Pada 22 Mei 2017 lalu terjadi aksi bom bunuh diri di Manchester, Inggris yang menewaskan 22 orang dan melukai 59 orang.
Enggak berhenti sampai di situ, serangan pun terjadi di London Bridge dan Borough Market, Inggris di waktu yang hampir bersamaan pada 3 Juni 2017 kemarin.
Aksi terorisme ini enggak hanya membuat warga resah, namun juga membuat umat Muslim di sana jadi khawatir akan terjadinya hate crimes dan Islamophobia.
Dian Mayasari (35), adalah warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja sebagai peneliti dan asisten dosen di The University of Sheffield, Inggris.
Sebagai WNI dan seorang Muslim, Dian juga merasakan dampak akibat aksi terorisme yang terjadi di Inggris baru-baru ini.
(Baca juga: Cerita Cewek dengan Keluarga Beda Agama. Saling Mendukung & Penuh Toleransi)
Ada teror bom di Sheffield pada 2 Juni 2017
“Hari Jumat tanggal 2 Juni sekitar jam satu siang ada isu bom di kampus Sheffield.
Tepatnya di mappin building, gedung fakultas anak engineering.
2 Juni itu adalah hari terakhir minggu ujian di Sheffield.
Beberapa ujian yang sedang dan bakal berlangsung di hari itu langsung dibubarkan karena ada paket yang diduga sebagai bom.
Orang-orang di sekitar mappin building langsung di evakuasi.
Termasuk mahasiswa yang tinggal di sekitar situ, mereka dikasih beberapa pilihan.
Tetap apartemen selama proses penyelidikan bom dan enggak boleh keluar selama kira-kira 6 jam.
Atau boleh keluar tapi harus tetap di luar apartemen dan enggak boleh melewati garis batas polisi sampai penyisiran bom selesai.”
Dampak lebih terasa bagi cowok
Dian adalah seorang wanita berhijab, namun dia mengatakan enggak terlalu merasakan dampak pasca bom.
“Yang terkena dampak justru teman-teman cowok.
Mereka jadi enggak berani ke masjid pakai gamis panjang.
Sekarang mereka lebih memilih ke masjid pakai baju kasual supaya enggak mencolok.”
(Baca juga: Ternyata Begini Rasanya Menjalani Puasa di Korea. Menantang Tapi Super Berkesan!)
Mendapatkan imbauan dari KBRI
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) London melalui Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Sheffield mengeluarkan pernyataan berisi imbauan agar WNI lebih berhati-hati.
Begini isi imbauannya:
“Imbauan bagi WNI di Inggris terkait ancaman terorisme
Sehubungan dengan insiden serangan teroris yang telah terjadi di London, tepatnya di London Bridge dan Borough Market pada Sabtu malam 3 Juni 2017 dan Manchester, tepatnya Manchester Arena pada Senin malam 22 Mei 2017, KBRI London dengan ini mengimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia di Inggris, agar:
a. Meningkatkan kewaspadaan dan selalu mencermati perkembangan situasi keamanan di sekitar tempat tinggal serta meminimalisir kegiatan yang tidak diperlukan di luar rumah;
b. Senantiasa peka dan waspada terhadap berbagai upaya dari golongan/ komunitas/ individu tertentu yang ingin mempengaruhi dan mengajak untuk bertindak radikal dan mengganggu keamanan publik dan lingkungan;
c. Menghindari, untuk sementara waktu, kawasan keramaian umum yang berpotensi menjadi sasaran tindakan kekerasan/teror seperti objek wisata, pusat perbelanjaan, kawasan pusat kota, kecuali untuk keperluan mendesak;
d. Meningkatkan komunikasi antar warga dan meningkatkan perhatian terhadap keberadaan masing-masing rekan dan/atau keluarga;Selalu membawa identitas diri untuk memudahkan identifikasi diri dan bersedia bekerja sama dan mendukung pihak berwenang bilamana terdapat pemeriksaan keamanan di tempat umum;
e. Menginformasikan kepada KBRI London melalui nomor hotline +44 7881221235 dan atau email: information@indonesianembassy.org.uk
bilamana terdapat informasi yang perlu diketahui oleh WNI lainnya terkait kondisi dan situasi keamanan lingkungan.”
Selain dari KBRI, teman-teman Muslim juga mendapatkan imbauan dari imam Masjid Sheffield.
