Sebenarnya orang tuaku sudah melarang, teman-temanku juga. Aku sendiri sebenarnya tahu dia sering modusin cewek lain. Tapi aku enggak bisa ngapa-ngapain. Aku seperti kehilangan diri akulah selama beberapa saat itu. Aku sadar sama tindakanku, tapi dia kayak punya kuasa sama aku.
Aku tahu aku bahagia sama teman-temanku, tapi aku malah milih dia dan prioritasin dia. Sampai aku melupakan orangtua. Padahal kalau dipikir-pikir, enggak ada apa pun yang bisa aku dapetin dari dia. Senang-senang aja enggak, karena dia tujuannya cuma seks doang.
Dia juga pernah ngomong yang nyakitin aku. Soalnya waktu pertama kali melakukan hubungan itu, aku memang enggak keluar darah. Aku sudah yakinin kalau aku belum pernah ngelakuin ini sebelumnya, tapi dia enggak percaya. Akhirnya aku pasrah aja.
Aku tahu aku rugi, dan aku merasa aku kayak orang bodoh. Dia bahkan lebih mentingin dirinya sendiri. Teman-temanku juga sudah ngingetin kalau dia bahaya, tapi aku seperti di bawah pengaruh dia.”
(Baca juga: arti sentuhan cowok pada 8 bagian tubuh kita)
Akhirnya Hamil
“Sampai aku kuliah, aku masih pacaran sama dia. Aku enggak bisa lepas padahal tahu kalau aku dieksploitasi. Aku punya minat belajar yang tinggi dan aku enggak pengin ngecewain orangtua, tapi entah kenapa aku malah pengin hamil.
Ketika hamil, aku nyembunyiin dari orang tuaku. Kebetulan waktu itu aku kuliah di Bogor. Rasanya stres banget, dan dia juga cuek, sama sekali enggak peduliin aku. Aku baru jujur sama orangtuaku waktu aku sudah hamil sekitar tujuh bulanan. Mamaku nangis dan papaku marah banget. Bahkan aku sampai ditendang oleh om aku.
Soalnya selama ini aku memang enggak pernah macam-macam, suka di rumah aja, dan ibuku juga guru BK, makanya aku tertekan banget. Lingkungan keluargaku memang religius, di lingkungan rumahku juga gitu, dan seks ini tuh hal yang tabu di sana.
Akhirnya, bareng nenekku, kita nyamperin rumah dia. Di depan aku sih orang tuanya kaget dan marah sama anaknya. Tapi aku bisa ngelihat kalau ibu dia tuh jijik sama aku. Soalnya dia memang sering lihat aku main ke rumah.
Tapi dia enggak tahu gimana perlakuan anaknya yang sebenarnya, bahkan sampai nanya ‘kamu yakin mau tanggung jawab?’ Itu enggak adil banget. Aku pengin ngomong tapi bisanya cuma diam. Kalau saja saat itu aku udah ngerti, pas yang pertama mungkin aku sudah visum ke rumah sakit.
Setelah nikah dan menunggu aku melahirkan, aku dititipin ke rumah saudaraku di daerah Cisarua. Di desa gitu. Aku agak sedih sih di situ. Sampai akhirnya aku melahirkan. Ketika pulang lagi ke rumah, aku enggak nyaman karena di-judge sama lingkunganku. Akhirnya, sih, aku tinggal sama dia.”
Penulis | : | Ifnur Hikmah |
Editor | : | Ifnur Hikmah |
KOMENTAR