sambil menyandar pada kursinya.
"Lo masih berharap dia nyimpan perasaan ke lo?" Tanya temannya lagi.