Di imbauan itu, sang imam mengatakan bahwa polisi sudah sadar kalau pasca perisitiwa bom tersebut akan banyak timbul Islamophobia dan hate crimes alias kejahatan yang berdasarkan kebencian.
Umat Muslim di sana diminta berhati-hati dan jangan bepergian sendirian.
(Baca juga: Kita Harus Tahu, 5 Tips Mencegah Pelecehan Seksual di Angkutan Umum Online Menurut Hannah Al Rashid)
Aktivitas jadi cukup terhambat
Akibat adanya pemberitahuan oleh KBRI dan imam Masjid Sheffield, aktivitas Dina pun sedikit terhambat.
“Sekarang sudah enggak berani keluar rumah setelah Magrib, di sini Magrib-nya pukul 21.30.
Tadinya PPI bikin rencana buka bersama tapi dibatalkan.
Kita khawatir kalau bikin acara yang ramai nanti menimbulkan kecurigaan.”
“Untungnya sopir taksi di sini kebanyakan orang Pakistan dan Bangladesh.
Jadi kalau terpaksa keluar malam, tetap merasa aman.
Karena mereka langsung menyapa kita yang pake jilbab dengan sapaan ‘sister’.”
“Tapi pernah juga dapat sopir bus yang agak rasis.
Waktu itu aku beli tiket bus, tapi dia malah marah-marah enggak jelas ke aku.
Dan uang kembaliannya dia kasih dengan enggak sopan, jadi berjatuhan dan harus aku pungut di lantai.
Tapi aku enggak yakin apakah itu karena dia Islamophobia atau karena rasis.
Sempat down dan gemetaran sih, tapi ya itu salah satu risiko jadi pendatang.”
(Baca juga: 8 Seleb Kpop yang Menderita Penyakit Gangguan Mental & Hal yang Bisa Kita Pelajari dari Mereka)
Inggris adalah salah satu negara yang toleran
Meski pernah mengalami diskriminasi, Dian menanggap bahwa Inggris adalah negara yang toleran.
“Setahuku, Inggris termasuk negara yang toleran dibanding beberapa negara lain yang pernah aku kunjungi.
Kejadian terbaru yang bikin aku terharu adalah ketika hari pertama Ramadan.
Aku naik bus, kemudian sopir busnya menyapaku, ‘Gimana Ramadan-mu?’
Aku kaget sampai speechles.
Lalu aku jawab, ‘Baik, terima kasih. Apakah kamu puasa?’
Sopir tersebut bilang, “Aku bukan Muslim, tapi aku tahu kalau hari ini adalah hari pertama puasa untuk umat Muslim.’
Aku terharu banget karena merasa diperhatikan.
“Contoh lainnya, di dekat kampus ada Masjid yang namanya Moslem Welfare House of Sheffield (MWHS).
Kalau jam salat, jamaahnya sangat membludak, apalagi saat salat Jumat.
Padahal MWHS enggak punya tempat parkir yang luas, sedangkan parkir di jalanan tarifnya mahal banget.
Di dekat MWHS ada gereja Whitham Church.
Gereja itu punya parkir gratis yang luas, sehingga pihak gereja menawarkan kami untuk menggunakan parkirannya.”
Dian juga mengaku memiliki teman-teman kampus beragama non-Islam yang sangat suportif.
“Kalau ada acara makan-makan sama teman kampus, meski mereka non-Islam, mereka akan masak makanan yang bahannya dibeli di tempat halal.
Hal itu dilakukan supaya yang Muslim tetap nyaman saat makan.”
“Tapi yang aku alami ini mungkin enggak mewakili seluruh WNI dan umat Muslim di Inggris.
Soalnya aku kebanyakan berada di kampus dengan lingkungan yang penuh keberagaman.
Mereka sudah biasa melihat mahasiswa internasional.
Ke mahasiswa Muslim pun mereka enggak stereotipe bahwa kami adalah teroris.”
“Aku sebenarnya sedih kalau mendengar konflik antara mayoritas dan minoritas di Indonesia.
Karena aku merasakan gimana rasanya jadi minoritas di negara lain.
Sebagai minoritas, aku merasa senang dan dianggap sebagai manusia ketika diperhatikan oleh kaum mayoritas.
Aku berharap semoga Indonesia bisa lebih toleran,” tutupnya.
Penulis | : | Intan Aprilia |
Editor | : | Intan Aprilia |
KOMENTAR