Pasangan kekasih, R (28) dan M (20) digrebek warga di Cikupa, Kabupaten Tangerang. Mereka digrebek di kontrakan pada Sabtu, 11 November 2017.
Warga menuduh mereka berbuat mesum, padahal mereka enggak berbuat apa-apa.
Warga dan ketua RT menganiaya, menelanjangi mereka, serta merekam kejadian tersebut, tanpa memberi kesempatan untuk membela diri.
Meski keduanya menangis dan kesakitan, penganiayaan tetap dilakukan oleh warga. Akhirnya kejadian ini menjadi viral di media sosial dan polisi berhasil menangkap tersangka yang menganiaya R dan M.
Saat ini dikabakan bahwa R dan M menderita trauma dan mental yang terguncang. Polisi telah menyediakan psikolog dan psikiater untuk memulihkan kondisi mereka.
Hal yang dilakukan oleh warga Cikupa tersebut merupakan tindakan main hakim sendiri. Sebenarnya apa yang membuat orang sering main hakim sendiri?
(Baca juga: Belajar dari Dokter yang Menembak Istrinya, Ini Cara Menghadapi Pacar Psikopat)
Definisi main hakim sendiri
Main hakim sendiri adalah sebuah tindakan ketika warga sipil atau sebuah organisasi bertindak seperti penegak hukum tanpa adanya instruksi atau pengawasan dari pihak berwenang.
Menurut penelitian Vigilantism, Vigilante Justice, and Victim Self-help dari Tom O’Connor, tindakan main hakim sendiri biasanya sudah direncanakan sebelumnya.
Para pelaku berencana untuk menyakiti target dengan cara melakukan kekerasan atau membunuh. Oleh sebab itu, main hakim sendiri masuk ke dalam kategori kriminalitas.
(Baca juga: iKon Dikritik Akibat Tindakan Misoginis, Ini 7 Perlakuan Misoginis yang Harus Diketahui)
Bedanya main hakim sendiri dan persekusi
Akhir-akhir ini kita juga sering mendengar atau membaca istilah persekusi. Persekusi dan main hakim sendiri memang mirip, tapi berbeda.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah atau ditumpas.
Tindakan persekusi adalah menyiksa, menganiaya tanpa memikirkan lagi keadilan atau kemanusiaan. Persekusi jauh lebih sistematis dan direncanakan dibanding main hakim sendiri.
Persekusi cenderung menganiaya korban yang memiliki pandangan agama dan politik yang berbeda. Sedangkan main hakim sendiri lebih bersifat umum, misalnya mengeroyok orang yang dituduh mencuri motor.
(Baca juga: Cewek Menabrakkan Diri ke Kereta Akibat Depresi. Lakukan Ini untuk Membantu Teman yang Punya Pikiran Bunuh Diri)
Kasus main hakim sendiri
Main hakim sendiri banyak sekali terjadi di Indonesia. Mulai dari penyergapan club malam, memukuli pencuri sampai meninggal, dan yang terbaru, menelanjangi sepasang cowok dan cewek yang dituduh berbuat mesum.
Berdasarkan data terakhir Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SPNK), jumlah insiden main hakim sendiri di 34 provinsi selama Maret 2014 sampai Maret 2015 sebanyak 4.723 insiden, dengan jumlah korban tewas 321 orang.
Tindakan di luar batas para pelaku main hakim sendiri inilah yang menjadikan mereka sama berbahayanya dengan kriminal.
(Baca juga: Duel Gladiator & Kasus Kekerasan di Sekolah yang Terus Meningkat. Kenapa Ini Bisa Terjadi?)
Kenapa orang-orang sering main hakim sendiri?
Berdasarkan penelitian O’Connor, terdapat beberapa alasan kenapa orang bisa melakukan tindakan main hakim sendiri.
1. Memiliki rasa kebencian yang sama
Hal ini terjadi pada sebuah organisasi atau grup yang sering main hakim sendiri. Mereka enggak menyukai hal yang sama, sehingga memutuskan untuk menyerang target bersama-sama. Target biasanya merupakan kelompok minoritas.
Misalnya, sebuah grup keagamaan yang enggak menyukai aktivitas club malam melakukan sweeping dan kekerasan pada orang-orang di dalam club tersebut tanpa seizin atau sepengetahuan polisi.
Tindakan yang mereka lakukan telah direncakan secara matang, kapan, bagaimana, dan siapa yang akan mereka serang. Ketidaksukaan dan kebencian ini lah yang mengikat mereka dalam suatu kelompok.
2. Ingin mendapatkan pengakuan
Pelaku main hakim sendiri memiliki keinginan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain. Orang lain di sini bisa jadi warga sekitar, pihak berwajib, maupun orang yang dia idolakan.
Contohnya, pelaku pengin terlihat sebagai sosok yang membantu polisi, oleh karena itu dia main hakim sendiri dengan cara menghukum orang-orang yang dia anggap bersalah.
Hal itu dilakukan dengan harapan polisi akan mengakui bantuan dan keberadaannya sebagai ‘pahlawan.’
3. Balas dendam atau penghukuman
Pelaku main hakim sendiri merasa kalau target merupakan orang jahat yang pantas mendapatkan hukuman. Tindakan pehukuman dan balas dendam yang dilakukan pelaku didasari atas rasa marah, dendam, dan ketakutan.
Sedangkan, tindak keadilan yang benar enggak boleh didasari oleh emosi primitif yang enggak terkontrol seperti itu. Contohnya adalah main hakim sendiri yang baru saja terjadi pada sepasang cowok dan cewek yang dituduh berbuat mesum di kamar.
Warga dan ketua RT menyergap kedua pasangan itu dan memaksa mereka mengakui perbuatan mesum yang padahal enggak mereka lakukan.
Tindakan warga itu dilakukan karena mereka menganggap bahwa korban adalah orang yang melanggar norma sosial. Rasa takut dan marah yang mereka rasakan pun menjadi alasan untuk menyerang korban atas dasar penegakan hukum.
(Baca juga: Hollywood dan Pelecehan Seksual. Kenapa Korban Memilih Diam?)
Main hakim sendiri dapat menimbulkan trauma, luka fisik, bahkan kematian bagi korban. Apa lagi seringkali korban ternyata enggak bersalah.
Menurut M Alfarisi Fadjari, anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor, dilansir dari Kompas.com, tindakan main hakim sendiri bukan sekadar pelanggaran hukum biasa.
Main hakim sendiri merupakan ancaman serius terhadap sistem hukum yang ada, sebab akan menggerogoti wibawa hukum dan aparat penegak hukum.
Sebaiknya pemerintah bisa memberikan sanksi dan membuat peraturan hukum yang berat bagi untuk memberikan efek jera bagi para pelaku main hakim sendiri.
(Baca juga: 40% Kasus Kekerasan Seksual Dibungkam dan Terhenti di Tengah Jalan. Salah Siapa?)
Penulis | : | Intan Aprilia |
Editor | : | Intan Aprilia |
KOMENTAR